Gus Hilmi

19 2 1
                                    

***
Terkadang, apa yang menjadi keinginan belum tentu dengan kenyataan. Sesuatu yang telah terpendam menjadi angan, nyatanya masih tetap menjadi harapan. Keadaan itu yang kini tengah kurasakan.

Kupikir saat kertas warna warni yang dia berikan saat itu merupakan satu bukti jika sosok berwajah rupawan itu telah membaca rasaku. Tetapi nyatanya, itu hanya khayalan tingkat dewa yang begitu menggebu.

Kupikir saat sosok pengajar Nahwu itu mengucapkan terima kasih, dia mulai memberiku sinyal jika telah membuka hati. Ternyata semua tetaplah mimpi yang mungkin saja tak akan pernah terjadi.

Boleh berangan, asal jangan pernah merasa kecewa jika akhirnya tak sesuai harapan. Boleh bermimpi, asal jangan pernah merasa sakit hati jika akhirnya tak seperti yang diingini.

"Astaghfirullah," gumamku lirih.

Mataku terpejam seraya kembali menggumam istighfar. Perasaan ini semakin hari memang semakin menyiksa. Apakah benar yang kini tengah melanda merupakan rasa cinta atau hanya obsesi belaka?

Aku pernah membaca di sebuah laman Instagram tentang Psycholgy fact. Di sana tertulis, 'If you love someone because they love you: it's empathy. If you are confused why you love that person: it's definitely love. If you love someone for their look: it's obsession. Entah aku di posisi yang ke berapa. Namun, yang pasti bukan pertama karena hingga detik ini aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya.

Di samping itu, di umur yang masih di angka belasan membuat diriku masih begitu labil saat mengambil sebuah keputusan. Mungkin aku sudah faham mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi terkadang ego jiwa muda yang masih seringkali memberontak.

***

Alhamdulillahi ladzi qod wafaqa
Lil Ilmi Khaira khalqihi walit tuqa
Hatta nahat qulubuhum linahwihi
Famin adimi syakniki lam tahwihi

Lalaran nadzam diiringi dengan alat musik khas santri mulai menggema dari asrama ke asrama. Setiap kelas melantunkan bait-bait Arab yang tertulis dalam kitab Nahwu.

Dengan peralatan seadanya, para santri bersemangat memukul benda yang dipegangnya dengan penuh semangat empat lima. Paduan suara peralatan itu menyatu menjadi musik yang rancak sesuai dengan lirik dan irama yang dilagukan oleh semua penghuni kelas.

Selain jadwal lalaran, santri tak diperbolehkan melakukan hal ini karena bisa mengganggu ketenangan santri lain. Ramai alunan musik baru berhenti setelah setengah jam berlalu. Kami pun akhirnya menghabiskan waktu untuk kegiatan lain. Beberapa dari kami memilih menghafal, sebagian lain ngobrol dan sebagian yang lain asyik berdiskusi.

"Kita itu beruntung ya, Rek. Guru Nahwunya gak ganti. Minimal Ustaz Abdun kan sudah paham bagaimana sejauh apa kemampuan kita." Aku pura-pura sibuk membuka buku nadham saat mereka mulai membahas seseorang yang telah mencipta resah di hati.

"Tak pikir diganti. Soale kan biasanya naik tingkatan beda lagi ustaznya."

"Mungkin kemarin sebagai kelas percobaan Ustaz Abdun, jadi tahun ini diberi kepercayaan lagi untuk mengajar di kelas atas." Temanku sibuk saling menimpali. Aku hanya beristighfar dalam hati. Bibirku bergerak melafal bait nadham lirih. Mencoba abai dengan obrolan mereka.

***
"Mbak Rin, sini." Mbak Karim melambai dari pintu dapur ndalem saat aku sedang asyik bersandar seraya melamun di bibir pintu. Tanpa menunggu lama, kubenahi jilbab dengan menyematkan jarum di bawah dagu seraya berjalan keluar asrama menghampirinya. Biasanya jika ada panggilan dari Mbak ndalem satu itu, bakal dapat rezeki makanan. Lumayan bisa menikmati menu lain selain sayur kangkung dan terong.

Aku mengekor Mbak Karim memasuki dapur ndalem yang lumayan luas. Dia berhenti tepat di depan meja kayu berbentuk persegi. Beberapa piring berisi aneka kue basah berjajar di sana. Entah akan ada acara apa sebenarnya.

"Bantu aku bawain kue-kue ini ke depan ya, Mbak," pinta Mbak Karim seraya menaruh leser berbahan seng yang biasa kutemukan saat ada acara hajatan. Dia menata beberapa piring di atasnya. Kembali aku mengikuti langkahnya masuk ke ruang tamu.

Gelaran karpet hijau bermotif bunga di sepanjang tepinya menutupi luasnya ruang tamu. Beberapa toples makanan ringan sudah tertata di sana.

"Mbak Karim," panggil Bu Nyai saat aku mulai menata piring berisi kue tersebut di antara toples.

"Nanti buah apel yang di kulkas sekalian suguhin ya, Mbak." Mbak Karim menjawab takzim perintah dari Bu nyai. Aku beringsut mundur saat usai menyelesaikan tugas.

"Mbak e ayo ikut saya, ambil buah di mobil." Aku pun urung kembali ke dapur dan mengikuti langkah istri Abah Yai tersebut.

"Hilmi itu disuruh bawa ke sini malah ndopok sama Abahe di depan. Selalu saja seperti itu. Sudah tau waktunya mepet, teman-temannya sudah hampir sampai juga, malah tenang-tenang!" Dalam hati aku tertawa kecil mendengar gerutuan wanita pemilik pesantren ini. Ternyata, beliau tidak jauh beda dengan ibu-ibu di luaran sana, yang akan mengomel sepanjang rel kereta jika sudah gupuh dengan pekerjaannya.

Bu Nyai kembali mengomel saat tak bisa membuka jok belakang mobil Fortuner hitam yang terparkir di garasi. Aku hanya berdiri diam di belakanganya, mau membantu tetapi tidak tahu. Aku disuruh menunggu saat beliau berlalu untuk memanggil putranya.

Aku mengedar pandangan mengamati setiap sisi garasi. Kurang kerjaan sih, tetapi dari pada jenuh menunggu. Aku bersandar di badan mobil seraya memainkan jari. Samar mulai kudengar suara wanita berumur lima puluh tahunan itu mendekat ke arah sini.

"Enggeh, Umik. Gitu lo jenengan ngomelnya sudah persis kayak orang siaran bola, gak berjeda." Suara putranya yang baru kembali dari studinya mulai terdengar.

Aku pun kembali menegakkan badan dan menunduk takzim saat Ibu dan anak tersebut sampai di garasi. Sosok pria berperawakan tinggi itu masih berusaha meredam kemarahan Umiknya dengan rayuan. Lucu. Ingin tertawa takut dosa. Santri nertawain Bu Nyainya itu gak sopan, ditambah lagi ada zuriyahnya.

Bu nyai mengangsurkan beberapa kresek berisi buah-buahan padaku. Sisanya beliau bawa sendiri dibantu dengan Gus Hilmi. Aku memilih berjalan mengekor di belakang mereka berdua dengan menahan senyum karena rayuan Gus Hilmi nyatanya tidak mempan meredam rajukan Umiknya.

Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang