Shanaya & Kaivan.

14 3 2
                                    

Shanaya tidak mengikuti mata kuliah siang ini, memilih menyendiri duduk di taman sambil memikirkan seorang laki-laki. Ia digelayuti rasa bersalah, sehingga tanpa sadar terus memikirkan pemuda tersebut. Gadis itu tiba-tiba membuang napas, disusul berdiri dari tempat duduk serta hendak melangkah pergi, akan tetapi, seseorang berteriak memanggil namanya seraya berjalan menghampiri. "Sayang!" Shanaya menunda langkahnya, menghadap ke asal suara sembari memandang kekasihnya. "Ada apa, Bay?"

Pemilik nama Bayu itu terengah-engah setelah berlari kecil dan berhenti di depan kekasihnya. Dia mengulas senyum sejenak sebelum bertanya. "Kamu mau ke mana? Kok gak ikut kelas?"

"Lagi males," balas Shanaya. Yang membuat bibir Bayu menyeringai tatkala muncul ide di benaknya. "Jalan-jalan, yuk!" ajaknya. Namun, tawaran darinya ditolak halus, sebab gadis berparas ayu sedang ingin menghabiskan waktu tanpa ditemani siapapun.

"Sorry, aku sedang ingin sendiri dulu." Sesudah itu berjalan pergi meninggalkan pacarnya.

Sementara Bayu dirundung kecewa, raut mukanya menjadi masam sambil menaruh curiga pada kekasihnya. Pemuda yang memandangi kepergian Shanaya itu merogoh saku celana serta mengeluarkan smartphone, menekan layarnya sebelum menempelkan benda pipih ke dekat telinga.

"Halo, Bay. Ada apa?"

"Gue ada tugas buat lu."

"Tugas apa?"

"Gue ingin hari ini elu pergi membuntuti Shanaya. Lalu, besok pagi laporan ke gue."

"Siap. Tapi bayarannya?"

"Akan gue transfer setelah elu laporan."

Setelah menelpon, ia terus memandangi Shanaya yang kian menjauh disertai bibir mengukir senyum jahat. "Kau takkan lepas dari genggamanku!"

****

Usai pergi dari taman, Shanaya bergegas pergi menggunakan mobil menuju ke kafe tempat kemarin dirinya nongkrong bersama teman-temannya. Dia tidak ingin terus dihantui rasa bersalah, maka ingin berjumpa dengan pemuda itu untuk meminta maaf. Selepas dua puluh menit perjalanan, akhirnya tiba di tempat tujuan, segera turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam kafe. Gadis berparas cantik itu mengedarkan pandangan, tetapi tidak menemukan sosok yang sedang dicari, lalu bertanya pada pelayan perempuan yang kebetulan lewat tepat di depannya.

"Permisi, Kak."

"Iya, Kak. Ada apa?"

"Mau tanya, pelayan kafe laki-laki yang kemarin mana?"

"Pelayan yang mana, Kak? Di sini ada lima pelayan laki-laki," terang pelayan perempuan.

Shanaya dilanda bingung, tak mampu menjelaskan tentang sosok yang dimaksud. Ia mendesah kecil sembari menatap pelayan yang ada di depannya, kemudian berkata. "Yang ganteng itu loh." Sebelum sempat menerima jawaban dari pelayan perempuan, pintu kafe lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang laki-laki berjalan masuk serta melewatinya. Iris mata Shanaya melebar melihat sosok tersebut, sampai tak sadar jika berteriak memanggil. "Hai!"

Merasa seperti ada yang memanggil, Kaivan menoleh ke belakang serta melihat rekan kerjanya yang sedang berbicara dengan seorang gadis. "Ada apa?" tanyanya pada mereka.

Shanaya mendekat ke Kaivan, lalu menyampaikan kalimat. "Aku ingin berbicara denganmu."

"Gak bisa," tolak pemuda berambut belah samping. "Aku harus kerja."

Gadis tersebut membuang napas kecewa, diikuti menatap sejenak lawan bicaranya. "Ya sudah, aku akan tunggu kau sampai istirahat atau selesai bekerja," jelas Shanaya. Yang mendapatkan balasan acuh dari Kaivan.

"Terserah."

Lalu, ia berjalan pergi untuk berganti pakaian dan mulai berkerja. Sedangkan Shanaya beralih ke meja kosong, serta duduk menunggu sembari memesan makanan.

****

Shanaya duduk menunggu lebih dari satu jam, sudah mulai dilanda rasa bosan serta jenuh terus bermain handphone. Di sisi lain, Kaivan yang tengah sibuk melayani pelanggan sesekali mencuri pandang ke arah Shanaya, sebetulnya dirinya ingat akan perempuan itu, tetapi memilih berpura-pura lupa karena tidak ingin berhubungan, apalagi tahu kalau Shanaya adalah idola di kampusnya. Namun, pemuda itu merasa bersalah karena telah mengabaikan dan sempat bersikap kasar, maka selepas melayani pelanggan segera menghampiri gadis tersebut.

"Hai," sapa ramah Kaivan, sangat berbeda dengan cara bicara sebelumnya yang agak kasar. Tangannya bergerak menarik sedikit bangku ke belakang, sebelum duduk serta kembali berbicara. "Jadi apa tujuanmu ingin bertemu denganku?"

Shanaya yang dilanda rasa bosan tingkat tinggi langsung terkejut melihat Kaivan datang dan duduk di depannya. Raut muka yang tadi kusut seketika berubah cerah disertai senyum manis yang terukir dari bibir. Dia tiba-tiba dilanda bingung, detak jantungnya tak menentu diiringi rasa gugup. "Emm ... aku ingin minta maaf soal kemarin," tuturnya, "gara-gara aku dan teman-temanku, kamu jadi kena marah."

Pemuda berparas cukup tampan sempat mengerutkan kening tatkala mendengar permintaan maaf dari kawan bicaranya. "Tidak apa-apa. Bukankah orang kaya selalu seperti itu," timpal Kaivan bernada sinis.

"Maksudnya?" Shanaya dibuat bingung oleh komentar laki-laki yang ada di depannya. Satu alisnya terangkat naik sambil memikirkan arti ucapan tadi. Namun, Kaivan segera mengoreksi kalimatnya. "Bukan apa-apa, lupakan."

Situasi berubah canggung, kedua insan lawan jenis itu saling diam tanpa ada kata yang ingin diucapkan. Namun, hal itu tak berlangsung lama, sebab keduanya mendadak saling bertukar pandangan sebelum secara serempak membuka suara. "Maaf ...." Shanaya dan Kaivan masih saling memandang, lalu tertawa pelan bersama. Situasi canggung segera sirna dan berganti nuansa hangat, disusul mereka yang saling mengobrol ringan. Sampai tidak terasa sudah sepuluh menit keduanya berbincang, Kaivan kemudian pamit karena harus kembali bekerja setelah melihat kafe sudah penuh pelanggan. Sementara Shanaya juga ijin pergi sebab sudah terlalu lama berada di kafe. Sebelum berpisah, mereka saling berkenalan juga bertukar nomor handphone.

Awalnya Kaivan terkejut karena gadis itu ingin menjadi temannya, bahkan meminta nomor handphone, tapi, ia tetap memberikan nomor handphone miliknya secara sukarela. Mungkin, pemuda tersebut tak sadar bahwa sudah jatuh hati pada sosok cantik di hadapannya.

****

Shanaya Adhisti Kaifa duduk di taman sendirian, mengingat kejadian sebelas tahun lalu saat pertama kali berteman dengan Kaivan. Bibirnya mungkin mengukir senyuman saat mengingat hal itu, tetapi air matanya mengalir deras membasahi wajah. Sudah lebih dari sepuluh tahun, tapi kenangan tersebut masih terukir jelas pada benaknya, seolah tak lekang oleh arus waktu. Kedua tangan gadis itu bergerak menghapus air mata, kemudian berdiri dari tempat duduk dan berjalan pergi meninggalkan taman. Berharap kali ini semua kenangan tentang pemuda itu sirna untuk selamanya.

*****

Negative Time. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang