'Beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku. Beri aku kekuatan untuk menjalani semua ini. Jika memang ada yang harus berkorban, biarkan aku ya Tuhan. Jangan anak-anakku.'
'Hamba-Mu gagal menjadi pemimpin yang baik untuk keluarga ini. Dengan segala kerendahan hati, hamba mohon berikan kesempatan agar hamba bisa memperbaiki semua ini. Jika kesempatan itu datang, hamba tak akan mengulang kesalahan itu lagi.'
Ardan menoleh ketika suara isak tangis terdengar. Ririn menangis dalam untaian doanya. Hatinya menyebutkan tiga nama orang terkasih. Berharap kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan.
Ardan mendekati Ririn. Ririn membuka matanya. Keduanya bertatapan dalam sendu. Mata mereka basah menandakan betapa mereka menyesali semua yang telah terjadi. Andaikan. Andaikan waktu itu mereka menekan ego masing-masing, pasti anak-anak tak akan kesakitan.
Dalam balutan mukena, Ririn menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Ardan. Wanita itu menangis seakan ingin menguras air mata agar habis meski pada kenyataannya, air mata yang keluar semakin deras.
"Aku minta maaf. Aku salah. Aku pantas mendapatkan hukuman. Aku menyakiti semua. Bahkan aku membuat putriku sekarat."
Air mata Ardan tak tertahan lagi. Namun Ardan mencoba tegar. "Enggak. Jangan salahkan dirimu sendiri. Kita berdua ikut andil dalam kekacauan ini. Kita harus menebus semuanya. Memperbaiki semuanya."
"Kakak ..."
Ardan mengangguk. "Kakak akan kembali pada kita."
"Kakak akan sembuh kan?"
"Kakak kuat. Kamu ingatkan sayang? Kakak juga bisa bertahan bahkan sejak lahir. Kakak pejuang yang tangguh."
Ardan ingat bagaimana dulu kelahiran Karin tak semudah yang ia bayangkan. Tak sesederhana yang ia pelajari. Karin tak bertahan sesuai usia yang seharusnya di dalam kandungan. Pecah ketuban dini dengan berat badan kurang, Karin terpaksa bertahan di ruang intensif. Selain itu, Karin bayi sempat mengalami gangguan pernafasan. Hampir dua minggu bayi mungil itu berjuang di ruang intensif. Bertahan untuk hidup dan mengenal dunia.
Kini, putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar dan menjadi kebanggaannya. Namun, detik ini juga putri cantiknya itu harus kembali berjuang agar bisa bertahan hidup. Ardan yakin. Pria itu yakin Karin akan bertahan. Sama seperti Karin bayi yang bisa bertahan.
"Kakak pasti bisa," gumam Ririn.
"Pasti. Kita percaya pada kakak."
*
2016
"Itu kenapa mukanya bete gitu kak?" Tanya Ardan yang keluar dari kamarnya. Ardan mendapati Karin akan memasuki kamar. Gadisnya baru saja dari luar.
"Papa tukang bohong."
Belum selesai mencerma perkataan putrinya, Kenzo datang. Wajahnya tak ada bedanya dengan si kakak.
"Dek?"
"Papa nggak seru."
"Ma, ada apa?"
Ririn menghampiri suaminya. Mengambil handuk yang tersampir di bahu.
"Kalo abis keramas, rambut dikeringin yang bener papa," tegur Ririn lalu mengeringkan rambut suaminya dengan handuk.
"Anak-anak kenapa?"
"Kamu itu ya. Janji apa ke anak-anak?"
Ardan terlihat mengingat-ingat apa yang ia janjikan pada anak-anaknya.
"Ya Allah ma. Papa lupa."
Ririn mendelik kesal. "Makanya pa. Jangan kerjaan terus. Family time papa."
"Iya ma. Lupa. Papa ada janji mau ajak anak-anak sepedaan Minggu pagi. Keliling komplek."
"Dasar. Sana minta maaf sama kakak dan adek."
"Ma, nggak usah masak ya?"
"Mau ngapain?"
"Makan di luar."
Ririn berkacak pinggang. "Tau gitu mama nggak buru-buru ke pasar, pa."
Ardan tersenyum. Ia lalu berjalan ke tangga. Menghentakkan kaki dengan keras beberapa kali.
"Kamu ngapain sih pa?"
"Aduuhhh!!!!" Ardan duduk di salah satu anak tangga. "Aaagghh sakiit!!"
Istrinya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan aneh Ardan. Suara pintu kamar terbuka. Karin dan Kenzo berlari keluar. Melihat papanya kesakitan di tangga, mereka khawatir.
"Papa!!! Papa kenapa?"
"Sakit kak..."
"Kakinya?"
"Di sini," Ardan menepuk-nepuk dadanya.
"Papa tadi nyungsep?" Tanya Kenzo yang membuat Ririn tertawa.
"Bukan dek. Sakit hati papa dicuekin anak-anak kesayangan papa."
"Papaaaaa!!!" Kesal Kenzo dan Karin.
Ardan tertawa. Ia mengapit Karin dan Kenzo di dua sisi yang berbeda.
"Nanti sore, yang nggak siap dari jam tiga, papa kunciin di rumah."
"Kemana pa?"
"Rahasia."
"Ih papa ngeselin!"
Ririn tertawa. "Udah-udah. Ayo habis bakar kalori, nimbun kalori lagi yuk. Mama udah masak nasi goreng cumi buat sarapan."
"Perut adek nanti buncit ma."
"Nggak apa-apa. Mama suka laki-laki perut buncit," ucap ririn lalu melirik Ardan. "Ayo makan. Pa ajak anak-anak turun."
Ardan mengangguk. "Kak... dek...," bisik Ardan.
"Ya?"
"Perut papa buncit?"
Karin menggelengkan kepala. "Belum keliatan banget kok pa."
"Mungkim baru tiga bulan pa usianya," sahut Kenzo.
"Astahfirullahadziiim!!!"
*
2021
Dokter keluar dari ruang ICU. Di sana masih ada Ardan, Ririn, Gani dan Ardi. Untuk Windy, ia ke rumah Ardan karena sebelumnya Yura mengabari jika Kenzo tak mau berhenti menangis. Windy yang memiliki wibawa dan begitu dihormati memilih mengalah membantu menjaga Kenzo.
"Dokter, gimana keadaan Karin?" Tanya Gani.
"Operasi berjalan dengan lancar pak, bu. Namun ini sudah dua puluh empat jam pasca operasi. Pasien belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Ini yang kami khawatirkan sejak awal."
"Maksud dokter? Keponakan saya bisa sembuh kan? Nggak terjadi apa-apa kan?" Tanya Ardi.
Dokter itu terlihat tersenyum dan tenang agar pihak keluarga tidak panik. "Setelah kami pantau, lalu membandingkan hasil pemeriksaan berkala, kami nyatakan pasien dalam keadaan koma."
Brugh
Ardan terduduk lemas di bangku yang tersedia. Ia tak menangis. Namun tangan Ardan mengepal erat. Berbeda jauh dengan Ririn yang sudah menangis.
"Bagaimana cara agar keponakan saya bisa bangun secepatnya Dokter?" Tanya Gani.
"Kami hanya bisa menunggu. Pasien bisa bangun kapanpun. Harapan kami, pasien bisa bangun secepatnya."
"Ya Allah, kakak..."
Gani membiarkan Ririn memeluk pinggangnya. Hanya itu yang bisa Ririn gapai dalam keadaan duduk. Tangan Gani menepuk-nepuk bahu Ririn.
"Kita doakan semoga Karin cepat bangun. Cepat sadar. Sudah, jangan nangis begini. Mau mas temenin nengok ke dalem?"
"Sama aku saja Gan," ucap Ardan yang sudah berdiri di dekat Gani.
"Iya. Aku titip salam buat Karin ya."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER HOME [JINRENE]✅
FanfictionPerjalanan mahligai rumah tangga tidak mudah. Membingkai rumah tangga yang bahagia membutuhkan banyak usaha. Keringat, emosi, kedewasaan, kepercayaan, semua itu dibutuhkan. Lantas, bagaimanakah jika semua sudah tak berimbang? Emosi diagungkan. Rasa...