Kegelisahan

21 2 1
                                    

***
Setiap orang punya keinginan dan mimpi masing-masing. Mereka akan mencari cara untuk bisa menggapai mimpi dan keinginan itu dengan berbagai cara. Bahkan tak segan, banyak yang melakukan cara kotor demi mendapatkan hal yang mereka inginkan.

Kini mimpiku hanya satu, bisa membuat bahagia Ibuku. Sosok wanita tangguhku itu pernah mengatakan padaku pada satu waktu.

"Kamu sekolah gak harus ranking satu. Berapapun nilaimu, itu berarti hasil kemampuanmu. Belajarlah sungguh-sungguh, sebisa dan semampumu."

Ya, aku memang bukan barisan siswa yang berprestasi di bidang akademik. Namun, beruntung dikelilingi orang-orang baik yang tak suka membuly jika ada satu materi yang belum kupahami.

Cuaca pagi ini cukup cerah untuk mengawali kegiatan sekolah formal. Batik dipadu rok putih menjadi kostum wajib hari ini. Seragam batik bermotif gajah Oling menjadi salah satu bukti kearifan lokal yang digiatkan oleh pemerintah untuk mengenalkan budaya daerah.

Jarak gedung madrasah yang tak begitu jauh dengan asrama, membuat beberapa siswa lebih memilih membawa buku-bukunya tanpa tas. Mereka bilang lebih nyaman.

Aku dan Indah mulai mengayun langkah menuju gedung sekolah. Waktu ujian tengah semester sudah tinggal menunggu hitungan minggu. Itu berarti tinggal beberapa bulan lagi kami akan menyelesaikan tingkat menengah atas ini. Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di pesantren ini, ternyata sudah lebih dari dua warsa merasakan nikmatnya menjadi santri.

"Habis ini Mid lanjut semesteran. Liburan, eh, tiba-tiba besok lulus." Aku tergelak mendengar ucapan Indah.

"Mana ada tiba-tiba lulus, yang ada kita ujian berhari-hari sampek gumoh nyawang soal," tukasku mengundang tawa Indah. Namun, tawa kami seketika berhenti saat berpapasan dengan sosok putra Abah kiai yang sedang asyik berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon genggamnya.

Spontan kami berjalan dengan sedikit membungkuk sebagai bentuk penghormatan kepada para zuriyah pesantren. Indah menjawil lenganku kala langkah kami sudah lumayan berjarak dari si Gus.

"Gus Hilmi iso ganteng ngono, bien Umik ngidam opo yo? Sesok bisa tak contoh gitu lo." Aku berdecak mendengar celotehan Indah yang tanpa mikir panjang.

"Halah, sekolah belum lulus wis mikir ngidam, In," tegurku membuat dia semakin tak bisa diam. Dia justru protes karena itu merupakan salah satu ilmu yang bisa diterapkan saat berumah tangga. Aku menggeleng pelan mendengar ocehannya yang semakin ngaco.

Bel masuk jam pertama telah berbunyi saat aku baru sampai memasuki kelas. Mata pelajaran Akutansi menjadi pembuka kegiatan belajar mengajar pagi ini. Pelajaran yang memerlukan ketelitian dalam hitungan itu menjadi salah satu favorit kelasku. Para siswa bilang, " Ini pelajaran hitung uang yang gak ada wujudnya." Benar memang, ada tulisannya tak ada wujud uangnya.

"Materi ujian kalian besok sampai bab 2 ya. Persiapkan. Jangan sampai nanti saat ujian masih ada yang nanya caranya atau rumusnya." Ancaman maut dari Bu Yuli membuat para penghuni kelas mulai berisik.

"Kalian kan sudah diberi kesempatan tanya pas pelajaran gini to, Rek. Harusnya aktif. Herannya saya, kalian itu kenapa aktifnya pas waktu ujian?" Sontak semua siswa tertawa. Beberapa dari mereka juga berceletuk, "La soalnya gak sama lo, Bu, sama yang dipelajari."

Memang soal yang keluar di ujian berbeda, tetapi sebenarnya itu hanya permainan kalimat saja yang membuat para peserta didik akhirnya kebingungan jika mereka tidak menangkap maksud dari pertanyaan tersebut.

***
Perpustakaan menjadi salah satu tempat ternyaman untuk menghabiskan waktu senggang saat jam istirahat berlangsung. Indah pamit ke kantin untuk mengisi perutnya yang memang gampang lapar. Herannya, dia tetap saja gak bisa melar badannya meskipun makannya tak beraturan.

Usai sejenak memilih dan memilah buku bacaan yang berjajar rapi di rak, kuambil satu buku bersampul putih yang menjelaskan tentang kandungan surat Al Fatihah.

Berjalan meninggalkan deretan rak yang ditata memanjang berhadapan di tengah ruangan, aku memilih tempat di pojok perpustakaan. Duduk lesehan sambil bersandar menikmati buku bacaan.

Dinginnya ruangan membuat mata mulai merasa berat. Sesekali aku menguap. Kurenggangkan badan guna menghalau kantuk yang tiba-tiba menyerang. Kulihat jam dinding yang menggantung di atas pintu masuk perpustakaan masih menunjukkan pukul 09.15, masih ada waktu lima belas menit lagi untuk mengambil beberapa poin yang kuanggap bisa diambil pelajaran dari buku yang kubaca.

Kertas memo warna warni pemberian dari ustaz dambaan memang selalu kubawa. Sampai detik ini rasanya masih seperti mimpi kala dia memberikannya waktu itu. Ah, tapi ... entahlah. Aku tidak berani berharap lebih padanya saat ini. Dari pada nanti jatuhnya malah patah hati? Sakit hati? Mengsedih bukan?

Tapi ... kemarin, dia mau mengatakan apa? Sayang aku tak punya keberanian untuk menatapnya barang sekejap. Hanya berani mencuri pandang dari ekor mata.

Jarang sekali aku bisa menikmati senyum di wajahnya saat di kelas. Yang ada wajah dingin, cuek serta tak bisa ditebak. Itu yang selalu dia tampilkan saat menjadi sosok pengajar. Jauh berbeda dengan kemarin.

Andai Gus Hilmi kemarin tak mendadak memanggilnya, kira-kira dia ingin mengatakan apa? Atau dia akan bertanya sesuatu? Tetapi, tentang apa? Apa masih berhubungan dengan warna warni kertas memo yang kini ada di genggamanku?

Lalu, apa makna dari tatapannya yang sempat aku tangkap tanpa sengaja kemarin? Apakah dia ingin menyampaikan hal penting padaku?

Hufth! Apakah ini godaan menjelang kelulusan?

Sudahlah. Aku tak mau memikirkan hal itu, meskipun nyatanya sulit untuk menepis bayangnya juga senyumnya yang selalu menari-nari di pikiranku.

Kuambil lembar kertas berwarna yang tersimpan di saku. Kemudian mulai menuliskan beberapa hal penting yang kudapat dari buku yang kubaca dari pada otakku kembali memikirkan tentang dia yang belum tentu tahu dengan apa yang tengah kurasa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang