Aku tidak mampu menghapus senyumku saat melihatnya berdiri di ambang pintu. Di balik punggungnya ia menyembunyikan sesuatu dan sebenarnya aku tahu apa yang ia sembunyikan namun untuk menyenangkan hatinya aku pura-pura tidak tahu.
"Apa yang Mas bawa?" tanyaku setelah terlebih dulu menjawab salamnya.
Dia tersenyum tidak kalah lebar dengan senyumanku hingga membuat matanya yang sipit tertarik membentuk bulan sabit.
Tangan kanannya yang bebas membelai pipiku, "Aku mencintaimu," ucapnya dengan nada yang begitu lembut, "Terimakasih banyak untuk sembilan tahun yang menganggumkan," ia diam sejenak. Sepertinya ia mencoba mengingat-ngingat kata yang hendak ia ucapkan selanjutnya. Kata-kata yang mungkin sudah ia coba hafalkan seharian penuh sambil membuat laporan tentang pasien-pasiennya yang sangat ia sayangi, "Kau bagaikan...," ia kembali diam. Sebisa mungkin aku menahan bibirku untuk tidak menertawakannya. Ia berdehem beberapa kali, berusaha untuk mengingat sebaris kalimat yang sepertinya ia lupakan, "Kau bagaikan buih ombak di lautan."
"Buih ombak?" Aku menatapnya bingung. Apa tidak ada perumpamaan yang lebih cantik di banding buih ombak?
Ia mengangguk. Tangan kanannya yang beberapa detik yang lalu masih membelai pipiku kini sudah berpindah menggenggam tangan kiriku, "Karena tanpa buih ombak lautan tidak akan indah. Tanpa buih ombak pasir takan basah dan tanpa buih ombak kita tidak akan bertemu."
Aku mengerjapkan mataku lebih dari tiga kali... ternyata ia masih mengingatnya dan aku sungguh merasa begitu terharu karena ternyata ia tidak melupakan apa yang pernah terjadi diantara aku dan dirinya karena si buih ombak.
Enam belas tahun yang lalu saat usiaku belum genap tujuh belas tahun, saat senja menghiasi langit pantai jimbaran dan saat si buih ombak hampir saja menarikku ke tengah lautan ia datang menolongku.
"KAU GILA!" teriaknya tepat di hadapan wajahku, "DIMANA KAU SIMPAN OTAKMU!"
Aku hanya menundukkan kepalaku. Menyembunyikan mataku yang sudah merah. Dalam hati aku menggerutu. Kenapa dia malah memarahiku bukannya menenangkanku yang hampir saja tenggelam? Apa dia tidak ikhlas, kalau tidak ikhlas kenapa harus repot-repot menolongku?
"Angkat kepalamu Irana!" Ia kembali membentakku dan aku bersyukur karena ia sudah tidak berteriak lagi, "Look at me!"
Aku membersit mataku yang sudah basah oleh air mata sebelum mendongak untuk melihat matanya, namun hanya sekilas sebelum aku kembali menundukkan kepalaku.
"Irana," ia memperingatiku.
"Aa..aku tidak bisa menatapmu."
"Why?"
"Kamu bukan mahromku."
Hening. Aku tidak tahu dia mengerti apa tidak dengan apa yang barusan aku ucapkan.
Ia menghela napas panjang dan setelahnya ia langsung berlalu meninggalkanku begitu saja. Aku menghembuskan napas lega saat ia benar-benar telah pergi dari hadapanku. Ia sungguh menakutkan. Tapi aku bingung kenapa banyak yang menyukainya?
"Irana sorry," Adelia, sahabat terbaikku langsung berhambur memelukku, "Kau..kau tenggelam.. kak Raikhan menolongmu.. kak Raikhan marah?" Kalimat yang Adelia ucapkan tak karuan urutannya hingga membuatku pusing untuk mencernanya.
Aku hanya mengangguk setelahnya aku memintanya untuk membantuku kembali ke hotel. Kakiku masih terasa lemas. Buih ombak yang terlihat indah namun ternyata menakutkan membuat jantungku berdetak di atas batas normal.
Ciuman hangat di kening menarikku kembali dari lamunan masa lalu. Dia yang dulu galak sekali kini berubah jadi sangat lembut.
"Ini untukmu sayang," dia memberikan sembilan tangkai mawar biru. Bunga kesukaanku.
Aku bukan main senangnya. Ku peluk erat dirinya.
"Cuma pelukkan?" Matanya yang coklat menuntut lebih.
Wajahku terasa memanas. Meski sudah sembilan tahun bersama tetap rikuh rasanya kalau harus aku yang menciumnya duluan. Malu.
Ia menangkup kedua pipiku. Telapak tangannya terasa hangat, "Masih juga malu?" Ia menyentuhkan hidung mancungnya ke hidungku yang tidak begitu mancung. Terkikik pelan, menertawakan wajahku yang sepertinya sudah seperti kepiting rebus yang mengeluarkan uap panas.
Aku memejamkan mataku. Tidak berani terlalu lama beradu pandang dengannya.
"Kenapa menutup mata?" tanyanya. Jari telunjuknya menyentuh kelopak mataku yang tertutup.
"Ingin saja. Memangnya tidak boleh kalau aku menutup mataku?"
Aku sudah hendak kembali membuka mataku namun urung saat ia malah meletakkan telapak tangan kanannya di kedua mataku sehingga otomatis meskipun aku telah membuka mataku aku tidak bisa menatap wajahnya karena terhalang oleh telapak tangannya.
Tubuhku seketika membeku namun hatiku terasa hangat, seakan ada bunga-bunga yang indah tengah bermekaran memenuhi hatiku saat bibirnya menyentuh hangat bibirku. Hanya kecupan tidak lebih namun dampaknya amatlah berlebihan, kakiku jadi terasa lemas untung saja dia mendekap pinggangku dengan erat kalau tidak aku rasa aku sudah luluh di atas lantai yang dingin.
Belum reda rasa kagetku karena ciumannya tiba-tiba dia menggendongku. Layaknya seperti pengantin baru.
"Ih apaan sih malu. Kalau Bibi lihat gimana?" gerutuku memintanya untuk menurunkanku.
"Kenapa mesti malu? Lagian pasti si Bibi sudah asik dengan acara dangdut di tv jadi tidak akan ada waktu baginya untuk melihat kita," ucapnya yakin. Perlahan ia mulai melangkahkan kakinya dengan mantap menapaki setiap anak tangga.
"Mas apa aku nggak berat? Beratku naik loh dari 50 jadi 52."
Ia menggeleng. Sesekali mengecup kedua pipiku bergantian.
Tangan kananku yang bebas dari tugas memegang mawar biru melingkar erat di lehernya saat ia mulai menaiki satu persatu anak tangga.
"Mas beneran nggak berat?" Tanyaku sekali lagi memastikan.
"Nggak dek. Sama sekali nggak berat," ucapnya meyakinkanku.
"Yasudah. Awas yah kalau nanti minta diurut pinggangnnya. Aku nggak mau."
"Kok nggak mau? Kalau bukan kamu siapa yang bakal ngurutin pinggang aku?"
Manis...
Semanis itulah kisahku dengannya. Namun tidak setelah dia membagi cintanya dengan yang lain.Tak ada lagi dekapan hangat yang aku dapatkan darinya.....
Tak ada lagi ciuman manis yang dia berikan untukku....
Semuanya terasa hambar....
💎💎💎
23 Dzulkaidah 1445H
Ada yang masih ingat sama cerita ini?
Ini bukan cerita baru yah, ini ceritaku yang dulu, dan insya Allah akan aku repost dengan beberapa perubahan yang cukup banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelamnya Sang Rembulan
RomanceAku kira mampu menjalaninya, namun ternyata tidak. ini terlalu menyakitkan. Maafkan aku Mas karena sudah berani-beraninya mempersilahkan engkau untuk membagi cintamu.