Hari Pertama.

44 4 2
                                    

Hari kebebasan bagi Kaivan Affandra telah datang, selepas menandatangani sejumlah dokumen, sekarang pria berusia tiga puluh tahun tersebut secara resmi dinyatakan bebas. Sebelum pergi dari penjara, menyempatkan diri untuk berpamitan kepada seluruh tahanan lain yang sudah dianggapnya seperti keluarga.

Kaivan berdiri di depan gedung penjara, menengok ke belakang guna melihat bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama sepuluh tahun. Sesudah itu, menatap langit cerah sambil menghirup udara kebebasan yang terasa sangat segar, diikuti tangan kanan mengeluarkan secarik kertas. Ia membaca alamat tempat yang tertulis pada kertas tersebut, disertai bibir mengukir senyuman kecil. "Aku akan datang pada kalian semua," gumamnya dalam hati. Namun, tiba-tiba datang mobil bermerk BMW warna hitam yang berhenti tepat di dekatnya, Kaivan mengalihkan pandangan ke mobil serta melihat pintu mobil terbuka disusul langkah kaki keluar seorang pria dari pintu depan.

"Selamat siang," sapa ramah pengemudi mobil yang mengenakan setelan jas hitam.

"Siapa kau?" tanyanya cepat sambil memandang pria tersebut dari ujung rambut sampai pangkal kaki.

"Saya Beno," balas lelaki bertubuh tegap. "Saya ditugaskan Tuan Regan untuk menjemput Anda."

Kaivan tersenyum kecil mendengar penjelasan tersebut, tak menyangka jika temannya semasa di penjara akan ingat hari kebebasan dirinya. Lalu, menatap Beno sembari berkata. "Kau pergilah. Katakan pada Regan kalau aku akan datang nanti malam, ada urusan lain yang harus diselesaikan terlebih dulu." Selesai berbicara, langsung berjalan pergi menuju tempat dulu dia dibesarkan.

Sementara Beno bergeming di tempat serta diselimuti kebingungan, pasalnya tidak berani menyampaikan pesan tersebut pada Regan. Apalagi bosnya itu mempunyai kepribadian mudah emosi. "Sial!" keluhnya, kemudian menggerakkan kepala untuk melihat punggung seorang pria yang kian menjauh.

***

Kaivan harus naik angkutan umum untuk kembali pulang ke rumah, setelah turun di pinggir jalan dekat rumahnya, lanjut berjalan kaki menuju kediaman dirinya dulu dibesarkan, tanpa lupa mampir ke sebuah warung kelontong guna membeli beberapa botol bensin. Ia berhenti melangkah saat sudah berada dekat rumahnya, memandang bangunan berukuran sedang itu sembari mengingat segala kenangan indah pada masa kecil.  Namun, ekspresi mukanya berubah kemarahan disertai sorot mata menajam tatkala melihat seorang pria keluar dari rumah tersebut. Kaivan yang sudah terlanjur naik pitam bergegas menghampiri.

"Halo, Om!" tegurnya kasar yang menyebabkan pria tersebut terkejut.

Namanya adalah Wisnu Hardhana, pria berumur lima puluh sembilan tahun yang merupakan adik dari ayah Kaivan. Mempunyai badan tinggi dan kurus, disertai memiliki model rambut pendek yang dipenuhi uban.

"Kaaa ... kkaammu sudah bebas?" timpalnya terbata-bata, selain terkejut juga merasa takut atas kedatangan keponakannya. Melangkah mundur perlahan untuk masuk ke dalam rumah.

Namun, tangan kiri Kaivan bergerak cepat mencengkeram kuat bahu Wisnu sembari menatap tajam dan tersenyum jahat. "Om tidak lupa kan yang terjadi di persidangan sepuluh tahun lalu!"

Sepuluh tahun lalu, Kaivan menjalani persidangan atas tuduhan pembunuhan kakak dari pacarnya, padahal bukan dirinya yang melakukan kejahatan tersebut. Namun, karena banyak orang yang memberikan kesaksian bohong dan bukti palsu, sehingga dia harus dihukum kurungan penjara tiga belas tahun. Salah satu orang yang memberikan kesaksian palsu adalah Wisnu beserta istri dan anaknya.

Pria berbadan kurus itu menatap pucat seraya mengingat kesaksian palsunya di persidangan. Ia gemetar, diiringi keringat dingin keluar membasahi wajah dan sekujur badan, kemudian mencoba untuk menjelaskan. "Kaaa ... Kkaai ... Kaivan maafka ...." Belum sempat kalimat itu selesai sebuah bogem mentah sudah menghujam wajahnya.

Negative Time. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang