Teh sudah siap untuk disuguhkan usai menyaring dan mengaduk perlahan, melarutkan gula yang mengendap di dasar gelas. Jangan lupa, gerutuanku masih terus terlontar dari bibir.
Cangkir cembung bening dengan ukiran bunga berisi cairan berwarna kecoklatan itu menguarkan aroma harum melati. Segar menenangkan. Rasa kesal yang beberapa saat lalu membuat mulutku tak berhenti menggerutu, seakan lenyap berganti ketenangan. Apakah ini yang namanya aromaterapi? Alah, embuh. Aku gak peduli tentang itu.
Gegas aku beranjak menuju ruang makan yang hanya berjarak beberapa meter saja dari dapur. Pria aneh, eh, gak dosa, kan, ngatain aneh putra kiai sendiri? Astaghfirullah, maaf, Gus, saya sebel soalnya. Dia terlihat sedang duduk manis dengan kitab terbuka di meja makan. Tetapi, tangannya sibuk mengotak-atik ponsel di tangannya.
"Nuwun sewu, Gus," ucapku seraya mengangsurkan teh di meja. Gus Hilmi menyudahi kegiatannya dan menaruh ponsel di samping kitab. Usai menaruh teh pesanannya, aku pun segera pamit beringsut mundur.
"Mbak Arina." Panggilan Gus Hilmi mengurungkan langkah.
"Dalem, Gus," jawabku seraya membungkukkan badan sebagai bentuk sopan santun, sebagai seorang santri yang harus takzim pada kiai dan juga zuriyahnya.
"Terima kasih." Terlanjur deg-degan ternyata cuma itu. Hufth!
'Emang berharap Gus Hilmi bilang apa, Arinaaa?'
Aku pun mengangguk. Kemudian berbalik agar segera bisa bebas dari Gus aneh itu. Sampai di pintu dapur, Mbak Karim tiba-tiba muncul mengagetkan. Dia masih mengelus-elus perutnya.
"Duh, lama banget sih, Mbak," tegurku. Mbak Karim terkekeh.
"Sampean gak bilang kalau tadi dipeseni Guse bikinin teh yo?" Mbak Karim menepuk jidatnya seraya beristighfar. Dia berusaha merangsek masuk tapi kucegah.
"Uwis, beres." Mbak Karim merapal tahmid. Tetapi, sesaat kemudian menatapku dengan alis menyatu.
"Emang kamu bisa bikinin? Mbok buatin teh celup? Jelas nesu Guse ngko, Mbak Rin. Aduuh." Mbak Karim terlihat khawatir dan mencoba masuk ke dapur. Kembali aku menghalanginya.
Mbak Karim menggerutu dan mengatakan padaku jika selera Gus tentang teh itu tidak sama dengan dengan yang lain. Beda dengan Abah dan Bu Nyai. Gus Hilmi agak cerewet dengan minuman yang mengandung polifenol dan antioksidan tinggi tersebut. Dia hanya menyukai teh tubruk.
'Ya pantas saja dia tadi memilih menyeduh sendiri.'
Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan panjang kali lebar dari sosok mbak ndalem itu. Beruntungnya jadi dia, bisa mengabdi sepenuhnya untuk melayani keluarga kiai. Mbak Karim memang salah satu santri yang telaten dan sabar. Beda sekali denganku, bahkan aku justru kebalikan darinya.
***
Aku berjalan gontai di samping Indah menuju gedung Madrasah. Hari ini jamnya Ustaz Abdun. Jika biasanya aku merasa semangat saat bertemu dengannya, sejak minggu lalu rasanya harapan yang telah kubangun bertahun-tahun harus runtuh perlahan."Wis to, Rin, gak ada rotan akar pun jadi. Gak dapat Ustaz Abdun la Gus Hilmi ae mari, piye? Cocok to?" Kusentil bibir Indah hingga dia mengaduh.
"Ngawur ae. Aku tuh lagi galau, gak usah nambah-nambahi." Indah terkikik geli. Dia memang selalu begitu. Bahagia di atas penderitaan orang lain. Mengesalkan.
Aku memang telah menceritakan perihal Gus Hilmi saat kejadian beberapa hari yang lalu itu. Dia justru meledekku dengan 'cie cie' saat aku membahas bagian kalimat Gus Hilmi yang mengatakan 'saya halalin dulu kalau mau itu'. Bahkan kalimat itu terngiang-ngiang. Asem tenan.
Langkah kami semakin mendekat dengan ruang kelas. Rasanya hati dan pikiranku tak semangat hari ini. Ustaz Abdun ... apakah aku tidak memiliki kesempatan untuk bisa memilikimu? Ingin menangis, tetapi ... ah, entahlah.
Kelas sudah riuh. Sebagian santri menghafal nazam, sebagian yang lain memilih mengobrol. Duduk di bangku yang letaknya sebenarnya amat strategis untuk mengamati gerak-gerik tenaga pengajar. Duduk di barisan tengah nomor tiga dari depan.
Tak menunggu lama, Ustaz Abdun memasuki ruang kelas. Jika kemarin dadaku berdebar-debar, kini berganti cenut-cenut. Benarkah dia calon suami orang lain? Rasanya aku masih belum percaya jika belum melihat ada lembar undangan yang kuterima.
Pantang mundur sebelum janur melengkung!
Sejak dia duduk hingga mengucapkan salam, mataku tak lepas memandang pria berparas manis itu. Ustaz yang termasuk dari jajaran pengurus muda nan berwibawa itu memiliki daya tarik tersendiri di mataku sejak pertama kali bertemu dua tahun yang lalu saat pertama kali dia masuk kelasku mengajar Nahwu.
Jika santri lain menyimpan perasaannya diam-diam, maka aku sebaliknya. Ada yang bilang, perasaan itu harus diungkapkan, lalu kita perjuangkan. Jika yang didambakan saja tidak tahu dengan perasaan kita, dia belum tentu tahu juga jika sedang kita perjuangkan. Bukankah itu menyedihkan?
Satu per satu santri mulai maju ke depan menyetorkan hafalannya sebelum pelajaran dimulai. Aku yang biasanya sangat bersemangat kini hanya bisa mengembus napas perlahan menahan sesak akibat patah hati.
Belum, aku belum patah. Masih tahap pemanasan menuju patah sepertinya. Semacam kaca yang terkena batu, masih retak. Mengsedih benar rasanya.
Jatuh cinta itu kadang aneh. Tak bisa direncanakan dan sepertinya sulit untuk dihindari. Kita tak bisa mengalahkan rasa itu hadir kapan dan pada siapa dia akan bermuara.
Rasa itu kadang bisa mengubah orang yang sedih menjadi ceria, yang tadinya pecicilan menjadi lebih pendiam, kalau ini aku. Sejak menjatuhkan perasaan pada Ustaz Abdun, aku memang mendadak kalem seperti kucing ketemu tuannya. Jika mengingat awal jumpa dengannya, aku ingin waktu berjalan lebih lambat saja, agar aku bisa lebih lama menikmati perasaaku padanya.
Tiba giliranku untuk menghafal nazam. Jika biasanya aku antusias, kini hanya bisa menunduk dalam. Berharap keresahanku ini terbaca olehnya.
'Ya Allah, saya benar-benar ngarep berjodoh dengan orang yang sedang duduk menghadap kitab di sebelah kanan saya ini. Tolong kasih saya kesempatan sekali lagi untuk memantaskan diri.' Doaku dalam hati sebelum mulai melafalkan lafaz demi lafaz bait nazam Alfiyah Ibnu Malik.
Kuhela napas sesaat seraya melirik sekilas pria yang telah menjerat hati sejak dua tahun terakhir ini. Lidahku masih kelu.
"Mbak Arina, kenapa tidak segera hafalan?" Bahkan dia berkata tanpa mengalihkan tatapannya padaku. Aku masih bergeming.
Seisi kelas hening. Belasan pasang mata menatap ke arahku yang sedang berdiri mematung. Aku menghela napas kembali kemudian menoleh ke arah Ustaz Abdun.
"Ustaz, saya ...." Ustaz Abdun menoleh. Sepersekian detik mata kami beradu. Namun, dia segera menjatuhkan pandangannya.
"Kenapa, Mbak? Kalau belum hafal silahkan berdiri di depan sampai pelajaran saya berakhir," tegasnya.
Bahkan kini aku merasa, setiap ucapannya terdengar berbeda dan terasa menyakitkan. Lalu, apakah aku sedang patah hati?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)
RomansGadis berumur 20 tahun, mencintai ustaz Nahwunya. Namun, kasihnya tak bersambut. Saat dia berjuang untuk mengejarnya, justru seseorang hadir menyatakan cinta padanyqa.