Alasan Tetap Tinggal

2.5K 425 11
                                    

Keesokan paginya, Renjun terbangun dengan kepala pusing dan mata memberat sebab terlalu banyak menangis. Hidungnya panas dan pria itu sudah tahu bahwa dia akan terkena flu setelah ini.

Beranjak dari kasurnya, Renjun segera membersihkan diri dan menyiapkan sarapan sebelum berangkat ke kampus. Cukup kecewa sebab Jaemin sudah pergi dari apartemennya dan tidak meninggalkan pesan apa pun.

Harusnya Renjun tahu dan tidak berharap lebih, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

Menghela napas panjang, Renjun memilih berangkat ke kampusnya sebelum pikiran buruk semakin memenuhi isi kepalanya.

Pria itu berjalan dengan tenang melewati taman kampus, hingga retinanya menangkap sosok Jaemin yang tengah duduk bersama Yoona. Hatinya kembali sakit.

Pria bermata rubah itu masih berdiri di tempatnya hingga Jaemin menyadari kehadirannya. Dengan sigap Renjun berbalik arah hendak meninggalkan Jaemin namun cekalan tangan Jaemin pada pergelangan tangannya datang lebih cepat dan menahan Renjun untuk pergi.

"Ren, maaf untuk semalam. Aku hanya tidak ingin kita berdebat karena Yoona. Kalian sama pentingnya untukku," ucap Jaemin.

"Renjun, aku minta maaf kalau kemarin sudah menyinggung perasaanmu dan bersikap kekanakan, tapi aku hanya khawatir kalau Jaemin melupakanku. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Dari kecil kami sudah terbiasa hidup bersama," ujar Yoona.

Renjun mengepalkan sebelah tangannya dan menoleh menatap Jaemin dan Yoona bergantian.

"Aku memaafkanmu,  Yoona. Sementara, Jaemin, akan lebihbaik kalau kita membicarakan soal ini berdua. Aku tunggu setelah makan siang," jawab Renjun sebelum melepaskan genggaman Jaemin di tangannya.

Tubuh Renjun bergetar dan perasaannya menjadi sesak. Ia tidak pernah melawan Jaemin dan selalu menganggap dirinya lemah dan tidak berharga. Setiap kalimat jahat yang Jaemin ucapkan membuat Renjun tidak berdaya dan berdampak pada kesehatan mentalnya.

Pria mungil itu selalu merasa dirinya tidak cukup dan tidak berhak diperlakukan dengan baik.

Renjun sadar jika dampak yang diberikan Jaemin begitu berpengaruh terhadap mentalnya.

Seringkali orang lain tidak sadar dengan apa yang mereka ucapkan. Apakah menyakiti orang lain atau tidak, mereka tidak peduli. Lebih parahnya, kalimat menyakitkan berkedok nasihat itu lebih banyak muncul dari orang-orang yang kita sayangi.

Dan kesehatan mental kita tumbuh seiring bagaimana kita diperlakukan orang-orang terdekat kita.


Renjun mengusap air matanya saat melihat Haechan masuk dan menyapanya dengan senyum cerah seperti biasa.

"Ren, kau sudah mengumpulkan laporan Prof. Kim?" tanya Haechan.

"Sudah, aku mengumpulkannya minggu lalu," jawab Renjun.

"Hebat, aku baru akan mengumpulkan sekarang– hei, ada apa denganmu?" tanya Haechan lagi setelah melihat wajah berantakan Renjun.

"Aku baik-baik saja," jawab Renjun.

"Ren, kalau ada masalah, kau bisa membaginya denganku. Aku tidak akan memaksa atau memintamu percaya padaku kalau memang tidak bisa, tapi ingat bahwa kau tidak sendiri. Kau punya orang-orang yang menyayangimu— dan aku salahsatunya. Jadi, kalau kau tidak bisa menceritakannya padaku, kau bisa bercerita dengan yang lain, tapi jangan menahannya," ucap Haechan.

Renjun menatap Haechan dan ia menemukan ketulusan dari sorot mata teman satu jurusannya tersebut.

"Chan, apa aku boleh bahagia?" tanya Renjun setelah cukup lama hanya menatap bola mata milik Haechan.

"Kita semua berhak, Ren. Kau berhak memilih dan melakukan apa pun yang membuatmu bahagia," jawab Haechan.

"Terima kasih," gumam Renjun.

Haechan mengangguk kecil dan keduanya kembali sibuk dengan isi pikiran masing-masing hingga dosen mereka datang.

.







Sesuai janji, Renjun bertemu dengan Jaemin setelah jam makan siang. Pria itu duduk dengan tenang di kafe dekat kampus mereka. Hingga tidak lama kemudian Jaemin datang– dengan Yoona.

Mengepalkan tangan kuat, Renjun begitu kesal. Padahal dirinya sudah bilang untuk menyelesaikan masalah ini berdua.

Jaemin duduk di hadapan Renjun dengan Yoona di sampingnya.

"Maaf, Yoona ikut karena tidak ada teman makan siang," ujar Jaemin.

"Jaemin, kau sebenarnya menganggapku sebagai kekasihmu atau tidak? Aku sudah mengatakan kalau kita harus bicara berdua untuk menyelesaikan masalah ini, tapi sepertinya kau memang tidak pernah mendengarkanku—" Sorot mata Renjun tampak terluka hingga Jaemin dibuat ketakutan tentang kekasihnya.

"Selama ini kau tidak pernah mendengarkanku. Jadi, kali ini biarkan aku bicara," ucap Renjun.

"Kau mungkin merasa segalanya baik-baik saja, tapi aku tidak, Jaemin. Kau selalu memprioritaskan Yoona dengan alasan dia sahabatmu, tapi apakah kau pernah sekali saja memprioritaskan aku karena aku kekasihmu?" ujar Renjun.

"Aku selalu diam saat kau bersikap dingin atau memakiku. Namun, tidak bisakah kau memperlakukanku sedikit lebihbaik sebagai seorang kekasih? Aku mengakuinya, kau selalu menjadi orang pertama yang datang saat aku ketakutan, kesakitan, kesepian, tapi, apa kau juga tahu kalau kau yang menciptakan ketakutan dan kesepian dalam diriku?" Lanjut Renjun.

"Pikirkan baik-baik tentang sikap yang seharusnya kau ambil. Kita istirahat. Satu minggu ini, beri diriku dan dirimu jeda tentang apa yang harusnya kita lakukan. Mungkin seharusnya aku juga tidak memaksamu dan kau coba pikirkan baik-baik sikapmu. Aku tidak akan memintamu memilih, tapi coba bersikap tegas, Jaemin." Renjun menutup kalimatnya.

"Renjun—"

"Aku pergi sekarang, selamat menikmati makan siang dan sampai bertemu satu minggu lagi, Jaemin. Itu pun kalau kau sudah benar-benar tahu apa yang harus kau lakukan," ucap Renjun.

"Selamat Yoona, kau sudah memenangkan separuh dari misimu merebut Jaemin," tutup Renjun.

Pria itu segera berjalan keluar dari kafe. Meninggalkan Jaemin dan Yoona.

Renjun kembali memberi Jaemin kesempatan. Jika kali ini kembali di sia-siakan, Renjun benar-benar akan menyerah.

Sebab, kesempatan tidak selalu ada.

YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang