6. Ia Ingin Aku Menyerah?

2K 465 70
                                    

Aku menghentikan bacaan Al Quranku saat Mas Raikhan datang, dia duduk di belakangku lantas memeluk bahuku dan mengecup pucuk kepalaku.

"Aku kira Mas akan menginap di rumah Nesya. Bukankah sudah mendekati hari kelahiran? Bagaimana kalau Nesya butuh kamu?"

Mas Raikhan tidak menjawab pelukannya terasa semakin erat.

"Lanjutkan baca Al Quran nya," pinta Mas Raikhan, aku menurutinya.

Aku kembali membaca Al Qur'an. Dan Mas Raikhan tetap bertahan memelukku. Dulu kegiatan seperti ini adalah kegiatan yang sangat kusukai, aku membaca Al Qur'an sambil dipeluk olehnya, atau ialah yang membaca Al Qur'an sambil memelukku. Namun, sekarang kegiatan ini tak lagi kusukai. Tanpa dapat ku kontrol pikiranku malah berkelana kemana-mana walaupun bibir ini tak berhenti melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Sekarang pelukan hangat ini tak lagi menjadi milikku, mungkin Mas Raikhan pun melakukan hal sama dengan Nesya.

"Bacakan artinya." Permintaan Mas Raikhan menyadarkan ku dari ketidakbenaranku dalam membaca Al Qur'an, harusnya aku memfokuskan pikiranku pada setiap ayat yang kubaca tapi yang kulakukan malah melamun.

"Yang ini Mas," kutunjuk surah at taubah ayat ke lima puluh sembilan, ayat terakhir yang kubaca.

Mas Raikhan mengangguk, kepalanya bersandar di bahuku. Dan akupun membacakan terjemahan dari ayat tersebut.

"Dan sekiranya mereka benar-benar ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya, dan berkata Cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rasul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah."

Mas Raikhan mengeratkan pelukannya. "Irana."

"Kenapa Mas?"

"Apa kamu ridho atas apa yang kini telah terjadi dalam rumah tangga kita?"

"Keikhlasan belum terbangun dengan kokoh Mas, jadi diri ini pun belum merasa ridho atas apa yang telah terjadi," jawabku jujur. Ya, itulah yang kurasakan, sudah hampir setahun semuanya berlangsung. Namun sungguh keikhlasan itu belum aku rasakan, seringkali aku merasa cemburu saat melihat Mas Raikhan bersama Nesya, seringkali aku berburuk sangka saat Mas Raikhan tidak pulang ke rumah padahal seharusnya ia pulang ke rumah kami. Andai ikhlas telah terbangun kokoh mungkin rasa tersebut tidak akan aku rasakan.

Mas Raikhan mengambil Al Qur'an yang ada di tanganku, lantas menyimpangkannya ke atas tempat tidur. Ia memintaku untuk duduk menghadapnya, dan akupun menurutinya.

Kedua tangan Mas Raikhan menggenggam kedua tanganku. "Apa yang membuatmu tetap bertahan?"

Hatiku terasa sakit saat mendengar perkataan Mas Raikhan, entah kenapa aku merasa kalau ia berharap aku akan menyerah, melepasnya untuk bahagia bersama Nesya dan calon buah hati meraka. Apa mungkin kini aku di matanya terlihat seperti pengganggu untuk rumah tangganya bersama Nesya?

"Kenapa menangis?" Mas Raikhan hendak membelai pipiku yang ternyata telah basah oleh air mata namun aku menepisnya.

"Apa Mas ingin aku menyerah?" Tanyaku dengan suara bergetar.

Mas Raikhan tidak memberikan jawaban apapun, ia hanya diam.

"Kalau memang itu yang Mas inginkan silahkan Mas ceraikan aku," ucapku sambil berlalu dari hadapan Mas Raikhan.

Semuanya terasa begitu menyakitkan, di kala aku tengah berusaha keras untuk membangun rasa ikhlas muncul di hatiku, ia malah berkeinginan untuk mengakhiri semuanya.

Harusnya aku sudah dapat menerka kalau ternyata kini diriku tak lagi penting di matanya, posisiku sudah tergantikan oleh seseorang yang tentunya jauh lebih baik dariku.

Ia cantik, berpendidikan, dan tentunya iapun mampu memberikan keturunan pada Mas Raikhan.

Ya Allah... Inikah takdir yang memang telah Engkau tentukan untukku?

💍💍💍

0

6 Rabiul Akhir 1443H

Jangan lupa baca Al Kahfi



Tenggelamnya Sang RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang