Kertas Warna-warni

9 1 0
                                    

***

Hingga detik ini tidak ada clue siapa pengirim paket tersebut. Aku meyakini jika dia orang baik dan tak berniat macam-macam. Ya iyalah, kalau macam-macam yang dikirim jelas bukan buku, tetapi sant*t atau sejenisnya. Aku bergidik ngeri.

Namun, dua buku dari pengirim misterius itu cukup memudahkanku untuk belajar. Siapa pun dia pengirimnya, semoga kebaikan kembali padanya. Meskipun rasa penasaran itu masih membuncah di dada, tetapi hati berusaha untuk menepisnya dan berhusnuzan. Padahal sudah berusaha abai, tetapi kenyataan tetap kepikiran.

"Sumpah ya, Rin, kalau lihat buku ini, aku jadi kepikiran lagi. Jiwa penasaranku meronta-ronta." Aku menatapnya tanpa ekspresi. Indah tertawa geli menatapku. Gadis berparas manis akan selalu berekspresi lebay jika berbicara. Tangannya pun seakan ikut berbicara.

Kukemas buku dan menumpuknya di meja menyudahi belajar malam ini. Besok siang ujian kenaikan kelas Diniyah akan dimulai. Tak lupa aku menulis selarik kalimat yang terbiasa kulakukan usai belajar.

"Sampai kapan kamu mau menyimpan tulisan-tulisanmu itu, Rin?" Jariku pun berhenti melanjutkan kalimat yang tengah kutulis. Aku menegakkan badan kemudian mendesah pelan.

"Entahlah. Aku rasa dia sudah mulai tahu perihal rasaku ini." Kembali ekspresi wajah Ustaz Abdun membayang di mata. Apakah nanti rasa ini bersambut atau ... aku menunduk dalam.

Indah mengelus punggung tanganku. Selama ini hanya dia yang tahu bagaimana perasaanku pada Ustaz Abdun.

"Resiko diam-diam suka ya gitu, sih." Aku tersenyum datar. Miris dengan kondisi hatiku saat ini. Astaghfirullah! Bukankah seharusnya aku tak menyimpan perasaan ini? Tetapi, bagaimana lagi, semua sudah terlanjur. Apalagi secarik kertasku kemarin telah berpindah tangan padanya.

"Kalau suatu hari nanti Ustaz Abdun tau perasaanmu, bagaimana?" tanya Indah seraya menelisik. Jika aku mengatakan Ustaz Abdun telah mengetahui, bagaimana ekspresi gadis di sampingku ini?

***

Deretan soal mata pelajaran I'lal sudah mulai kukerjakan. Buku itu benar-benar membantu. Tinggal beberapa soal yang belum kuselesaikan. Satu per satu penghuni kelas mulai meninggalkan ruangan, hanya tersisa beberapa, termasuk aku.

Tinggal satu soal yang membuatku menyerah dan akhirnya kujawab sebisa dan semampuku.

Gegas kukemas peralatan ujian dan membawa lembar soal dan jawaban menuju meja guru. Ustaz Abdun mulai merapikan tumpukan kertas dan memasukkannya di map coklat. Debaran dadaku rasanya berkejaran dengan langkah yang semakin mendekat pada keberadaan Ustaz Abdun.

Gugup, grogi dan gemetaran. Itu yang kurasakan. Dengan menunduk kutaruh lembar soal dan jawabanku di meja. Ustaz Abdun sempat mengangkat wajahnya sekilas kemudian kembali sibuk memisah lembar soal dan jawaban.

Gegas aku beringsut mundur selangkah kemudian mengucapkan salam sebelum meninggalkan ruangan. Rasa gugup masih terasa saat aku mulai mengayun kaki untuk segera kembali ke asrama.

"Arina." Langkahku terhenti saat sebuah panggilan menyapa telinga. Benarkah Ustaz Abdun memanggilku atau hanya halu? Aku bergeming kemudian menggeleng. Pasti ini hanya kehaluan yang membuat aku berkhayal tingkat tinggi.

"Arina Manasikana." Mataku mengerjap. Sepertinya itu benar suara Ustaz Abdun. Dia memanggilku untuk apa? Pelan aku  memutar tubuh mencoba memastikan jika aku tidak salah dengar.

"Dalem, Ustaz." Aku sedikit membungkukkan tubuh saat menghadapnya. Dengan takut aku mencoba menatapnya. Ustaz Abdun tersenyum tipis seraya berisyarat dengan matanya jika dia memang memanggilku. Sosok berkoko navy itu kemudian kembali sibuk mengemas soal.

Dia merogoh sakunya dan menyodorkan sebuah buku kecil di meja yang entah aku tak tahu apa itu. Dia mengisyaratkan dengan matanya padaku untuk mendekat padanya.

"Dari pada ditulis di kertas sobekan, mending ditulis di situ." Aku mengernyit bingung. Menulis apa maksudnya?

Aku masih sibuk berpikir saat Ustaz Abdun beranjak dari kursi.

"Maaf, kertasnya kemarin gak saya balikin. Terima kasih." Rasanya kakiku sulit untuk digerakkan. Dia tadi bilang apa? Aku bukan mimpi, kan? Lalu, lembar warna warni ini untuk ... apa yang dia maksud tadi berhubungan dengan secarik kertas yang dibawanya?

Ustaz Abdun sudah keluar kelas beberapa detik yang lalu saat aku masih sibuk dengan pikiran. Tanganku gemetar meraih benda yang diberi oleh sosok yang kukagumi sejak lama. Gegas aku menyimpannya ke dalam saku seragam.

Beberapa kelas sudah terlihat sepi saat aku keluar.

Debaran dadaku masih bertalu saat melangkah keluar kelas. Kilasan kejadian beberapa saat lalu mampu membuat hatiku mulai berbunga. Rasanya ingin segera sampai di kamar dan menceritakan hal ini pada Indah.

Kulebarkan langkah agar segera sampai di asrama dan merayakan euforia hatiku yang tengah berbahagia. Ustaz Abdun tidak memarahiku tentang tulisan itu, malah dia berterima kasih, itu artinya ... dia tahu perihal rasaku? Seharusnya aku malu, tetapi entah kenapa rasanya bahagia. Akankah rasaku bersambut?

***

"Beneran?" Aku mengangguk semangat seraya tersenyum bahagia. Indah spontan meledekku dengan cie cie. Cuma begitu saja pipiku sudah memanas. Di umurku yang ke tujuh belas ini rasanya ini memang benar bukan perasaan kagum belaka. Meskipun menurut artikel yang pernah kubaca menyatakan jika umur tujuh belas merupakan masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Masa di mana pencarian jati diri dimulai.

"Tapi ingat, Rin. Kamu harus hati-hati." Aku mengangguk. Sudah pasti yang dimaksud Indah ini perihal peraturan pesantren.

"Kamu juga harus siap-siap, Rin, jika sewaktu-waktu mendengar kabar tak mengenakkan perihal beliau." Indah menepuk pundakku seraya tersenyum. 


Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang