***
Suasana di kota santri, asyik senangkan hati. Eits! Kenapa hati ini malah bernyanyi? Ternyata lagu lama zaman Ibuku itu benar adanya. Suasana di pesantren itu menyenangkan dan mengasyikkan. Wajar saja jika teman-temanku yang hidup di pesantren adem ayem tentrem. Kini aku sudah merasakannya sendiri.Meskipun baru beberapa minggu hidup di sini, aku menemukan banyak hal dan pelajaran baru. Jika kemarin saat di rumah kegiatanku berkutat dengan sekolah dan rumah, ibadah pun hanya salat maktubah yang kujalankan, di sini aku mulai menikmati hal baru, salat sunah jadi rajin.
Selanjutnya, saat kelas Diniyah. jika dulu aku belajar menulis Arab saat pelajaran agama dan juga Bahasa Arab, kini bera cerita. Sebenarnya menulis Arab bukanlah masalah besar buatku. Yang menjadi masalah adalah saat harus menulis bahasa Jawa dengan tulisan Arab. Indah bilang namanya tulisan pegon.
"Makanya untuk kelas pemula diajari untuk menulis Pegon ini, Rin. Biar nanti ketika maknai kitab gak pake tulisan latin." Aku mengangguk-angguk dengan penjelasannya. Sejak hari pertama, Indah lah yang telaten mengajariku. Dia bukan santri senior, tetapi sejak jenjang SMP dia sudah tinggal di sini.
Indah juga yang menunjukkan tempat-tempat di lingkungan asrama putri. Beruntung aku bisa sekamar dengannya.
Aku duduk bersandar di samping pintu usai kegiatan takror. Membuka kembali kitab yang baru saja dipelajari bersama tadi. Sedangkan Indah terlihat sedang komat-kamit sambil sesekali membaca kitab kecil yang ada di tangannya.
Kagum. Itu yang terbesit di hati saat melihat para santri yang seumuran denganku khususnya, sudah mampu menghafal nazam, belum lagi hafalan yang lain. Apakah nanti aku bisa seperti mereka?
Indah bilang, nanti kalau sudah Diniyah tingkat atas, bakal lebih banyak nazam yang harus dihapal. Membayangkan saja rasanya aku sudah pusing.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa ini merupakan tahun ke duaku tinggal di sini. Aku sudah bisa melakukan banyak hal, termasuk sudah lihai memaknai kitab dengan pegon. Ternyata kesulitannya tak seperti yang kubayangkan. Memang benar, jika kita belum mencoba, hal yang mudah pun akan terasa sulit, apalagi jika kita belum memiliki ilmunya.Di kelas dua ula ini aku mulai menghafal nazam, meskipun belum sebanyak kelas atas. Kitab jurumiyah menjadi kitab nahwu pertama yang kupelajari. Dulu saat tingkat Tsanawiyah, yang kukenal hanya penggunaan dhomir juga mufrodat yang umum dipakai di sekolah formal. Berbeda dengan yang kupelajari saat ini.
"Yang ngajar nahwu siapa, Rin?" Aku mengendik bahu. Aku bahkan hampir tak membaca nama ustaz atau ustazah yang tertera di jadwal pelajaran. Yang kuhafal justru nama pelajaran serta kitabnya.
Indah pernah bilang, jika mulai kelas dua, biasanya salah satu ustaznya diambil dari pengurus putra yang sudah mengabdi, alias ustaz muda. Aku tak memiliki bayangan seperti siapa kiranya ustaz muda itu.
Tetapi ingatanku seketika berputar kembali pada kejadian setahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Kang santri bersarung hitam itu ... siapa kira-kira? Apakah dia bakal menjadi salah satu ustaz yang mengajar di kelasku juga?
Aku mengendik bahu menghalau rasa penasaran yang mulai menyelimuti kalbu. Lagian dia siapa aku juga gak tahu. Kenapa malah berpikiran sejauh itu? Sepertinya niatku mau berbelok ini gara-gara Indah yang selalu membicarakan perihal ustaz muda yang mengajar di kelasnya.
Cantik, tampan itu relatif. Tergantung siapa yang melihat dan menilai. Dari sekian banyak asatiz yang riwa-riwi mengajar di putri, tak ada yang menarik di mataku. Justru kilas kejadian waktu itu menari-nari di otakku.
"Hamim Abdun."
Indah membaca nama ustaz yang tertera di jadwal yang menempel di samping pintu kamar. Para penghuni kamar bilang, tempat itu strategis. Jika lupa tinggal balik lagi kalau sampai pintu.
Dia terlihat sedang mengingat sesuatu. Kemudian kembali membaca dan menggumamkan nama itu.
"Kang Abdun sing manis iku bukan sih, Rek?" tanya Indah pada penghuni kamar yang masih bersiap untuk berangkat juga. Beberapa dari mereka masih ada yang berdandan, ada pula yang sudah berjajar antri di depan cermin. Aku yang sudah siap akhirnya hanya duduk manis sambil selonjoran sambil memangku kitab pelajaran hari ini.
Waktu sudah menunjuk pukul satu kurang lima menit saat aku dan Indah bersiap untuk berangkat menuju gedung madrasah. Tangan kananku mendekap kitab. Pulpen legend-nya para santri pun ada di genggaman. Jika sampai pulpen keramat itu jatuh mereka bilang rasanya seperti sakit tak berdarah. Nyesek. Aku sudah membuktikannya sendiri.
Tepat saat bel masuk berbunyi, aku berpisah kelas dengan Indah. Kelas baru, semangat baru, guru baru, semua baru. Aku tidak menyangka kalau akhirnya bisa sampai pada titik ini. Ibu yang awalnya dulu tidak tega karena aku memang selalu dimanja saat di rumah, saat melihatku tak mengeluh atau bersedih, beliau tak lagi mengkhawatirkanku.
"Melihatmu krasan seperti ini, ibu tambah ikhlas sampean hidup di sini, Nduk." Ucapan adalah doa. Keikhlasan dan keridaan Ibu rasanya mempermudah langkahku untuk menuntut ilmu.
Kelas sudah mulai riuh saat aku sampai. Deretan bangku ke dua dari depan telah terisi. Hanya tersisa dua bangku kosong, di pojok belakang dan paling depan tepat berhadapan dengan meja guru.
"Rin, depan aja. Kalau di belakang malah disuruh pindah ntar." Sial memang kalau datang belakangan. Dapatnya ya turahan alias sisa. Mau tak mau akhirnya aku pun menempati kursi itu.
Aku paham alasan yang lain mengosongkan bangku paling depan. Karena ruang gerak kita begitu terbatasi. Setiap gerak gerik akan langsung terbaca oleh para ustaz. Terima saja sudah nasibku hari ini. Semoga saja tidak ada tragedi kantuk yang membuatku nanti harus menahannya.
Selang beberapa detik usai kudaratkan pantat di kursi, dari arah pintu, masuklah seorang laki-laki berkemeja garis-garis dengan sarung hitam. Bukankah dia sosok yang menegurku waktu itu? Mataku memicing mencoba menyamakan lelaki yang kini duduk di kursi guru dengan seseorang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)
RomansaGadis berumur 20 tahun, mencintai ustaz Nahwunya. Namun, kasihnya tak bersambut. Saat dia berjuang untuk mengejarnya, justru seseorang hadir menyatakan cinta padanyqa.