Sudah satu pekan Ten kembali ke pekerjaan utamanya menemani minum wanita dan pria kesepian dan juga menari di panggung yang membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih seksi. Setelah beberapa hari sebelumnya fokusnya terbagi ke urusan yang berkaitan dengan Majalah 'Carburant' kini ia bisa dengan leluasa sedikit menyampuri urusan kliennya, tentu saja menjadi teman minum mau tidak mau harus menerima segala masalah dan curahan hati kliennya.
Namun sayang belum selesai dengan pekerjaannya ponselnya sudah menunjukkan kontak yang paling ia hindari, tentu saja ia tidak akan mengangkatnya atau moodnya akan rusak saat ini juga. Ia memilih untuk bekerja tanpa masalah yang sama datang menganggu.
Ten menaikkan tudung hoodienya saat udara malam menyentuh lehernya, ia merasa seperti diikuti namun ketika ia melihat sekitarnya benar-benar tidak ada orang di sekitar. Ia berjalan lebih cepat untuk segera sampai ke apartemennya. Namun panggilan di ponselnya membuat konsentrasinya akan mengamati sekitarnya menjadi kacau, ia mengangkat panggilannya dengan langkah cepat-bisa dikatakan ia berlari-sampai ke lobby apartement.
"Aku baik-baik saja, sekarang aku sudah sampai kamarku. Jika Papa menghubungiku karena Mae maka akan kututup"
'Tentu saja tidak, Papa hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, makan dengan baik, bekerja secukupnya'
Ten merebahkan badannya yang lelah di ranjang. "Aku baik, Pa"
'Kalau begitu Ten kapan kau akan pulang? Sudah sangat lama sejak kau kembali'
Helaan napas berat menjawab pertanyaan basi menurut Ten. Sesungguhnya ia muak dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Apa yang akan kudapatkan jika pulang? Rundungan dari ibuku sendiri? Cacian orang yang sudah melahirkanku? Bentuk gastlighting apa lagi yang akan kuterima kali ini, Pa?"
Keterdiaman Ayahnya sudah cukup menjelaskan bahwa pria yang sudah lebih dari setengah abad itu pun tidak dapat berbuat banyak.
'Ten, beberapa tahun telah berlalu—'
"Tapi sakit ini tidak juga hilang Pa... aku masih tidak bisa menghilangkan rasa sakit di hatiku"
Isakan kecil meluncur begitu saja membuat Ten menjauhkan ponselnya, meski hubungannya dengan keluarganya tidak baik tapi ia masih menjaga perasaan Ayahnya, ia tidak ingin Ayahnya mendengarnya menangis.
Setelah beberapa saat ia membiarkan tangisnya mengucur begitu saja kini ia mendengarkan lagi ayahnya berbicara di seberang. Tidak banyak yang bisa mereka bahas dengan kondisi Ten yang masih 'terluka'.
Setelah sambungan di ponselnya mati pun tak membuat Ten segera kembali membaik. Pikirannya jadi menjalar ke keluarganya yang membuatnya memilih untuk menjauh dari keluarga dengan merantau ke negara asing dan mencari sesuatu yang bisa menghidupinya juga menyalurkan pikirannya dari hal yang tidak penting. Air matanya kembali menetes mengingat semua tentang keluarganya. Bahkan panggilan masuk di ponselnya tidak berniat ia angkat sebelum ia melihat nama yang lain pada layarnya, nama orang yang hampir tidak lagi ditemuinya.
Dengan mood seadanya ia menetralkan suaranya. "Halo"
'Ten? Kau baik-baik saja?' suara yang sudah seminggu tidak didengarnya kini menyapa dengan khawatir.
Kembali berdeham agar suaranya membaik Ten hanya bergumam tanpa ingin menjawab lebih.
'Apa kau sakit? Suaramu sangat parau'
"Apa ada yang ingin kau bicarakan?" tanya Ten mengalihkan fokus Johnny pada suaranya.
'Apa kau sudah makan malam?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Life Issues [✔️] | Johnten
FanfictionWell, benar, orang asing. Terlebih moodnya sedang tidak bersahabat saat ini dan ia harus segera memasang topengnya lagi karena harus menemui kliennya yang ke sekian malam ini. "Aku melakukan apa yang menjadi kewajiban orang lain, hanya karena ikatan...