Nadine

80 2 0
                                    

Part V
Source : Official Group Creepypasta Indonesia
Credit : Riswan

Aku benar-benar haus, sekalipun aku adalah seorang White-demon, aku harus tetap meminum darah manusia. Sejujurnya aku tak pernah mau untuk meminum darah mereka. Aku terpaksa. Sejujurnya, setiap aku membunuh mereka, selalu ada penyesalan yang teramat dalam diriku. Tapi jika tak kulakukan, di malam bulan purnama merah ini, maka malam ini akan jadi malam terakhirku melihat bulan. Kekuatanku akan hilang, dan
jasadku akan lenyap menjadi abu.
Sambil menunggu tengah malam tiba, kudengarkan lagu itu, seolah durasinya begitu lama hari ini. Mungkin hanya perasaanku.
Lagu itu masih terdengar di radio.
*****
Semenjak kasus di rumah sakit itu, dimana semua orang di rumah sakit tersebut tewas. Aku dijadikan saksi tunggal, karena hanya aku dan Nadine yang masih ditemukan hidup. Polisi sempat menuding aku pelakunya, tapi karena tak punya cukup bukti. Aku dibebaskan, dan kasuspun ditutup.

6 tahun berlalu semenjak kepergian Lira istriku. Selama 6 tahun ini pula aku harus berjuang merawat Nadine. Tak mudah
memang, apalagi dengan kondisiku yang hanya memiliki 1 tangan. Aku pun mencoba menghentikan kebiasaan burukku. Kini untuk menghidupi Nadine, aku hanya menjadi tukang parkir di salah
satu mini market dekat rumahku. Benar-benar berat merawat seorang anak, apalagi kau hanya seorang pria payah yang tak bisa menghentikan kepergian istrimu.

"Ayah, Nadine lihat mainan di toko itu. Itu boneka balbie. Bagus sekali yah. Apakah Nadine boleh membelinya yah? ya ya
ya, Nadine mau beli satu aja yah." ucap putriku yang baru pulang sekolah.
"Nadine, kamu kan tahu ayah ga punya uang, tapi ayah janji, suatu hari nanti ayah pasti beli boneka itu" kataku
menenangkannya.
"Tapi yah... temen-temen Nadine udah punya semua..." katanya sambil berkaca-kaca.
Kuusap kepalanya dan mulai menenangkannya.
"Ayah janji, ayah pasti belikan, uhukkk uhukk..." kututup mulutku dengan telapak tanganku. ketika kubuka kembali, bercak darah terlihat di telapak tanganku.
"Ayah ga papa? Nadine ambilkan minum ya?" dia berlari menuju dapur sambil mengusap air matanya, kurasa dia menahan tangisnya dari tadi.

Maafkan ayah Nadine, karena tak bisa membahagiakanmu. Aku masihlah seorang ayah yang buruk. Bahkan setelah aku berjanji pada Lira untuk merawat Nadine dengan baik. Untuk menidurkannya saja, ketika dia masih bayi, setiap malam aku hanya membiarkannya di kamar jika dia terus menangis dan menutup pintu , kemudian tak berapa lama dia pasti akan terlelap dengan sendirinya.Dia memang agak sulit tidur malam. Bahkan hingga sekarang. Tapi selain itu, dia benar-benar anak yang baik.

"Ini minumannya yah, Nadine mau cuci piling dulu "
Entah mengapa, setiap aku melihat anak itu, aku teringat akan istriku. Aku merindukannya. Mungkin dia telah tahu semua yang kulakukan padanya dan Valen, sehingga dia tak pernah mengunjungi kami lagi. Kurasa dia membenciku.
Tapi setidaknya, kehadiran Nadine dapat jadi penawar rasa rinduku padanya. Dia benar-benar anak yang pintar, dan tak
pernah rewel. Seolah mengerti akan kondisiku. Bahkan diumurnya
yang keempat tahun dia telah dapat bersenandung. Sebuah senandung yang kurasa familiar dengan telingaku. Bahkan hingga kini, dia masih melantunkan senandung itu. Ya, senandung
tanpa syairnya. Kudengar dia menyanyikan senandung itu lagi.
Aneh kurasa, karena kami tak punya media hiburan apapun.
Bagaimana bisa dia tahu senandung itu?

"Hem....hem....hem..."
Lagu apa itu ya? benar-benar tak asing di telingaku. Kucoba bertanya padanya.
"Nadine, lagi nyanyi lagu apa sih? kok ga dikeluarin syairnya? " kataku.
"Lahasia dong, hehe"
"Kok pake rahasia segala? Siapa sih yang ngajarin lagu itu?" tanyaku lagi.
Diapun mendekat dan berbisik di telingaku.
"Peli itu, peli cantik itu" sambil menutup bibir, dengan tangannya.
"Peri? peri apa?" tanyaku penasaran.
"Peli bunga itu, dia yang ngajalin Nadine. Dia benel-benel cantik dan baik lo yah, dan dia juga dia bisa telbang, dulunya
gabisa, tapi sekalang bisa" katanya bersemangat.

Ah, aku tak ambil pusing akan ucapannya. Anak kecil sepertinya sedang memiliki imajinasi yang tinggi saat ini. Kubiarkan saja imajinasinya berkembang.
Hari ini kujemput Nadine ke sekolahnya. Salah satu TK dekat pusat kota. Di tengah perjalanan pulang, dia melihat salah
satu temannya yang digandeng kedua orang tuanya. Lalu dia menatapku dan bertanya dengan nada sedih.
"Ayah, apa Nadine punya ibu yah?"
"Punya nak, memang kenapa?" kataku.
"Kok, Nadine ga pelnah ketemu ibu yah? Ibu dimana?" tanyanya penuh harap.
"Ibu sedang pergi sayang, tapi suatu hari nanti, dia pasti pulang kok." kataku berbohong.
"Benelan yah? apa ibu cantik?" tanyanya penuh semangat.
"Cantik, dia mirip denganmu"
"waaaw, Apa dia baik hati?" lanjutnya.
"Dia baik sekali, sama denganmu" kataku.
"Holeee, Nadine punya ibu" Nadine melompat-lompat kegirangan.

Maafkan ayahmu yang tak bisa mencegah kepergian ibumu nak.
Sepulang kerja, Nadine menyambutku dengan wajahnya yang semangat.

"Ayah lihat gambal Nadine, bagus lho..."
Kupergi ke kamarnya dan melihat kamarnya penuh gambar, coretan kapur.
"Ya ampun, kamu dapat Kapur ini dari mana?" tanyaku
"Nadine dikasih ibu gulu yah"
Ingin kumarah padanya, tapi tak kuasa. Mengingat dulu hobiku juga sama dengannya. Menggambar menggunakan kapur. Satu gambar menarik perhatianku. Tiga orang bergandengan
tangan.
"Itu gambar apa Nadine?"
"Ini gambal ibu, ini gambal ayah, dan ini gambal Nadine yah, bagus kan?" katanya sambil tersenyum semangat.
Akupun sedikit ingat apa yang Lira katakan ketika dia hamil

'Sayang, ketika anak kita lahir, aku ingin sekali pergi berjalan-jalan bertiga ke taman'

Maafkan aku Lira, seharusnya saat ini, kau dapat mewujudkan mimpimu itu. Tapi Valen menghancurkan semuanya. Satu hal
yang masih menggangguku adalah, bagaimana Valen dapat bangkit kembali dari kematiannya?

"Kalo sudah selesai, gambarnya dihapus lagi ya Nadine sayang" kuusap lagi kepalanya.
"Yaaah ayah... " katanya kecewa.
"Jangan membantah ya sayang"
Dengan cemberut dia hapus seluruh gambarnya. Kututup pintu kamarnya.
"Selamat tidur sayang "

Sebelum tidur kuminum obatku terlebih dulu. Ya, obar ini memperlambat kematianku. Setelah lengan kiriku putus, aku selalu merasakan sesuatu yang aneh terjadi di dadaku. Aku
selalu sesak nafas. Dua tahun lalu kuperiksakan diriku ke dokter. Dan jawaban dokter membuatku terkejut. Aku terkena kanker paru-paru. Setelah Valen mencabut paksa lenganku,
dokter bilang lenganku ternfeksi dan makin diperparah karena tumbuh sel-sel kanker. Aku tak bisa mengoperasinya, karena tak punya biaya. Akhirnya kubiarkan penyakit ini mengerogotiku.
Aku hanya minum obat dokter seadanya. Kini penyakitku telah sampai pada stadium akhir. Kurasa umurku tak lama lagi

Akupun mulai merenung lama. Air mataku pun tak terasa mengalir. Bukan, bukan kematian yang membuatku menangis.
Tapi mengingat sebentar lagi Nadine kecil akan hidup tanpa kedua orang tuanya.
Akupun kembali mengingat suaranya.

'Ayah, Nadine lihat mainan di toko itu. Itu boneka balbie. Bagus sekali yah. Apakah Nadine boleh membelinya yah?'
'Ayah, apa Nadine punya ibu yah?'

"Ya Tuhan, aku mohon padamu. Jika kelak kau cabut nyawaku. Jagalah Nadine kecil dengan baik. Dia adalah cahayaku. Dan
biarkan cahaya kecilnya akan menerangi gelapnya dunia. Jangan kau biarkan air mata selalu jatuh di pipinya. Selalu lukiskan senyum di wajahnya. Dia anak yang baik. Selalu berikanlah dia
yang terbaik. Amin" kuusap air mataku.

Kudengar lagi kepakan sayap itu. Setiap malam semenjak kepergian Lira, selalu kudengar sebuah kepakan sayap, seolah-olah hinggap di atap rumahku. Tapi setelah ku periksa, tak ada apapun disana. Sempat ku berpikir itu adalah Valen, yang
mencoba mengambil Nadine atas perintah Lira. Tapi ternyata bukan, tak ada apapun disana. Begitupun hari ini, setelah ku
periksa atap rumahku, ternyata tak ada apa-apa. Akupun hendak melanjutkan tidur. Tapi tak berapa lama terdengar
suara seorang wanita menangis di kamar Nadine.

Sambil bersenandung, senandung yang sering Nadine nyanyikan. Itu bukan suara Nadine.
Kuambil kunci pipa, hendak memukulnya. Kalau -kalau dia adalah pencuri. Kubuka pintu secara perlahan. Kondisi kamar
Nadine yang gelap, membuatku sulit melihat, hanya cahaya rembulan yang masuk dari jendela satu-satunya sumber
peneranganku. Kulihat sosok bersayap hitam dan bertanduk, menggunakan gaun hitam panjang, sedang duduk bersimpuh di kasur Nadine, sambil mengusap rambut anakku. Nadine masih terlelap tidur.

"Siapa kau?" ucapku sedikit pelan agar Nadine tak terbangun.
"Ssst..." Diapun kembali bersenandung, senandung lirihnya.
Seolah tengah mencoba membuat Nadine tertidur.
Kudekati secara hati-hati, kalau-kalau dia adalah makhluk seperti Valen.
"Apa yang kaulakukan disini?" kataku sambil bersiap memegang
kunci pipaku dengan posisi memukul.
"Bukankah dia anak yang cantik Robi? sayang aku tak dapat menghabiskan waktuku bersamanya" jawab orang itu dengan tangis dan kesedihan yang terdengar begitu dalam.
Aku rasa aku mengenal suaranya.
"Bagaimana kondisimu Robi? Apa kau baik-baik saja? " diapun
memperlihatkan wajahnya yang tengah bersedih dan mulai tersenyum padaku.
Aku benar-benar terkejut saat melihat wajahnya dengan jelas diterangi cahaya bulan.

"Lira?"
Sosok itu pun mengubah posisi duduknya, dan mulai melihat ke luar jendela.
"Namaku bukanlah Lira, namaku Nadine. Dan mulai malam ini, kau akan mengetahui semuanya"

To be continued...

ChalkzoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang