"Aku benci kau, Samatoki,"
Senyum di wajah tegas seorang Samatoki Aohitsugi itu tenggelam, bersamaan dengan kelopak bunga sakura yang gugur jatuh ke tanah.
"Enyahlah."
Nada bicara anak sulung Yamada itu dalam, Samatoki membelalak masih tak percaya. Langkahnya terhenti, kedua kaki seakan terpaku ke bumi. Angin musim gugur mengusik surainya, mengantar dinginnya semesta kepadanya.
"Apa maksudmu, Ichiro?!"
Jemarinya yang hendak mencengkram lengan pemuda manis itu ditepis, Ichiro menatapnya jijik.
"Aku sudah bilang, hubungan kita cukup sampai di sini."
Dada Samatoki berat, pemuda itu memutus hubungan sepihak tanpa memberi alasan yang jelas. Pria dengan helaian putih itu tentu tak mau menelan mentah-mentah kalimat Ichiro.
"Apa salahku?"
Raut wajah Samatoki berubah sedikit lunak, putus asa.
"Setidaknya beritahu kesalahanku."
Ichiro tampak menggertakkan rahang, kedua matanya memanas. Rasa sesak kembali memenuhi relung dada.
Sekejap, rasa pening menghantam kepalanya. Ichiro lantas menggeleng pelan nyaris tak terlihat, ia menunduk untuk sesaat sebelum menaruh pandangan sendu ke kedua manik ruby Samatoki.
"Kau mungkin mencintaiku, Samatoki,"
Kalimatnya terjeda, Samatoki menunggu tak sabar.
"Tapi tidak denganku, Aku tak pernah memiliki rasa sedikitpun sejak awal,"
Kalimat Ichiro seakan menusuk jantungnya, aliran darah seperti berhenti. Sekali lagi angin berhembus dingin, menyadarkan bahwa ini bukanlah sekadar mimpi buruk.
"Lalu mengapa kau-"
"Aku hanya kasihan padamu."
Ichiro memotong pertanyaan Samatoki, lantas melangkah pergi tanpa meninggalkan sepenggal kata. Samatoki masih mematung di sana, Ia mendongak, menaruh pandang kepada bunga-bunga sakura yang mulai berguguran, lagi.
Semesta tengah menertawainya, dunia tak lagi berputar untuknya. Samatoki masih tak percaya, hubungan yang dibangunnya tiga tahun, untuk mengenal satu sama lain, mengikat janji yang tak nampak namun ada, hancur begitu saja.
Kasihan, katanya.
"Lalu kenapa kau sanggup bertahan tiga tahun untuk mengasihaniku, Ichiro?"
"Apa yang membuatmu tinggal selama tiga tahun ini?"
***
Waktu selalu bergerak, entah kau tengah bahagia atau menjelang sekarat, ia tak akan berhenti karena iba.
Entah sudah berapa batang sigaret yang Samatoki hisap untuk hari ini, entah berapa botol minuman keras yang telah ia teguk untuk malam ini, kedua barang lampiasannya itu tak pernah membuatnya merasa lebih baik.
Ichiro.
Satu bulan sudah pikirannya dipenuhi oleh pemuda manis itu.
"Samatoki,"
Lamunan Samatoki buyar, sempat mengira suara Jyuto adalah suara Ichiro. Umpatan demi umpatan lantas meluncur mulus dari belah bibirnya.
"Titipan dari Jiro."
Jyuto menyerahkan sebuah kertas putih, kertas itu nampak kusut. Samatoki tak merespon dengan kata, secarik kertas itu lantas berpindah ke tangannya.