Secarik Kertas

12 1 0
                                    

***

Waktu bergulir begitu cepat. Hari demi hari terlewat tanpa terasa. Rasanya baru kemarin menapakkan kaki di bumi pesantren ini, tetapi ternyata ini sudah di akhir tahun ke dua.

Apakah selama itu aku tak melakukan pelanggaran? Pasti pernah. Aku bukan barisan santri rajin dan berprestasi. Kemampuan standar dan otak pas-pasan membuatku harus berusaha sedikit keras jika ingin menghafal nazam. Belum lagi virus kantuk yang menyerang saat jam pelajaran Diniyah berlangsung.

Hari ini jadwal pemeriksaan kitab sebelum pelaksanaan Ujian kenaikan kelas Diniyah. Semua santri berbondong-bondong menuju madrasah dengan membawa serta setumpuk kitabnya.

"Aduh, In, kitabku," keluhku pada Laila saat memeriksa kembali lembaran kitab yang akan kubawa. Masih ada beberapa lembar yang ternyata belum sempat kutambal saat takror. Melengkapinya sekarang sudah tidak mungkin lagi. Omelan gratis dari Ustaz Abdun bakal masuk di telinga. Tetapi, tak mengapa, omelannya itu seakan cambuk semangat untukku lebih baik lagi pastinya.

"Nanti kamu bisa lengkapi pas di kelas sambil nunggu giliran, Rin." Kutoyor lengannya.

"Kamu kan tahu absenku nomor berapa?" Indah cengengesan. Dasar!

Bel pertanda masuk Diniyah sudah berbunyi. Aku dan Indah berpisah menuju kelas masing-masing. Harap-harap cemas menunggu kehadiran Ustaz Abdun, siap mendapat tegurannya.

"Woey, Ustaz Abdun sudah jalan kemari, Rek!" Teriakan Seli membuat seisi kelas menjadi gaduh. Aku yang sejak tadi gugup, kini pura-pura membuka kembali lembar kitab satu per satu. Semoga saja hanya satu kitab tadi yang masih belum penuh isinya.

Hening. Hanya derap langkah dari arah pintu kini yang terdengar. Kegugupanku pun kian bertambah. Apakah hanya diriku yang kitabnya belum penuh? Semoga saja ada temannya biar tidak kena omel sendiri.

Kami membaca doa sebelum belajar dilanjutkan dengan doa petunjuk kebaikan usai menjawab salam dari ustaz.

"Aamiin, Ya Rabbal alamiin."

Ustaz Abdun mulai membuka buku presensi di meja. Tak lama kemudian dia mulai memanggil nama santri dengan urutan nomor pertama. Padahal aku masih menunggu giliran ke dua, tapi mendadak perutku mulas. Selalu saja begini jika sedang gugup.

Menit demi menit berlalu. Sesekali aku mengamati temanku yang sedang berhadapan dengan Ustaz Abdun tepat di depan mejaku.

Beliau terlihat mencatat di buku besar semacam jurnal yang dibawanya saat masuk tadi. Tak lama temanku membawa tumpukan kitabnya kembali ke bangkunya.

"Arina."

Ustaz Abdun terbiasa memanggil namaku lewat absen tanpa mengalihkan tatapannya dari buku presensi. Padahal pada yang lain dia biasa saja. Aneh. Gegas aku beranjak mengangkat tumpukan kitabku menuju meja guru.

"Lengkap semua?" Aku mengerjap. Nanti kalau aku jawab lengkap ternyata diperiksa bolong kena marah gak ya?

Jujur, enggak, jujur, enggak.

Aku menunduk seraya mengaitkan jemariku.

"Kalau kelamaan mikir berarti gak lengkap." Ambyar sudah. Benar juga, jika sudah lengkap pasti aku jawabnya spontan.

Ustaz Abdun mulai membuka satu per satu kitabku dan memeriksanya. Aku mendengar beliau berdecak saat menemukan bagian halaman yang belum sempat aku lengkapi.

"Masih ingat pesan yang seringkali dilontarkan Abah?" Aku mengangkat wajah dan menatap Ustaz Abdun, eh, ternyata dia nunduk. Gagal berpandangan deh. Astaghfirullah!

"Ya-yang mana, Taz." Aduh, pakai gugup segala, sih?

"Petenge kitab padange ati, padange kitab?" Aduh, itu lanjutannya yang mana? Aku berpikir keras. Ya Allah, kenapa rasanya isi otakku berhamburan semua?

"Padange kitab berarti ...." ulang Ustaz Abdun.

"Mm ... Padange kitab, petenge ati." Ustaz Abdun mengangguk-angguk. Hufth! Lega rasanya bisa menjawab pertanyaan sederhana darinya. Beliau kembali membuka lembar demi lembar kitab sampai pada halaman terakhir.

Lama Ustaz Abdun terlihat mengamati lembar terakhir halaman kitabku. Sebuah kertas putih nyempil di situ. Rasanya pipiku memanas. Bisa-bisanya  aku lupa mengambilnya tadi.

"Ini buat saya?" tanya beliau seraya tersenyum miring. Sekarang tidak hanya wajahku yang memanas, tetapi sekujur tubuhku rasanya gerah. Malu.

Tanpa izin beliau mengambil kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku. Aduh! Bagaimana nasibku nanti jika sampai kertas itu diketahui banyak orang? Aku khawatir jika nanti akan disebar luaskan pada pengurus lain.

"Taz, itu ...."

Beliau menggeleng dan menutup kitabku. Beliau mencatat di buku jurnalnya kemudian memintaku untuk kembali ke bangku. Rasanya enggan beranjak sebelum kertas berisi coretan tentang suasana hati itu belum kembali ke tanganku. Malah sekarang berpindah tangan pada sang objek tulisan. Nasib, nasib. Kenapa juga aku menyelipkan kertas itu di dalam kitab.

Ambyar sudah. Syukurnya hanya satu. Padahal setiap hari aku menulisnya di lembar kertas kecil saat jam istirahat Diniyah.

Aku beranjak dari kursi dengan perasaan tak menentu. Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah kena omel tambah konangan. Fix! Dobel sial! Rasanya pengen nangis.

Inginku perasaan ini tak perlu dia tahu. Aku takut patah hati. Cukup Indah saja yang meledekku setiap hari. Tetapi, kini rasanya harapan itu pupus. Sang objek impianku kini telah tahu setelah selama hampir dua tahun aku menyimpan rapat darinya. Benar-benar ceroboh kamu, Arina!

Aku memilih diam tanpa berani menatap ke arah Ustaz Abdun saat kembali di bangku. Semoga saja tadi tak ada yang memperhatikan kegiatan Ustaz Abdun saat mengambil kertas milikku hingga memasukkannya ke dalam saku baju kokonya beberapa saat lalu.

Dalam hati hanya bisa berdoa, semoga saja tulisan itu bukan menjadi penyebab bencana, tetapi menjadi penyebab bahagia.

Secangkir Teh Untuk Sang Gus (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang