Season 1: Pertemuan Pertama.

21 4 0
                                    

10 Tahun Lalu.

Kaivan Affandra tinggal bersama paman juga tantenya setelah kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Sejak usia tiga belas tahun sudah menjadi yatim piatu, tak ingin mengandalkan belas kasih orang lain, dirinya selalu bekerja selepas pulang dari sekolah, hal tersebut terus berlanjut sampai usianya menginjak dua puluh tahun. Kaivan adalah laki-laki yang cerdas, mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu kampus ternama di Indonesia.

Sama seperti hari-hari lain, sesudah kuliah Kaivan langsung datang ke kafe untuk bekerja. Ia mengendarai sepeda motor butut keluaran tahun dua ribu lima untuk menuju tempat kerja. Namun, fokus mengemudinya terbelah tatkala melihat lima perempuan cantik masuk ke mobil mewah, melihat sekilas sembari mengagumi dalam hati, sebab takkan mungkin perempuan seperti mereka akan tertarik pada pemuda miskin. Lalu, menambah kecepatan sepeda motor agar segera tiba di kafe.

Lima belas menit berselang pemuda itu sudah sampai di tempat kerja, lebih cepat dua menit dari pada hari kemarin. Setelah memarkir sepeda motor dan melangkah masuk, langsung mendapat makian keras dari Manager cafe. "Telat lagi!"

"Maaf, Bos," tutur halus Kaivan sambil menunduk, tidak berani memandang wajah atasannya.

Pria itu mengembuskan napas kasar dengan mata melotot tajam. "Kalau besok telat, potong gaji!"

"Iya, Bos." Kaivan menjawab pelan sambil menghela napas.

"Ya sudah, sono buruan kerja!" titah orang itu. Sedangkan Kaivan mengangguk cepat dan segera mulai bekerja.

Ia bekerja sebagai pelayan, setelah berganti baju kerja segera mengambil pesanan dan mengantarkan ke meja pelanggan. Kaivan selalu tersenyum ramah dalam melayani pelanggan, hingga tak jarang banyak perempuan yang tertarik dengan paras tampan juga senyumannya, akan tetapi, para perempuan itu mundur ketika tahu kalau Kaivan berasal dari keluarga miskin. Pemuda yang baru saja selesai mengantar pesanan ke meja pelanggan berhenti melangkah sambil menoleh ke arah pintu kafe yang terbuka, melihat lima perempuan cantik yang tadi sempat dilihatnya sedang berjalan masuk ke kafe. Dia segera menghampiri mereka, menunjukkan tempat duduk yang kosong seraya memberikan buku menu.

"Mau pesan apa, Kak?" tanyanya ramah sesudah mengeluarkan buku catatan untuk menulis pesanan.

Kelima gadis cantik itu memandang Kaivan sekilas, kemudian saling berbisik sebelum tertawa bersama. Sedangkan ia sendiri tak ambil pusing, pasalnya sering digoda dan bahkan direndahkan oleh pelanggan. Ia berdiri diam sambil mengamati kelima gadis itu yang sedang sibuk memilih menu, tetapi fokus matanya hanya tertuju pada satu perempuan yang paling cantik dari lima perempuan tersebut.

"Bawakan semua makanan dan minuman mahal di kafe ini," papar gadis yang dari tadi dilihat Kaivan.

"Siap, Kak. Tunggu sebentar," pamitnya, kemudian berlalu pergi untuk mengambil pesanan. Perempuan itu mengibaskan tangannya ke udara sebagai tanda menyuruh kaivan segera pergi. Selanjutnya, mulai berbagi cerita dengan teman-temannya.

***

"Eh kok kayaknya aku gak asing sama wajah dia ya?" ujar salah satu dari mereka.

"Benar, kayak pernah lihat," tambah gadis lainnya. Hingga tiba-tiba teman mereka berseru keras. "Aku ingat!" Yang langsung mendapatkan pandangan aneh juga bingung dari keempat temannya.

"Dia kan teman satu kampus kita," terang perempuan itu." Dia itu mahasiswa yang mendapat beasiswa." Sementara keempat gadis lainnya mencoba saling mengingat.

"Dia kere dong," komentar sinis dari salah satu perempuan, yang mengundang gelak tawa semua temannya.

"Pinter sih, tapi miskin. Yang ada nanti hidup susah setelah menikah," pendapat gadis lain. Pada akhirnya, mereka berhenti tertarik pada Kaivan karena berasal dari kasta bawah.

"Benar kan, Shanaya?" tanya seorang perempuan pada temannya. Si pemilik nama menoleh ke arah teman yang bertanya, lalu mengangguk sebagai tanda setuju.

"Yup, benar sekali. Pintar itu bakat, tapi kalau kaya dan miskin adalah takdir."

Beberapa menit berikutnya Kaivan datang sambil membawa semua makanan mewah. Ia dengan hati-hati meletakkan satu per satu makanan juga minuman ke atas meja agar tidak terjatuh di lantai. Namun, dua laki-laki yang baru saja datang ke kafe segera menghampiri kelima gadis itu hingga secara tidak sengaja menyenggol tubuhnya.

Brukkk!

Beberapa makanan dan minuman yang dibawa Kaivan jatuh ke lantai, tapi bukannya minta maaf, laki-laki yang tadi menyenggol tubuhnya malah memaki kasar. "Woi, brengsek! Bisa kerja gak sih! Kotor sepatu mahal gue!"

"Maaf," sahut cepat Kaivan. Kemudian, berlutut dan membereskan makanan juga minuman yang tumpah untuk dibuang ke tempat sampah. Ia menahan amarah saat dilecehkan, pasalnya jika membuat kekacauan di tempat kerja pasti akan dipecat.

Namun, pemuda itu tidak puas dengan permintaan maaf, kembali berkata kasar untuk menghina Kaivan. "Dasar bego! Lain kali kalau kerja matanya dipakai!" Disertai menampar bagian kepala memakai tangan kiri. Kejadian ini tentu menarik banyak perhatian pelanggan, mereka menatap iba Kaivan sambil mengelus dada.

"Bayu!" seru Shanaya setengah berteriak. "Hentikan!"

Si empu nama menengok ke asal suara dan tersenyum manis. "Iya, Sayang." Selanjutnya, dia dan temannya duduk diantara kelima perempuan itu.

Kaivan berdiri dan membawa makanan yang tadi terjatuh kembali ke dapur, tidak sadar jika dari tadi gadis bernama Shanaya terus menatapnya. Perempuan itu merasakan hal aneh tatkala memandang Kaivan, jantungnya berdebar keras disusul perasaan hangat yang mengalir keluar dari lubuk hatinya.

"Perasaan macam apa ini?"' gumamnya dalam hati.

****

Kaivan tiba-tiba berhenti melangkah ketika Manager cafe menghadang jalannya. Pria itu melotot tajam disertai ekspresi wajah penuh kemarahan, lalu melontarkan kalimat kasar. "Dasar gembel! Kerja yang betul, semua makanan ini lebih mahal dari pada gaji lu!"

Pemuda itu menunduk diam tanpa ingin membalas perkataan, memilih lebih bersabar dari pada memperbesar kekacauan. Ia tidak takut pada Anto yang merupakan Manager cafe, hanya takut jika melawan akan kehilangan pekerjaan. Kaivan meminta maaf, sesudah itu melewati Anto untuk pergi ke dapur.

Dari tempat duduknya, bola mata Shanaya fokus menatap Kaivan yang sedang dimarahi. Dia jadi dirundung rasa bersalah, bahkan sampai mengabaikan teman-temannya yang saling bertukar cerita karena sedang berdebat dengan isi kepalanya.

"Shanaya!" tegur Bayu yang mendapati kekasihnya diam melamun.

"Iya?!" Shanaya tersadar dari lamunan dan langsung menengok cepat.

Bayu merasa aneh dengan sikap pacarnya, tapi segera menepis pikiran tersebut dan berusaha mencium pipi pacarnya. Namun, tangan kiri Shanaya bergerak cepat menghentikan tindakan kekasihnya. "Hentikan, Bayu! Jangan aneh-aneh!" tegasnya. Membuat laki-laki itu cemberut serta menarik mundur wajahnya.

*****

Negative Time. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang