5. Pertemuan Menyakitkan

1.7K 416 98
                                    

Tiga bulan berlalu. Semuanya masih terasa sama. Rasa ikhlas belum terbangun dengan kokoh, namun sedikit demi sedikit aku mulai membiasakan diri untuk kembali dapat menjadi istri yang baik untuknya.

Untuk pertama kalinya aku kembali memasakkan makanan untuknya, ekspresi terkejut terlihat jelas dari wajah Mas Raikhan, tapi aku mengabaikannya.

"Makan dulu Mas," ucapku sambil menghidangkan berbagai macam makanan kesukaannya di atas meja makan.

"Kamu yang masak ini semua?"

Aku mengangguk, ku ambilkan sepiring nasi beserta lauk-pauk untuknya.

Selama kegiatan makan berlangsung tak ada pembicaraan yang terjalin, sepi senyap. Hal inilah yang selalu terjadi di kala aku dan Mas Raikhan bertemu dan melakukan kegiatan bersama. Hampa, tidak terasa hangat seperti dulu. Kita bagaikan dua orang asing yang tak saling mengenal.

"Bolehkah aku bertemu dengan dia?" Tanyaku saat Mas Raikhan hendak pergi ke tempat kerja.

Mas Raikhan mengerutkan keningnya. "Dia? Siapa?" Tanyanya bingung.

"Istrimu."

Lagi-lagi ekspresi terkejut menghiasi wajah Mas Raikhan.

"Sudah saatnya aku untuk mengenalnya." Ya, aku rasa memang sudah saatnya aku mengenal siapa wanita yang kini juga bertahta di hati Mas Raikhan.

"Benar kamu ingin bertemu dengannya? Se.. sekarang dia sudah hamil... Alhamdulillah kandungannya sudah berusia enam Minggu," Mas Raikhan berucap pelan. Matanya menyiratkan kebahagiaan.

Hatiku seketika terasa sakit, sangat sakit.

"Alhamdulillah," hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari mulutku, aku berusaha untuk tersenyum.

Mas Raikhan mendekat ke arahku, perlahan ia membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Ia mencium pucuk kepalaku lembut. Dengan tangan gemetar akupun membalas pelukannya. Kini pelukannya terasa begitu menyakitkan, saking sakitnya sehingga membuat hatiku terasa begitu sesak.

"Maafkan aku, Mas." Ucapku lirih. "Banyak hal buruk yang telah kulakukan padamu... semoga kamu mau memaafkanku."

"Harusnya Mas yang minta maaf padamu. Maafkan Mas yang telah menorehkan luka yang begitu dalam di hatimu..."

***

Aku memilih rumahlah yang akan menjadi tempat dimana aku bertemu dengannya. Mas Raikhan menawarkan pertemuan dilakukan di sebuah restoran, namun aku menolak. Aku tak ingin mengatur pertemuan ini di tempat umum.

Tepat pukul empat sore ia datang bersama Mas Raikhan, senyum canggung terlukis di wajahnya yang teduh.

"Assalamualaikum, Mbak. Maaf baru mengunjungi Mbak sekarang."

Sebisa mungkin aku berusaha untuk membalas senyumnya. "Waalaikumsalam, tidak apa-apa. Silahkan masuk."

Aku bergegas ke dapur untuk mengambilkan minuman untuknya.

Di dapur Bi Sumi berbisik ke telingaku. "Itu pelakornya yah Bu?"

"Hush...nggak boleh ngomong gitu. Dia istrinya Mas Raikhan juga."

"Ah pokoknya di mata saya dia pelakor, kaya nggak ada laki-laki lain aja di dunia ini sampe harus nikah sama laki orang padahal dia cantik yah. Aneh banget, masa iya dia nggak laku sama perjaka..."

"Bi.. udah ah. Jangan ngomong yang buruk-buruk lagi. Sekarang bawa ini yah kedepan. Saya mau siapin kue dulu."

"Ih Ibu mah terlalu baik, kalau saya jadi ibu udah saya jambak tuh si pelakor, plus bakal saya siram mukanya pakai air panas, ini mah ibu malah kasih minum sama kue," Bi Sumi terus saja menggerutu, namun aku mengabaikannya.

Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa kue dalam toples.

"Nggak usah repot-repot, Mbak." Ia berucap lembut, iapun membantuku menyajikan minuman dan kue di atas meja tamu.

Mas Raikhan baru keluar dari kamar, kemeja kerjanya sudah berganti dengan kaos santai berwarna abu. Kuperhatikan ia yang tengah menatap Mas Raikhan dengan tatapan cinta. Dan tentu aku merasa begitu cemburu dan marah.

Mas Raikhan memilih duduk di sofa tunggal sedangkan aku memilih duduk di samping dia. Ya, dia yang hingga detik ini aku belum tahu namanya.

Kami bertiga diliputi kesunyian. Tak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan. Hingga akhirnya aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membuka pembicaraan.

"Selamat yah atas kehamilannya, semoga senantiasa Allah beri kesehatan," ucapku.

Sekilas ia terlihat terkejut, namun tak berlangsung lama, rona kebahagiaan langsung terpancar dari wajahnya. "Aamiin, Mbak."

Pembicaraan basa-basi mulai terjalin, dari pembicaraan basa-basi itu pun aku tahu ternyata ia bernama Nesya, umurnya lebih muda dua tahun dibandingkan aku.

"Maafkan aku Mbak." Nesya mengucapkan kata itu saat Mas Raikhan memberikan kami waktu berdua untuk mengobrol.

"Tidak usah minta maaf," bukan kata itu yang sebenarnya ingin ku ucapkan. Aku ingin bertanya kenapa ia tega masuk ke dalam istana kami? Dimana ia menyimpan hatinya? Namun tentu aku menelan keinginan itu dalam-dalam.

"Aku sudah mencintai Mas Raikhan dari jaman kuliah, kebetulan kita satu kampus." Ia mulai bercerita. Ingin rasanya aku menghentikan ceritanya, namun lidahku tak mampu untuk ku gerakan. Dengan perasaan sedih bercampur marah aku mendengarkan segala ceritanya.

"Allah mengabulkan doaku, Allah akhirnya menjodohkan aku dengan Mas Raikhan walaupun aku harus rela berada di posisi yang kedua..."

Harus rela? Apakah ia tidak merasa rela berada di posisi itu? Lantas kenapa ia mau dinikahi oleh Mas Raikhan? Apa ia berharap aku dan Mas Raikhan berpisah, sehingga pada akhirnya hanya dia lah yang bertahta sebagai ratu di dalam istana yang pada awalnya hanya milik aku dan Mas Raikhan?

Obrolan kami berlangsung hingga waktu magrib tiba, setelah waktu magrib tiba Mas Raikhan pun pergi mengantarkan Nesya.

Ya Allah... Aku kira setelah aku bertemu dengannya beban di hatiku akan sedikit berkurang, namun ternyata sebaliknya... Hati ini malah terasa semakin sakit.

Mampukah aku untuk tetap bertahan?

💍💍💍

05 Rabiul Akhir 1443H

Menurut kalian gimana, lebih baik menyerah atau bertahan?

Tenggelamnya Sang RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang