Chapter 2 - Coffee and Confession

233 3 0
                                    

Sudah seminggu Diana kembali bekerja. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan nya. Diandra sengaja menyibukkan dirinya, ia berharap dengan cara ini ia bisa melupakan semua hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu nya itu. Vera yang melihat ini merasa khawatir, masalahnya sahabat nya ini tidak pernah sesibuk ini. Bahkan sering ia menangkap wanita itu melamun. Akhir-akhir ini juga dia selalu menolak untuk berkumpul di Kafe dengan teman-teman kantor lainya sepulang dari kantor dengan alasan sedang ada urusan. Bahkan bukan dia sendiri saja yang sadar dengan tingkah laku yang berbeda dari Diandra ini, tapi teman-teman lain yang seminggu lalu berlibur ke Bandung merasakan ada yang beda darinya. Begitu juga rekan-rekan lainya di Kantor. Namun, Vera tidak membuka suara tentang itu memilih diam saja.

Tidak ada senyum manis Diandra seminggu terakhir ini.

Siang ini, seperti biasa dia akan mengajaknya makan siang bersama. Teman- teman lainya berharap kali ini Diandra mau bergabung kembali dengan mereka istirahat bersama di rooftop kantor.

"Ndra, kali ini gue yang maksa. Lo harus ikut kita makan bareng-bareng, ya?" Masih belum ada tanggapan dari wanita itu. Diandra masih asik berkutat dengan komputernya. "Lo harus tau, bukan gue aja yang tahu kondisi lu lagi gak baik-baik aja. Temen-temen yang lain juga udah mikir hal yang sama."

Kali ini Diandra menghentikan ketikan jarinya di keyboard, masih menatap ke monitor komputer. Apa peduliku dengan pikiran mereka? Aku hanya ingin menyendiri menenangkan pikiranku dulu.

"Kali ini lo gak bisa bohongin gue lagi, Ndra. Lo lagi gak baik-baik aja. Semakin lo menghindar, semakin ketauan bahwa ada yang gak beres dari lo." Kali ini Vera menyerah karena perkataanya tidak ditanggapi. Ia pun masuk ke ruangan dan menghampiri Diandra setelah sedari tadi berdiri diambang pintu. Vera menarik kursi kosong ke sebelah Diandra. Perlahan ia menyentuh punggung lengan Diandra."Ndra, gue ini berteman sama lo udah lama banget. Gue udah tau banyak cerita lo, dan sekarang lo berharap gue merasa semua baik-baik saja sama lo? Enggak, Ndra." Dengan satu tarikan nafas Vera melanjutkan perkataanya. "Sore itu kalau gue tau lo bakal berakhir kayak gini, gue milih untuk maksa lo cerita aja. Sekarang gue yang nyesel. Ini bukan Diandra yang gue kenal.. ini bukan lo, Ndra..."

Masih segar dalam ingatan saat senin sore itu Vera menghampiri Diandra di Apartemen nya sepulang ia kerja. Ia melihat Diandra baik-baik saja. Tidak menangis lagi seperti malam sepulang mereka dari Bandung. Vera yang merasa tidak enak untuk merusak suasana hati Diandra yang saat itu sedang baik-baik saja, ia pun mengurungkan niat untuk membahas tentang masa lalu yang sedang menghampiri ingatan wanita itu, dan memilih membiarkan Diandra sahabat nya itu yang bercerita kalau memang bersedia. Dan kini, dia juga yang menyesal.

Mendengar nada bergetar di akhir kalimat Vera tadi, runtuh juga pertahanan Diandra yang sedari tadi ia bangun. Ia beralih memeluk tubuh sahabat nya itu. Vera dengan segera membalas pelukan nya, menenangkanya seperti hal nya seorang kakak yang menenangkan adik nya yang sedang bersedih karena patah hati. Diandra menangis di pelukanya.

Ruangan yang dikelilingi kaca ini seketika menjadi layaknya sebuah pertunjukan. Vera sadar bahwa kini mereka jadi tontonan beberapa orang yang sudah selesai dengan istirahat siangnya. Mereka melempar tatapan tanda tanya. Kenapa bisa Diandra menangis? Diandra bukan wanita yang terlihat suka murung, bahkan nyaris tidak pernah. Ia dikenal sebagai wanita yang murah senyum dan periang. Tapi di hari ini pertama kali nya orang-orang melihat seorang Diandra menangis. Dan yang tahu permasalahanya hanya Vera jadi dipastikan saat ia keluar dari ruangan itu nanti pasti akan banyak pertanyaan yang dibombardir pada dirinya. Tapi Vera tidak peduli, yang ia pedulikan kini hanyalah kondisi sahabat nya yang masih menangis tersedu-sedu.

"Ver.. gue gagal... gue gagal lupain dia.." Ucap Diandra disela tangisnya.

Vera dapat merasakan ada luka disetiap kata yang keluar dari wanita itu. Vera masih tidak bergeming. Dia masih mencoba mengusap-usap lengan Diandra mencoba menenangkanya.

This Is How We Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang