16-Kita, Teman.

26 4 1
                                    

"Apakah ada orang yang bisa berteman dengan mantan tanpa berharap akan kembali lagi?"
---

Setelah menunaikan sholat Isya, Fany duduk dibangku jendela kamar nya. Ia sengaja membuka jendelanya lebar-lebar, mungkin dengan menatap kota Bandung dari malam hari akan membuatnya sedikit tenang.

Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!
Ting!

Drttt...
Drttt...

"Sialan," umpat Fany kesal dengab notifikasi ponselnya yang terus menerus berbunyi. Matanya terbuka lebar saat melihat pesan dan beberapa panggilan tak terjawab dari Reza, mantan kekasihnya.

Reza

Fan, gue tadi bercanda
Plis, jangan marah dulu ya, gue bisa jelasin
Tolong, dengerin penjelasan gue dulu
Fany pliss angkat telpon gue
Jangan buat gue makin depresi, Fan

Mau jelasin apaan lagi?

Angkat telepon gue dulu

Anda telah memblokir kontak ini.

Fany kembali menangis, tak sedikit air mata yang Ia keluarkan. Fany lelah. Mengapa semesta tidak sekalipun memberikannya kesempatan untuk bahagia?

Bukan hanya karena masalah Reza. Omongan guru laknat itupun masih terngiang-ngiang diotaknya, yang dengan santainya Ia bilang bahwa Fany adalah anak haram.

Ia tahu, bahwa guru adalah orang tua di sekolah yang harus dihormati. Tapi sungguh, Fany sangat membenci guru yang satu ini, sangat. Tidak tahu masalah orang, sudah berani membuat mentalnya jatuh saja.

Kadang Ia melihat teman-temannya yang jika sedang ada masalah, mereka pulang ke rumah. Mereka bercerita pada orangtua nya, sehingga mendapat ketenangan. Fany iri. Fany tak pernah iri dengan kehidupan seseorang, tapi tidak dengan kehangatan keluarga.

FLASHBACK ON

Fany kecil itu dengan telaten memberi warna pada gambar buah mangga yang baru saja dibeli oleh Ayah nya. Tak ada hal menyenangkan lainnya selain mewarnai.

"Fany nanti kalau udah gede mau jadi desaynel!" pekik Fany antusias.

"Desaynel tuh, apa?" tanya David bingung.

"Itu loh, Yah, yang suka gambal-gambal baju yang bagus," kata Fany, tanpa mengalihkan atensinya yang masih mewarnai.

"Wah keren," puji David sambil mengelus puncak kepala Fany. "Dulu, Ayah pengen banget jadi PNS, tapi enggak kesampaian."

Fany menghentikan aktivitas mewarnainya, Ia beralih di pangkuan Ayah nya, "Fany bakal wujudin cita-cita Ayah. Papa tenang aja, pelcaya sama Fany yaa. Fany gak bakal ngecewain deh, janji."

David mencubit pipi Fany gemas, "anak papa pinter banget."

FLASHBACK OFF.

Fany sudah menangis hebat saat ini. Ia mengambil silet yang ada di saku celananya. Tadi saat Ia mengantar Raya pulang, Fany sengaja membeli silet itu, Ia tahu bahwa malam ini adalah malam terburuk dalam hidupnya.

PUTUS ATAU TERUS?(HIATUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang