2020
Tiga tahun berlalu ketika rasa curiga dan rasa percaya mulai memudar. Dalam waktu tiga tahun, tidak sebentar, dua insan ini berada dalam kecanggungan. Mereka hanya memainkan peran yang semestinya diikuti dengan separuh hati. Tidak benar-benar menikmati peran mereka.
Brak
Sebuah kotak dilemparkan begitu saja. Ya, sejak tiga tahun itu, wanita yang selalu mengomelinya lebih banyak mendiamkannya. Sesekali meledak-ledak melewati batas yang tak seharusnya. Bahkan, di matanya, tak ada penghargaan lagi untuk seorang suami.
"Apa itu?" Wanita itu bersedekap. "Sudahlah Ardan. Aku lelah."
Pria bernama Ardan Setiawan mendengus kesal. Ia tengah mengerjakan laporan akhir tahun di ruang kerjanya tapi tiba-tiba wanita yang memegang gelar istri itu melemparkan sebuah kotak dengan beragam gambar di dalamnya.
"Kamu mata-matain suamimu sendiri?!" Kali ini benar-benar Ardan di puncak kesabaran. "Kamu tidak percaya pada suamimu sendiri, Rin?"
Sayang-Mama.
Tak ada lagi sebutan itu. Yang ada hanyalah Ardan dan Ririn, panggilan untuk sosok bernama Nirina Anjani.
"Lalu aku harus percaya? Rapat di hotel dengan mantan tunangan?!"
"Itu sudah tiga tahun lalu, Ririn! Kejadian itu sudah lama dan hanya salah paham. Stop bersikap sebagai korban! Memang suamimu ini salah karena rapat di tempat yang tak seharusnya. Tapi demi Tuhan, suamimu tidak pernah selingkuh!"
"Sudahlah Ardan! Aku muak! Aku lelah!!! Pulangkan aku ke rumah keluargaku."
"Rin ... jangan egois. Pikirkan ..."
"Jangan gunakan itu sebagai alasan. Aku sudah mencoba bertahan tapi kamu tetap sering bertemu dengannya."
"Astaga, Ririn!" Ardan menggebrak meja. Perlu diingatkan. Ardan bukan tipe pria kasar. Ia sudah benar-benar di batas kesabaran. "Itu pekerjaan. Perusahaan tempat aku bekerja bekerja sama dengan perusahaan dia. Aku harus apa biar kamu percaya? Kontrak kerjanya lima tahun Rin ..."
"Aku tunggu nanti malam. Pulangkan aku ke rumah keluargaku."
.
Ririn sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia menuruni anak tangga dengan membawa koper besar. Hanya tinggal menunggu suaminya untuk segera turun.
"Rin," panggil Ardan yang keluar dari ruang kerjanya di dekat tangga. "Ini rumah kita. Kalau kamu rindu, kamu boleh kemari kapanpun."
"Jangan membuatku goyah. Surat gugatan cerai sudah aku ajukan tadi siang. Aku tidak butuh harta gono-gini karena aku masih bekerja. Tak perlu mediasi. Kamu tidak perlu datang saag mediasi."
"Rin ..."
"Ayo."
Grep
Ririn terkejut. Tubuhnya kaku saat ia melihat siapa yang memeluknya.
"Mama jangan pergi."
Kapan mereka pulang?
"Kakak, adek, kapan kalian pulang?katanya liburan sekolah menginap di rumah om Ardi? Kok udah pulang? Nggak telpon mama?
"Ma ... di sini saja ma..."
Ririn mengusap air mata puteri sulungnya. "Maafin mama ya sayang. Mama janji akan jemput kamu nanti."
"Ma ..."
"Dek, jagain kakak ya. Jadi laki-laki harus kuat. Mama cuma ke rumah nenek. Mama nggak jauh."
"Mama ..."
"Ririn please..."
"Ayo."
*
Begitulah malam kelabu di keluarga Setiawan. Setelah menguras emosi, tenaga, waktu dan pikiran, perceraian bergulir. Mereka telah diputuskan sah berpisah oleh pengadilan agama. Disaksikan oleh kedua remaja berbeda setahun. Karina Putri Setiawan dan Arkenzo Putra Setiawan.
Keputusan pengadilan tidak membahas mengenai hak asuh karena ketika ditanya baik Kenzo dan Karina menjawab memilih tinggal di rumah.
"Rumah tempat kami pulang adalah rumah yang sekarang. Siapapun silahkan mau pergi. Tapi jangan minta kami untuk memilih dan pergi karena kami akan tetap tinggal di sana. Karin, akan jaga Kenzo. Karin mampu jaga Kenzo jika tidak ada siapapun."
Ucapan Karina di hadapan para saksi menggetarkan hati. Mereka merasa iba melihat gadis remaja itu mengatakan hal itu dengan mata berkaca-kaca. Kenzo, tak berani melihat sekeliling. Anak tampan itu memilih menundukkan kepala.
Persidangan usai, Gani selaku kakak kandung Ririn menghampiri kedua keponakannya bersama dengan istrinya.
"Karin, kalo mau main ke rumah pakdhe, bilang aja ya. Nanti pakdhe jemput. Giselle pasti seneng kalo ada adik sepupunya main."
Karin mengangguk.
Windy, istri Gani memeluk Karin dengan erat. "Anak hebat. Anak kuat. Jagain adiknya ya. Telpon budhe kapanpun kamu mau sayang."
"Karin, Kenzo," panggil seorang perempuan. Ia bernama Yurina istri dari adik Ardan. Mereka juga turut menyaksikan sidang perceraian Ardan dan Ririn.
"Tante ..."
Yuri memeluk kedua keponakannya setelah lepas dari pelukan Windy.
"Nanti tante kirim makanan ya. Alin dan Anno juga tante ajak buat nemenin kalian."
Karim tersenyum tipis. Kenzo masih terdiam.
"Kak ... dek ..."
Keduanya menoleh. Ada Ririn yang diikuti Ardan.
"Pakdhe, budhe, tante, om, Kenzo pusing. Kenzo pamit dulu ya. Naik mobil papa."
Setelah itu Kenzo berlari menuju mobil sang papa. Masuk ke bangku penumpang bagian belakang dan membaringkan tubuhnya di sana. Kenzo menempelkan wajahnya pada sandaran bangku penumpang. Meredam tangisan yang sedari tadi ia tahan.
"Karin susul Kenzo dulu."
"Lihat semuanya. Keegoisan kita melukai perasaan anak-anak," ucap Ardan lirih. Ia lalu berjalan mendekati Gani. "Gan, aku pamit. Maaf jika aku mengecewakanmu dan keluargamu karena gagal."
Gani menepuk bahu Ardan. "Ini jalan kalian. Kalian memutuskan dan memilih ini. Kami orang luar nggak bisa ikut campur terlalu dalam. Yang pasti, jika ada apa-apa, bilang aja."
Ardan mengangguk, lantas ia menoleh pada Ardi. "Nanti ajak anak-anak main ya. Buat nemenin Karin sama Kenzo. Mau mas tinggal belanja bulanan."
Ardi mengangguk paham. Belanja bulanan bukan itu maksudnya. Perkataan Ardan tersirat jika pria itu tidak baik-baik saja dan meminta waktu untuk menenangkan diri.
'Tuhan ... ampuni aku yang gagal mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Maafkan aku yang menjadi alasan luka di hati anak-ankku. Maafkan aku ...'
'Aku tau aku salah. Aku minta maaf untuk semua kekacauan ini.'
**
28 oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER HOME [JINRENE]✅
FanfictionPerjalanan mahligai rumah tangga tidak mudah. Membingkai rumah tangga yang bahagia membutuhkan banyak usaha. Keringat, emosi, kedewasaan, kepercayaan, semua itu dibutuhkan. Lantas, bagaimanakah jika semua sudah tak berimbang? Emosi diagungkan. Rasa...