***
Suasan ndalem sudah mulai ramai saat aku dan Mbak Karim baru selesai menyuguhkan buah di ruang tamu yang disulap menjadi tempat acara. Bu Nyai Masfufah terlihat ikut sibuk menerima para tamu yang berdatangan."Mbak, ini gak ada makanannya gitu?" tanyaku pada Mbak Karim saat kami baru sampai di dapur.
"Ibu sudah pesan catering, soalnya Gus Hilmi ndadak ini acaranya. Makanya Ibu dari tadi gak berhenti ngomelin Guse to." Mbak Karim terkikik. Tak ayal aku pun melakukan hal yang sama.
Mbak Karim akhirnya bercerita jika Gus Hilmi itu salah satu putranya Abah yang paling jahil di antara yang lain. Aku mengangguk-angguk saat Mbak ndalem itu menceritakan banyak hal tentang kejadian unik dan lucu di ndalem jika Gus Hilmi sedang di rumah seperti ini.
Putra bungsu pemilik pesantren ini memang berbeda dari dua kakaknya yang lain. Ning Zahra yang kalem, Gus Zain yang tegas dan terkesan angkuh. Sedang Gus Hilmi lebih supel dan terkesan sedikit jahil. Mungkin karena alasan anak terakhir juga yang menjadikan dia terlihat manja saat bersama Ibunya. Kupikir semua anak memang akan bersikap manja dengan wanita yang telah melahirkannya.
Ah, Ibu. Aku jadi rindu. Bagaimana kabarnya? Sudah sepekan beliau tidak menjengukku. Semoga tidak terjadi apa-apa dan sehat-sehat saja.
"Mbak Rin, malah ngelamun." Aku tersentak merasakan tepukan di lengan kananku.
"Ini sudah selesai aku bantuinnya? Kalau sudah aku mau balik asrama." Mbak Karim mencegahku karena dia hanya sendiri. Kalau ada acara seperti ini dia butuh bantuan untuk menyiapkan sesuatu. Benar saja, tak lama suara Bu Nyai Mualifah kembali terdengar memanggil nama Mbak Karim. Kami pun saling berpandangan.
Dia memintaku untuk tinggal sejenak untuk menunggunya. Aku pun menyetujui perintahnya dan membiarkannya masuk menuju ndalem.
Aku bersenandung lirih membunuh kejenuhan. Kaki dan tanganku pun bergerak senada dengan irama yang kulagukan. Sejak sebuah insiden kelas tiga Tsanawiyah waktu itu, aku memang menutup diri dari kegiatan yang sebenarnya sangat kusukai. Rasanya masih trauma dengan kejadian itu.
Aku masih asyik bersenandung saat suara pintu sebelah barat dapur terbuka. Suara tawa seorang pria pun terdengar. Sontak aku berdiri mematung saat melihat sosok pengajar Nahwuku sedang berjalan dengan Gus Hilmi masuk ke ruangan yang kini kutempati. Kenapa mereka berdua malah lewat dapur?
Buru-buru aku menjatuhkan pandangan seraya menerka-nerka alasan mereka melewati jalur ini untuk menuju ndalem.
"Nanti itu saja, Kang. Sampean arahkan teman-teman saya untuk menempati ruangan sebelah kantor itu untuk istirahat. Soalnya nanti mereka sampai sore di sini. Kalau di ndalem kurang nyantai. Ora iso loss lak ngobrol."
"Enggeh, Gus. Siap."
Rasanya tubuhku panas dingin. Tak bisa berkutik sama sekali. Mana Mbak Karim belum kembali. Pengen banget langsung ngilang. Andai tadi aku tidak menyetujui permintaan Mbak Karim, pasti tidak seperti ini kejadiannya.
"Eh, Mbak Karim, kue sama buah tadi dibawa ke depan semua?"
Aduh! Mana aku tidak tahu lagi.
"Mm, Mbak Karim taseh kalian Ibu di dalam. Sa-saya kurang tahu." Aku tak berani mengangkat wajah sedikit pun.
"Ealah. Tunggu sini bentar, Kang."
What? Spontan mataku membeliak. Gus Hilmi dengan santai melenggang meninggalkan Ustaz Abdun yang masih berdiri berjarak dua meter dari tempatku.
Kudengar dia berdeham. Sedangkan kegugupanku semakin bertambah. Dapur yang semula terasa dingin mendadak panas. Tanganku pun tak berhenti memilin ujung jilbab berusaha menghalau rasa gemetar.
"Sejak kapan bantuin di ndalem, Mbak?" Pelan, aku mencoba melihatnya dari ekor mata. Ada senyum simpul yang terlukis di wajahnya.
"Mm, saya cuma diminta bantuin Mbak Karim hari ini, Ustaz." Degup jantungku ritmenya semakin cepat saat menjawab pertanyaan sepele dari pria yang telah membuat hatiku resah sejak beberapa minggu lalu itu.
"Mbak." Aku mengangguk mendengar panggilannya.
"Saya--"
"Kang Abdun, sini!" Panggilan Gus Hilmi menghentikan kalimat yang belum sempat terucap dari Ustaz Abdun. Sudah terlanjur deg-degan, eh, jebule ambyar. Kira-kira Ustaz Abdun mau mengatakan apa?
Tak lama Mbak Karim kembali ke dapur dan memintaku untuk mengikutinya kembali masuk ke ndalem. Lumayan bisa melupakan sejenak kejadian barusan.
Aku sempat melihat Ustaz Abdun dari ekor mata saat melintas melewatinya. Kudapati dia juga menatapku sekilas seraya menerima makanan yang diberi oleh Gus Hilmi.
***
Takror sudah selesai setengah jam yang lalu. Jam malam setelah kegiatan seperti ini menjadi jam bebas yang bisa digunakan para santri untuk melakukan kegiatan pribadinya. Seperti biasa, aku memilih untuk mempelajari materi pelajaran sekolah umum. Kubuka satu per satu buku LKS untuk pelajaran esok pagi.
Pelajaran Geografi menjadi salah satu favorit saat ini. Selain pengajarnya yang menyenangkan, materinya pun juga menarik untuk dipelajari. Walaupun sebenarnya, pelajaran dengan banyak bacaan ini cukup membosankan.
Kuberi highlight beberapa poin penting pada lembar rangkuman materi sebelum mengerjakan soal latihan di lembar berikutnya. Indah tiba-tiba duduk merangsek di sampingku.
"Betewe, aku lagi kepo." Aku meliriknya sekilas saja. Kemudian melanjutkan kembali kegiatan mengerjakan soalku.
"Tadi acara apaan di ndalem?"
"Gak paham juga. Katanya sih teman-temannya si Gus. Semacam reuni gitu kayaknya," jawabku jujur karena aku memang tidak tahu menahu acara tadi. Tugasku hanya membantu Mbak Karim, itu saja.
"Cakep-cakep gak temennya Gus? Pasti kalangan anak kiai semua ya?" Aku mengendik bahu.
"La kamu lapo di ndalem tadi? Rugi pol ora lirak lirik." Kupukul bibirnya dengan pulpen di tangan. Dia mengaduh seraya mengusap-usap mulutnya yang terkena pukulan.
"Rumasamu di ndalem itu bebas, tawur ngono? Mosok aku mau lirak lirik ke sana kemari. Jaga pandangan, In," ucapku sok bijak, padahal hal itu cukup sulit praktiknya.
"Halah, gayamu jaga pandangan. Jajal pas waktune Ustaz Abdun ngajar, kedip ora mripatmu iku?" ujar Indah seraya menunjukku dengan wajahnya.
Aku mendengkus kesal dibuat mati gaya oleh Indah.
"Asem!" umpatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)
RomansaGadis berumur 20 tahun, mencintai ustaz Nahwunya. Namun, kasihnya tak bersambut. Saat dia berjuang untuk mengejarnya, justru seseorang hadir menyatakan cinta padanyqa.