XIII

794 129 4
                                    

Law tidak berkata apapun setelahnya. Ia masih menatap Sanji lekat. Namun kemudian pria itu menunjuk es krim yang masih dalam genggaman si pirang sambil berkata, "Es krimmu sudah leleh,"

"Aaah!" buru-buru Sanji menjilat es krim yang membasahi tangannya.

Law menyodorkan secarik tisu. "Pergilah ke toilet, cuci tanganmu dengan benar,"

Sanji menginjakkan kaki ke dalam toilet dan segera mencuci tangannya dengan sabun. Ugh, rasanya lengket. Setelah mencuci sebersih mungkin, ia menatap kaca untuk membereskan rambut pirangnya. Ia bisa rasakan pipinya hangat. Ketika lensanya menangkap pantulan wajahnya di kaca, dapat dilihat rona merah sudah mewarnai kulit pucatnya.

Pernyataan Law diutarakan saat ia lengah. Bagaimana bisa? Kapan? Kenapa bisa ia tidak sadar?

Omega harusnya lebih peka.

Tapi alpha satu itu terlalu pintar menyembunyikan perasaannya.

Apa yang harus kukatakan saat bertemu Law nanti.

Sanji berjalan keluar dari toilet, masih menemukan Law duduk di sana sendirian. Ia terhenyak. Pria itu selalu tampak kesepian. Kulitnya tertimpa warna oranye dari matahari yang mulai terbenam. Tapi sekarang seakan dia membiarkan dirinya lengah, membiarkan Sanji menjelajahi emosinya lebih jauh lagi.

Sanji mendekat dan duduk di depan pria obsidian. Maniknya memandang lesu. Dokter itu bukan sosok yang mudah dibaca. Tidak seperti Zoro. Mungkin faktor umur mereka berpengaruh dalam kemampuan menyembunyikan perasaan. Law lebih tua beberapa tahun dari Sanji, sementara Sanji beberapa tahun lebih tua dari Zoro.

Tapi entahlah...

Sanji juga masih belum mengerti.

Pria pirang lekas berdiri ketika mengecek arlojinya. Yang ia takutkan mungkin akan terjadi. Mimpi buruknya dimana Zoro keluar dari apartemen dan mencari keberadaannya lalu berakhir hilang tersesat di tengah jalan.

"Aku pulang duluan, jangan menghindariku kalau kita berpapasan di area kantor,"

Law tersenyum. "Aku tidak pernah menghindarimu."

.
.

"Lama sekali," Zoro menggulung tubuhnya di atas sofa. Dia sudah menyelesaikan tugasnya dan Sanji belum kunjung kembali. Sudah berkali-kali ia hentakkan kaki dengan tidak sabaran, berharap Sanji membuka pintu dan muncul dalam keadaan baik-baik saja.

Pintu terbuka, Sanji masuk membawa barang belanjaannya. Zoro melompat dari duduknya dan segera menarik barang-barang yang dibeli si pirang, membantu mengangkat sebagian tanpa banyak bicara.

Sanji tertawa. Rasanya untuk beberapa detik ia yakin mampu melihat sepasang telinga dan ekor anjing yang bergoyang di belakang Zoro.

"Kau menungguku dengan baik kan?"

Zoro hanya melempar senyum pada pria yang lebih tua darinya. Kadang diperlakukan begini tidak buruk juga. Ia senang mematuhi perintah yang diberikan si pirang. Sanji yang sempat melihat senyum tipis di wajah Zoro semakin gemas dibuatnya. Ia sedikit berjinjit untuk mengecup pipi kekasihnya dan berkata, "Anak pintar."

Hati si hijau kini tenggelam dalam kehangatan. Pujian Sanji melesakkan diri masuk ke dalam tubuhnya, mengisi rongga-rongga hampa dalam hidupnya.

Sebelah tangan Zoro ingin menggapai lekuk pinggang si pirang, menariknya dalam sebuah pelukan singkat atau mungkin menyeret Sanji masuk kamar.

"Dagingnya masukkan ke dalam freezer ya!" seru Sanji tiba-tiba. Ia segera berlari menuju kamar kecil untuk menuntaskan panggilan alamnya sementara Zoro berdiri sendiri dengan tangan memegang udara.

Hampir saja. Batin Sanji.

.
.

Di minggu berikutnya Sanji harus pergi dalam perjalanan bisnis, meninggalkan Zoro sendirian dan hanya membawa perlengkapan seperlunya. Pagi buta ia sudah diharuskan menaiki pesawat kecil yang akan mengantarnya menuju East Blue. Ia juga sudah menghubungi ayah angkatnya, meminta ruangan lamanya untuk sedikit dibersihkan.

Setelah hampir dua jam penerbangan, Sanji akhirnya tiba di East Blue. Langit sudah terang dan ombak langsung menyambut kedatangannya. Ia mengambil bagasi di dalam bandara dan berjalan pelan keluar. Iris birunya mencari keberadaan Patty dan Carne yang ditugaskan menjemputnya.

Di sana, di balik pagar pembatas, Patty mengangkat papan namanya tinggi-tinggi. Tulisannya bewarna-warni di atas putihnya kertas dengan berbagai macam stiker sebagai pelengkap. Sanji berdecak. Dia sudah bukan anak kecil yang mereka temui puluhan tahun lalu. Telapak tangannya mengusap wajah kemudian ia berjalan mendekati kedua pria tersebut.

"Turunkan papan nama itu," ujarnya ketus.

"Kau baru bertemu kami dan itu kalimat pertama yang kau ucapkan? Dasar tidak tahu terima kasih!"

Sanji menghela napas dan merebut papan nama dari tangan Patty. "Lagipula siapa yang membuat ini?" ia memperhatikan papan dengan seksama.

"Tentu saja kami berdua kan, sudahlah, ayo bawa barangmu dan segera masukkan ke bagasi mobil," Carne berjalan lebih dulu disusul Patty yang tetap dengan bangganya mengangkat papan nama di tengah jalan.

Sanji menyusul keduanya sambil menghirup dalam-dalam aroma laut dan mendengarkan deburan ombak yang memecah karang. Ia tersenyum kecil ketika mendengar Carne memanggilnya, ingin segera membawa si pirang kembali ke rumah.

.
.

"Iya, aku sudah sampai di rumah," Sanji berbicara di telepon. Bibirnya membentuk segaris senyum. Berulang kali ia mendapat pesan dari Zoro supaya penerbangannya selamat hingga tujuan. Pria yang lebih muda darinya itu juga memaksa Sanji untuk segera menghubunginya begitu sampai di East Blue.

"Jaga kesehatanmu, jangan lupa makan."

"Iyaa, tenang saja!"

"Jam berapa seminarnya?"

Sanji melirik jam dinding di kamarnya. "Satu jam lagi, aku masih ada waktu, bagaimana denganmu? Hari ini ada kelas kan?"

"Lima belas menit lagi."

Krek!

Pintu kamarnya terbuka. Zeff berdiri di depan pintu, menatap anak angkatnya yang masih mengobrol mesra dengan seseorang lewat sambungan teleponnya. Tangannya buru-buru menutup bagian bawah ponsel, tidak membiarkan Zoro mendengar percakapan mereka.

"Sedang telponan dengan siapa?"

"Teman."

"Jangan bohong padaku nak, aku tahu kau sedang kasmaran,"

Sanji memutar bola matanya malas. "Memangnya kenapa?"

"Bantu aku angkat pot di depan!" lalu pria tua itu pergi begitu saja, meninggalkan pintu kamar Sanji tetap terbuka lebar. Si pirang menghela napas dan mengacak rambutnya kasar.

"Maaf, aku harus membantu ayahku dulu, aku menyayangimu dah!" dengan cepat Sanji mematikan sambungannya dan pergi keluar kamar, menyusul si koki pirang.

"Eh.. aku juga menyayangimu, oh sudah ditutup,"

Your F***ing Mate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang