Apa yang tebersit pertama kali di pikiranmu saat mendengar kata teh?
Minuman? Hangat? Pagi? Atau ada yang lain lagi?
Benar. Semua jawaban itu benar, tergantung selera dan persepsi masing-masing individu. Tak melulu teh dibuat sebagai minuman, ia juga bisa diseduh hanya sebagai aroma terapi. Tak melulu teh berhubungan dengan hangat, karena sebagian orang justru menikmati teh dalam keadaan dingin. Tak melulu teh berhubungan dengan pagi, nyatanya siang hari pun teh masih tetap segar untuk dinikmati.
Semua tergantung pemikiran kita masing-masing. Begitu pun diriku. Bagiku, terlebih hati, teh menjadi awal tebersitnya sebuah rasa. Karena teh, membawaku pada sebuah kisah yang bernama gundah gulana.
'Mari ngeteh, mari bicara'. Slogan iklan itu seakan menari-nari di pikiran tiap kali menatap sekilas wajah sesepria yang tengah membuatku berperang dengan rasa.
"Ternyata modelan kayak kamu bisa galau juga to, Rin?" Aku berdecak kesal mendengar ledekan dari Indah, gadis manis yang mengaku sebagai sahabatku. Ah, embuh. Sahabat yang suka sekali meledek akhir-akhir ini gara-gara ucapan sekilas dari sesepria yang tak lain putra pemilik pesantren ini.
Pagi itu, seperti biasa, aku melaksanakan piket ndalem. Indah bertugas membersihkan bagian depan ndalem, sedangkan aku bagian belakang, termasuk wilayah dapur.
"Mbak, Rin, aku minta tolong nanti matiin kompor itu ya. Tinggal nunggu sayurnya mendidih tok. Perutku suakit." Mbak Ndalem bertubuh ramping itu tergopoh menuju kamar mandi yang ada di samping ndalem. Dia ngeloyor pergi tanpa menunggu persetujuanku.
Entah ada angin apa waktu itu, saat tiba-tiba Gus Hilmi ujug-ujug ke dapur saat aku mengaduk sayur yang diamanatkan Mbak Karim beberapa saat lalu.
"Mbak Karim, teh saya ...." Kegiatan mengadukku pun terhenti mendengar suara dari arah pintu penghubung dapur dan ruang makan.
Aku menatap Gus Hilmi tanpa berkedip. Begitu pun dia. Sampai sepersekian detik kami justru hanya saling menatap tanpa bicara. Syetan memang suka menggoda. Sontak aku beristighfar dalam hati dan segera menundukkan pandangan.
Tundukkanlah pandanganmu memang sudah menjadi perintah agar mata ini tidak seenaknya menikmati hal yang belum halal, bukan, tidak halal tepatnya, seperti yang kualami saat ini.
Kumatikan kompor saat sayur sudah meletup-letup kuahnya. Seperti hatiku yang selalu seperti itu saat bertemu dengan Ustaz Abdun. Sayang, kabar tentang rencana pernikahannya dengan seseorang membuat hatiku retak. Hiks.
Gus Hilmi masih bersandar di bibir pintu hingga beberapa menit berlalu. Entah apa yang dia lakukan di situ. Jika membutuhkan sesuatu kenapa justru dia tak segera mengatakan saja?
"Ada yang bisa saya bantu, Gus?" tegurku. Gus Hilmi menegakkan badan kemudian membenahi kopiahnya. Dia terlihat salah tingkah. Dia berdeham sebelum menjawab pertanyaanku.
"Mm, itu ... tolong buatkan saya teh." Aku mengangguk. Dalam hati hanya ber oh ria. Kenapa gak dari tadi saja bilangnya kalau cuma mau minta dibikinin minuman hangat itu. Aneh.
Gus Hilmi masih bertahan di pintu saat aku akan mengambil termos air yang berada di pojok kabinet. Dia terlihat mengamati setiap gerakanku.
"Ngapunten, Gus. Ini mau ditunggu atau saya antar ke ...." Kembali Gus Hilmi terlihat salah tingkah. Kenapa aneh sekali sosok putra Abah yang terkenal cukup tampan itu?
Ya, Gus Hilmi memang rupawan. Postur tubuhnya yang proporsional membuat banyak santri putri mendamba ingin menjadi pendampingnya. Santri putri siapa yang gak kesengsem sama parasnya? Eh, aku tidak termasuk dalam barisan itu sih, karena lebih tertarik dengan sosok manis yang selalu bertemu di kelas setiap hari Senin dan Kamis.
"Itu ... " Aku mengernyit saat Gus Hilmi justru menggaruk pelipisnya saat aku baru membuka termos. Ya Allah, minta teh doang kenapa ngomongnya lama banget. Dia berdecak kemudian berjalan ke arahku.
Kuhentikan kegiatan menyeduh teh yang akan kumulai. Deg-degan juga saat melihat Gus Hilmi langkahnya mulai mendekat. Aku sampai menahan nafas, takut khilaf. Eh, Astaghfirullah.
Gus Hilmi mengambil gelas yang ada di rak tak jauh dari tempatku berdiri kemudian meletakkannya di depanku. Aku yang mulai gugup justru hanya mengamati gerakannya. Ya Allah, pagi-pagi dapat ujian. Mana Mbak Karim lama lagi di kamar mandinya.
"Saya sukanya teh tubruk, Mbak."
Spontan aku mundur satu langkah saat mendengar kata 'tubruk'. Gus Hilmi mau nubruk? Maksudnya apa?
"Ma-maksudnya nubruk nopo, Gus?" tanyaku takut-takut. Gus Hilmi mengernyit. Jarak kami yang hanya tak sampai lima puluh senti membuatku bisa melihat jelas kerutan di keningnya. Haish, apaan sih! Kenapa justru aku memperhatikannya?
"Teh tubruk, Mbak. Bukan nubruk. Saya halalin dulu kalau mau itu." Mataku mengerjap mendengar ucapannya. Seketika pipiku memanas. Lirih memang dia berucap, tetapi efeknya itu bikin hati trecep-trecep. Mampus! Kembali aku mundur selangkah agar wajahku yang jelas memerah tak terbaca olehnya.
Gus Hilmi menjelaskan padaku tata cara membuatnya. Diambilnya teflon yang biasa untuk memasak air. Dia menuang air termos ke dalamnya, biar lebih cepat katanya. Kemudian diambilnya teh yang masih berbentuk daun kering bukan kemasan yang biasa aku buat untuk minuman di rumah. Dengan cekatan Gus Hilmi memasukkannya ke dalam air yang sudah mendidih.
Aku hanya berdiri memperhatikan setiap step yang dijelaskannya.
Wait! Lalu buat apa dia tadi menyuruhku jika akhirnya dia sendiri yang melakukan semuanya? Bukankah mending sekarang aku pergi saja? Tugas bebersihku juga sudah usai. Apa aku pamit saja ya?
"Mbak." Panggilan Gus Hilmi membuyarkan pikiranku yang sedang berperang dengan hati. Aku pun mengangguk.
"Tolong tambahin gula satu sendok ini ya, nanti bawa tehnya di ruang makan." Gus Hilmi berlalu usai mengatakan itu sebelum mendapat jawaban dariku.
Aku mendengkus kesal. Bukankah dia bisa melakukan sendiri. Apa susahnya tinggal kasih gula, seduh pakai air, aduk-aduk, beres. La ini? Step tinggal selangkah kenapa malah dilimpahkan orang lain? Aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)
RomansaGadis berumur 20 tahun, mencintai ustaz Nahwunya. Namun, kasihnya tak bersambut. Saat dia berjuang untuk mengejarnya, justru seseorang hadir menyatakan cinta padanyqa.