éna

117 24 85
                                    

Aditya berpendar dari rongga kauban. Eirene pun tersadar, nitranya sembam kaotis. Kunarpa berasimilasi di balik gebar kelusuh-kelasah. Ia bangkit meninggalkan ranjang randu lusuh. Melacak almari rapuh berona kelam, meraup seragam sekolah. Tubuh gontor dari gendhi. Prungunya mengindahkan gaduh, bak bahana sesepuh di ruang tamu.

Di ambang pintu, Eirene bergeming sembari menggandeng kemasan bujur sangkar berkelir gelap mengilat. Sorotnya berbinar kala telenovela ditayangkan lebih awal. Arloji berperi, pasak menunjukkan pukul enam. Ia membalikkan tubuh. Mengurung diri di kala insan lain bersiap pergi. Bersandar pada akses berbahan kayu tebal. Mendekap gigil bersamaan fajar yang kian meninggi.

"Kau tidak punya otak, ya? Dari mana kita bisa mendapatkan uang untuk membayar utangmu? Kau pikir hasil pinjamanmu itu hanya sepuluh lembar dolar?" tanya wanita berkulit putih dengan rambut hitam pendek yang diikat abai.

"Mudah, kau bekerja mati-matian, bukan? Pakai saja uang hasil keringatmu itu. Tidak usah diambil pusing," jawab pria berbadan tegap yang tingginya hampir dua meter mencapai atap.

"Apa? Tidak bisa seperti itu. Bayaran atas kerjaku hanya cukup untuk mengisi perut dan separuhnya dirampas olehmu."

"Kalau begitu, kau kerja saja di bangunan tua ujung kota itu."

"Kau gila, ya? Kau ingin menjualku?"

"Sudahlah, kau lanjutkan celotehmu dengan tembok. Aku lelah, jangan mengganggu tidurku lagi." Pria berbadan tebal itu meninggalkan wanita yang dipersuntingnya empat belas tahun lalu dan berjalan lenyai menuju bilik.

"HELIOS!" teriak Siren tanpa kehormatan.

"APA LAGI? Sudah kubilang, aku ingin istirahat. Bisakah kau sehari saja tidak mengoceh? Lama-lama kujahit arangmu."

"Kurang ajar, kau! Tidakkah ingat siapa yang membiarkanmu hidup sampai kini? Siapa yang mati-matian banting tulang untuk mendapatkan secuil nasi yang kau telan? Kesibukanmu hanya bisa bertaruh di kelontongan sembari menenggak larutan tak bermoral. Pada siang hari, kau mendengkur. Seronok sekali 'kan kau menjadi suami yang tak bisa diandalkan? Tidakkah malu bertopang pada istri?"

Sebuah pelantang suara berwujud kubus terbuang dari tempat penampungan. Ia dicampakkan oleh sang dewa matahari yang angkuh.

Goncangan cepat nan berulang hadir di lantai kayu yang melapisi rumah tuna rupa kala Helios melangkah arogan. Durjanya berangsang merah. Menunjuk-nunjuk wanita yang dicintainya. "Jaga bicaramu itu, Siren! Aku ini suamimu! Seharusnya kau hormat padaku!"

"Suami macam apa kau? Menghidupi keluarga saja tidak becus! Kau ingin aku hormat padamu? Jangan bermimpi lagi. Di sini aku yang menghidupimu," jawab angkuh Siren membuat suaminya bertambah berang.

"Kau lupa, ya? Sebelum peluhmu bercucuran, siapa yang lelah bertarung dengan mesin-mesin penghasil uang? Siapa?"

"Iya, kau, tetapi itu dahulu. Jangan berbicara masa lalu yang tak berguna itu. Sekarang kau hanya bisa menumpangkan kaki." Siren menyilangkan tangan, seolah menantang Helios yang kian membara. Netranya memerah. Dada menggebu-gebu.

"Buta, kau? Tidak lihat apa sampul surat berwarna sawo matang bertumbuk di karung sampah? Itu hasil jerih payahku puluhan bulan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Aku berusaha juga, Siren. Jangan hanya mementingkan peluhmu saja. Buka mata hatimu. Asal kau tahu, tamatan sekolah menengah pertama selalu disisihkan. Gedung-gedung tinggi hanya butuh yang bergelar."

"Itu salah kau, mengapa tidak menjadikanmu orang yang bergelar."

"Memang salahku, Siren! Salahku pernah menikahi wanita yang tak punya otak! Aku muak berada di sini." Helios melanjutkan langkahnya, membuang tubuh Siren, dan menutup keras pintu yang hendak lepas dari sekrupnya.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang