Karin duduk di bangku penumpang belakang. Ia mengenakan earphone tanpa menyetel musik. Karin hanya ingin terlihat hanyut dalam dunianya sendiri. Beberapa kali, Ardan menyapanya, namun Karin berpura-pura tidak mendengar.
'Apa akan ada obrolan antara mama dan papa?'
"Makasih Rin ...," ujar Ardan. Tangannya bergerak menggenggan tangan mantan istrinya. "Makasih udah berusaha neken semua perasaan pribadimu demi anak-anak."
"Percuma. Kalo demi anak-anak, hasilnya tak akan maksimal karena dipaksa bagaimanapun, perasaan itu tetap yang utama."
"Bukannya kamu masih sayang aku?"
Ririn membuang pandangan.
'Ya. Aku masih. Tapi aku malu karena semua ini akulah penyebabnya.'
"Semua ini badai untuk keluarga kita. Aku harap kamu mau kembali. Pulang. Jangan pernah menyerah untuk keluarga ini."
Ririn mengangguk. Ia diam-diam mengangguk.
"Pa."
"Ya?"
"Pulang nanti mampir toko buku ya? Mau beliin komik favoritnya adek. Kayaknya edisi barunya sudah rilis."
"Papa udah beliin. Tadi temen kantor ada yang ke toko buku. Beliin buku soal-soal gitu buat anaknya. Papa nitip. Kemarin papa lihat adek ngecek tentang komik itu terus."
"Yah ... kok papa beliin sih..."
Ardan terkekeh. "Ya ngak apa-apa sayang. Uangnya kamu simpen aja."
"Mumpung Karin bisa beliin. Siapa tau besok Karin nggak bisa beliin buku buat adek. Soalnya uangnya udah Karin pake."
"Ya nggak apa-apa. Pasti volume terbarunya akan dirilis nggak lama lagi. Simpen dulu aja uangnya."
Ririn melirik Ardan. Pria itu begitu memahami detail mengenai apapun termasuk hal yang berkaitan dengan anak-anak.
'Ya Tuhan ... aku bingung harus bagaimana. Kembali? Apa semua akan seperti semula?'
Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan dengan suara berisik. Mobil-mobil di belakang membunyikan klakson. Ada apa?
Karin penasaran menoleh ke belakang. Ia melihat mobil-mobil di belakang menyingkir. Semua kendaraan menyingkir dan klakson tak berhenti dibunyikan. Matanya membulat sempurna ketika ada sebuah truk melaju begitu cepat. Truk itu juga membunyikan klakson.
"Papa awas!"
Ardan menyadari hal itu. Nahas, ia terlambat membanting stir.
Brakkk
Suara tabrakan terdengar jelas. Truk yang diduga rem blong itu menghantam sisi belakang mobil Ardan. Mobil yang dikendarai Ardan terdorong begitu keras dan berputar-putar beberapa kali sebelum menabrak bagian dinding dari terowongan fly-over.
Sisi yang didekat Karin rusak parah. Ririn sudah tak sadarkan diri. Kepala Ardan sedikit lebih aman karena airbag mengembang di saat yang tepat. Karin dengan kepala yang berdarah mencoba menggeliat. Menekan seatbelt dengan sisa tenaga.
Bugh
Karin terjatuh dari bangku penumpang. Kepalanya berdenyut-denyut. Tubuhnya sakit. Matanya sakit. Namun ia berusaha meraih tangan kedua orang tuanya. Menyatukan kedua tangan itu.
"Hi--dup bahagia .. pa ... ma..."
Ardan mendengar suara putrinya mengucapkan kalimat itu terbata-bata. Ia memaksakan diri menoleh. Putrinya terlihat kesakitan. Ardan melepaskan seatbelt. Ia ingin meraih tubuh Karin sebisa mungkin.
"Kak ... argh... bertahan nak. Bertahan sayang ... Rin.. Ririn ..."
"Pa ..."
"Karin. . Mereka mau nolong kita. Sedikit lagi sayang ..."
Karin mengerang kesakitan lalu tak sadarkan diri.
"Kakak... kak...arggh..."
*
Ririn berada di kursi roda. Ia juga terluka, namun tidak begitu parah. Ia pingsan karena shock. Meski demikian, tubuhnya lemah. Jadi dia butuh bantuan kursi roda.
Ardan menatap lantai dengan tatapan kosong. Lukanya sudah diobati. Tak ada yang parah darinya karena mobil memang dihantam dari sisi kiri.
Ardan dan Ririn ditemani keluarga dari pihak Ririn tengah menunggu hasil operasi dari Karin yang memang merupakan bagian terparah. Sisi tempat Karin duduk, dihantam oleh truk yang remnya blong.
"Rin, istirahat dulu ya. Biar mas Gani urus kamar rawat buat kamu," pinta Windy.
Ririn menggelengkan kepala. "Aku mau menunggu Karin."
"Mas dan mbak di sini. Kamu istirahat dulu. Kalo udah selesai, nanti mas kabari."
Ririn menggelengkan kepala.
Ardi datang dengan wajah paniknya. Ia lalu mengambil duduk di samping Ardan.
"Kenzo gimana, Di?" Tanya Gani melihat Ardi datang.
"Tadi ibunya mas naik takol sama anak-anak ke rumah. Ikut jagain Kenzo. Di rumah juga ada Yurina sama anak-anakku mas. Setidaknya ada yang jaga Kenzo sekarang. Dia sejak denger kabar itu, nggak mau ngapa-ngapain. Nangis terus."
Ardi melirik kakaknya. Ia lalu merangkul sang kakak. Membantu kakaknya menyandarkan tubuh yang sakit itu pada tubuhnya.
"Mas ... nggak apa-apa keliatan lemah. Jangan dipendem," gumam Ardi seraya menepuk paha Ardan pelan.
Air mata menetes meski tanpa suara. Ardan menyesal. Merasa gagal. Ia gagal menahan kepergian istrinya. Gagal menjaga puteranya dan kini putrinya.
"Mas ini kepala keluarga terburuk," gumam Ardan. Tatapannya kosong.
Bohong jika Gani, Windy maupun Ririn tak mendengar gumaman Ardan. Windy menatap suaminya. Memberi kode agar Gani ikut menenangkan Ardan sebagai sesama lelaki.
"Semua musibah, Dan," Gani menyusul duduk di sebela Ardan. "Udah. Jangan salahin diri sendiri. Kita semua nggak ada yang tau dan nggak ada yang mau hal kayak gini terjadi. Jadi, kita ikhlasin aja. Perbaiki yang sekiranya perlu diperbaiki. Jangan salahin diri sendiri atau orang lain. Udah nggak ada gunanya nyari siapa benar, siapa salah."
"Mas Gani bener mas. Tenangin diri mas. Jangan salahin diri mas. Mas itu papa terbaik bagi Karin dan Kenzo. Aku bisa lihat gimana Karin dan kenzo selalu ngasih tatapan bangga buat mas. Kuat ya mas."
Ririn mendekat dengan kursi rodanya. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Ardan.
"Ayo kita berdoa untuk anak kita. Untuk keselamatan dia."
"Sana mas. Aku tungguin Karin di sini."
Ardan mengangguk. Ia berdiri perlahan lalu mengambil alih kursi roda Ririn. Ia tak akan membiarkan ririn menggerakkan kursi roda itu sendirian.
**
29 oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER HOME [JINRENE]✅
FanfictionPerjalanan mahligai rumah tangga tidak mudah. Membingkai rumah tangga yang bahagia membutuhkan banyak usaha. Keringat, emosi, kedewasaan, kepercayaan, semua itu dibutuhkan. Lantas, bagaimanakah jika semua sudah tak berimbang? Emosi diagungkan. Rasa...