Setelah melaksanakan salat subuh aku bergegas menyiapkan sarapan, tak lupa akupun membuatkan bubur ayam untuk Ibu. Ibu selalu lahap memakan bubur ayam buatanku meskipun tengah sakit jadi setiap kali Ibu sakit makanan inilah yang selalu kubuatkan untuk Ibu.
Mas Raikhan pulang bertepatan saat makanan telah tertata rapi di atas meja makan. Seperti biasa ia memelukku dan mencium keningku.
"Wangi," ucapnya, memuji rambutku yang tadi subuh sudah kukeramas.
"Tapi wanginya sudah bercampur sama wangi ikan asin yah, Mas?" Tanyaku padanya, tadi aku memasakkan ikan asin untuk Mas Raikhan jadi sudah pasti wangi rambutku sudah bercampur dengan wangi ikan asin.
"Nggak kok."
"Masa? Mas mau langsung makan?"
Mas Raikhan mengangguk. Segera kuambil sepiring nasi beserta lauk pauknya. Mas Raikhan langsung makan dengan lahapnya.
"Kemarin Mas nggak makan yah?" Tanyaku sambil mengisi kembali piringnya dengan nasi dan lauk pauknya.
"Makan tapi cuma sedikit."
"Kirain nggak makan? Oh iya Ibu gimana?"
"Sudah membaik." Jawaban Mas Raikhan terdengar tidak acuh. Ia seakan malas membahas tentang Ibu.
"Aku sekarang jenguk Ibu yah, Mas istirahat saja di rumah, biar aku naik taksi saja ke rumah sakitnya."
"Nggak perlu ke rumah sakit," Mas Raikhan menghentikan kegiatan makannya padahal masih ada makanan yang berada di piringnya.
"Kenapa?"
Mas Raikhan tidak menjawab pertanyaanku, ia malah berlalu pergi menuju kamar. Ingin sekali aku mengejarnya namun aku menahan diriku untuk melakukan hal itu. Mas Raikhan baru pulang kerja, semalaman ia menunggui Ibu di rumah sakit, pasti sekarang ia merasa lelah jadi aku harus memberi waktu padanya untuk beristirahat.
***
Satu jam kulalui dengan kebingungan dan rasa penasaran yang kuat, kegiatan membersihkan rumah tidak mampu menyirnakan kedua perasaan tersebut. Akhirnya aku memilih untuk masuk ke dalam kamar. Aku kira Mas Raikhan tengah tidur namun ternyata tidak.
"Kenapa baru masuk?" Tanyanya saat aku telah merebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Tangannya memeluk bahuku. Ia pun mencium pucuk kepalaku dengan lembut.
"Aku kira Mas mau istirahat," jawabku, kucium tangannya yang memeluk bahuku.
"Irana," Mas Raikhan menyebut namaku dengan begitu lirih.
"Hmm," sahutku.
"Maafkan Mas yah belum mampu menjadi suami yang baik untukmu."
Aku membalikan tubuhku, sehingga kini posisi kami saling berhadapan. "Maafkan aku juga...aku belum mampu menjadi istri yang baik untuk Mas." Rasa sedih mulai menyelimuti hatiku saat aku melihat mata Mas Raikhan yang memerah, wajahnya terlihat begitu lelah dan tak lama ia pun menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan wajahnya di pundakku.
Kata maaf berulang kali ia ucapkan padaku dan pernyataan yang menyakitkan pun mulai terangkai dari bibirnya yang bergetar.
Tangiskupun mulai luruh...hatiku terasa begitu sakit... Kemarahan seakan membakar seluruh tubuhku. Aku melepaskan pelukan Mas Raikhan dengan kasar seraya beranjak dari atas tempat tidur.
"Kenapa Mas berbohong?" Tanyaku disela isak tangisku.
"Aku tidak mau menyakitimu."
Kutepis tangan Mas Raikhan yang hendak meraih tubuhku ke dalam pelukannya. "Apa Mas tahu... Yang kurasakan sekarang jauh lebih sakit... Sejak kapan Mas mulai merencanakan pernikahan tersebut? Sejak kapan Mas mulai dekat dengannya? Pertanyaan itu sekarang berputar-putar di kepalaku, Mas. Dan semua itu terasa begitu menyakitkan... Kamu menikah lagi tanpa sepengetahuanku...kamu anggap apa aku? Istri mandul yang tak bisa memberimu keturunan?"
"IRANA!"
"APA?" Aku balas berteriak pada Mas Raikhan, ini kali pertama aku berteriak padanya tapi aku sama sekali tidak mempedulikannya. "Kamu benar-benar nggak punya hati, Mas."
"Irana dengarkan aku dulu." Mas Raikhan memegang tanganku dengan kuat saat aku hendak keluar dari kamar. "Ibu yang merancanakan ini semua."
Napasku memburu. Amarah masih menguasai diriku, tapi sebisa mungkin aku berusaha untuk mengontrolnya.
"Maafkan Mas membohongimu, tapi asal kamu tahu Mas pun merasa bingung. Mas tak ingin durhaka pada Ibu, Mas pun tak ingin menyakitimu.."
"Tapi pada akhirnya Mas memilih untuk menyakitiku...." Kata-kata itu keluar dengan begitu saja dari mulutku.
Mas Raikhan memeluk tubuhku dengan begitu erat, sangat erat dan kata maafpun kembali terus terucap dari bibirnya.
"Jangan tinggalkan aku Inara...aku sungguh mencintaimu."
Cinta???? Akankah ia tetap mencintaiku di kala akad lain telah tergelar?
💎💎💎
3 Rabiul Akhir 1443H
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelamnya Sang Rembulan
RomanceAku kira mampu menjalaninya, namun ternyata tidak. ini terlalu menyakitkan. Maafkan aku Mas karena sudah berani-beraninya mempersilahkan engkau untuk membagi cintamu.