Karin berlari hingga kakinya terasa lemas. Ia terjatuh di pelataran rumah sakit. Tubuhnya bergetar karena tangis.
"Ya Allah kakak!" Ardan datang lalu merengkuh Karin.
"Pergi aku mau pulang!" Karin memukul-mukul dada papanya. Berharap papanya segera menjauh.
"Iya kak. Kita pulang."
"Papa pergi ... karin mau pulang!" Jerit Karin. Gadis itu terlihat kacau. Karin yang tenang, suka memendam semua perasaannya sendiri, sekarang kacau.
"Kakak!" Panggil Ririn. Ririn datang bersama Ardi dan Gani. Ibu Ririn ditinggal karena tak bisa berlari.
"Di, ambil mobil. Karin mau pulang."
"Tapi mas ..."
"Nggak apa-apa. Biar mas yang jagain di rumah. Nanti mas panggil dokternya aja. Karin nggak mau dirawat."
"Iya mas."
Ardi pergi untuk mengambil mobil.
"Ardan! Kamu apa-apaan sih. Kakak sedang sakit. Harusnya dia di rumah sakit."
Ardan sedikit membantu anaknya berdiri lalu ia berjongkok di hadapan Karin. Berniat menggendong Karin di punggung. Ketika Karin sudah nyaman, Ardan berdiri.
"Dia ingin pulang."
"Ardan!"
"Kali ini dengarkan aku, Nirina Anjani," ucap Ardan dengan tegas. "Semua karnamu yang nggak bisa jaga omongan. Nggak bisa baca situasi. Benci sama aku boleh. Tapi pikirkan perasaan anakmu!"
Ardan merasakan punggungnya basah.
"Karin aku bawa pulang. Jika kamu mau jenguk, datang saja ke rumah. Karna itu juga rumahmu."
"Mau kemana Dan?" Tanya Gani melihat Ardan akan masuk ke rumah sakit lagi.
"Urus adminsitrasi Karin, Gan."
"No. Aku aja. Kamu bawa Karin pulang. Dia butuh banyak istirahat," Gani melihat mobil Ardi sudah tiba. Ia mendekati Karin dan mengusap surai hitam keponakannya. "Kakak Karin sehat-sehat ya. Besok pakdhe sama budhe datang. Nenek juga. Cepat sembuh ya."
Karin mengangguk. Ririn hanya bisa mematung melihat Ardan membawa Karin pergi. Rasanya ia semakin jauh dari buah hatinya.
-----
2021
Karin sarapan bersama dengan adik dan papanya. Pagi itu, Karin akan berangkat bersama dengan sang papa. Setelah dua bulanan Karin dipercaya membawa sebuah motor matic berwarna cream, khusus hari itu, Karin dan sang adik berangkat bersama papa.
"Papa tadi buru-buru. Enak kan nasi gorengnya?"
"Enak sih, pa. Tapi telurnya terlalu asin," komentar Karin.
"Tandanya papa ngode ini. Pengen nikah," sahut Kenzo.
"Uhuk uhuk uhuk."
Papa mereka tersedak malah kompak tertawa.
"Dek, telinga papa merah itu..."
Kenzo tertawa. Ia mengedipkan matanya ke arah sang kakak.
"Sudah-sudah. Anak-anak papa malah jahil gini. Oh iya, besok papa ada pertemuan di Bogor. Dua hari. Kalian bilang ke mama suruh nginep ya?"
"Kenapa nggak papa aja sih yang bilang ke mama?" Tanya Karin.
"Papa sibuk kak. Takut nggak sempet terus lupa."
"Iya deh. Nanti adek yang bilang mama."
"Papa mau dibeliin jajan apa? Nanti Karin siapin."
Ardan tertawa. "Nggak usah. Sekarang dimakan sarapannya. Terus berangkat. Biar nggak kesiangan."
"Besok adek naik motor bareng kakak pa?"
"Kakak bisa?" Tanya Ardan.
Karin mengangguk. Karin sudah tepat 17 tahun. Ardan segera membuatkan ktp dan sim untuk putrinya. Setelah gagal tes sim tiga kali, akhirnya Karin berhasil. Karin akhirnya mendapat ijin untuk naik motor matic yang dulu sempat dipakai mamanya.
Meski Kenzo dan Karin kini satu sekolah, karena jarak usia mereka yang terpaut satu tahun, namun Ardan tetap mengantar Kenzo. Ia khawatir jika Karin belum siap membonceng adiknya yang badannya memang lebih bongsor. Kenzo juga belum diizinkan naik motor sendiri karena belum memiliki sim meski sudah bisa.
Setelah membereskan meja makan, piring kotor masih ditumpuk di tempat cuci piring karena belum ada waktu untuk membereskannya. Karin dan Kenzo siap di mobil. Kenzo duduk di belakang dan Karin duduk di samping papa.
"Siap meluncur?"
"Lets go!!!" Seru Karin dan Kenzo.
"Pulangnya bareng?"
Karin menoleh pada Kenzo. Pertanyaan dari papanya belum dijawab.
"Adek ada latihan futsal pa."
"Kalo kakak?"
"Langsung pulang sih pa."
"Nggak main sama Giselle dulu kan?"
"Enggak pa. Giselle ada rapat osis. Kakak kan nggak ikut apa-apa. Jadi langsung pulang."
Ardan tersenyum tipis. Dulu saat SMP Karin sangat antusias mengikuti berbagai kegiatan. Namun, saat Karin duduk di kelas X, percerain terjadi. Saat-saat dimana Karin ingin meminta saran kegiatan apa yang harus diikuti, saat-saat itu pula keluarganya hancur. Karin memilih untuk belajar biasa tanpa mengikuti kegiatan apapun.
"Anno ngeselin pa," celetuk Kenzo yang matanya fokus pada layar ponsel.
"Kenapa dengan dek Anno?" Tanya Ardan.
Chevanno dan Kenzo memang seumuran. Sama halnya dengan Kenzo yang seumuran dengan si kembar Zareno dan Zivano. Meski mereka kompak tak ingin ada sebutan mas atau adek sesuai urutan silsilah keluarga besar, namun sesekali Ardan tetap mengingatkan itu agar garis keluarga tidak hilang.
"Ya tadi chat bilang mas Kenzo tanding basket yuk. Kan Anno tau kalo adek nggak bisa basket."
Karin dan Papa tertawa bersama. Sungguh lucu. Badan Kenzo sungguh tinggi dan bongsor. Tapi untuk permainan basket, Kenzo tidak bisa. Dribbel saja bolanya sudah kemana-mana. Apalagi jika bermain langsung. Yang bisa dilakukan Kenzo hanya di bawah Ring. Menghalau lawan yang mau melemparkan bola ke dalam ring.
"Ya kamu aneh dek. Badan segede gitu main basket saja kalah sama Reno yang badannya lebih kecil."
"Mas ...," ralat Ardan.
"Ih papa. Karin ingat kok. Hanya lebih enak manggil gitu. Sama Giselle juga enakan manggil nama, papa. Kalo di sekolah manggil kayak gitu jadi aneh. Apalagi Giselle sama Karin satu kelas."
Mulai sesi bawel dari Karin yang selalu Ardan rindukan. Ia hanya terkekeh lalu melanjutkan laju mobilnya.
'Satu tahun berlalu. Keadaan membaik. Putera-puteriku sudah lebih bisa menerima keadaan. Namun, satu yang belum aku mengerti. Apakah hati mereka sudah sedikit sembuh? Atau mereka hanya mencoba untuk pura-pura bahagia?'
**
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER HOME [JINRENE]✅
FanficPerjalanan mahligai rumah tangga tidak mudah. Membingkai rumah tangga yang bahagia membutuhkan banyak usaha. Keringat, emosi, kedewasaan, kepercayaan, semua itu dibutuhkan. Lantas, bagaimanakah jika semua sudah tak berimbang? Emosi diagungkan. Rasa...