dṓdeka

11 3 0
                                    

Trigger Warning
Sebelum membaca, normalisasikan batin dan pikiran. Jika mental sedang turun, jangan membaca bab ini. Aku peringatkan. Bila ingin membaca bab ini, normalisasikan batin dan pikiran. Normalisasikan batin dan pikiran. Jangan terhasut. Tenangkan pikiran. Jangan terhasut.

***

Sosok wanodya di tepi dalu tengah bersenda gurau barinan lara-lapa. Saling lempar batuan kelakar. Laksita anggun disorot rembulan kala nagara maju terlelap. Sedang asta kirinya menjinjing kantong berisi barang berutas-utas terbuat dari sabut kelapa serta sebotol larutan yang diseruput bila tandus menyerang, tak lupa sebungkus cemilan kering yang digerogoti kala jenggama bertambah suwung. Mujur, kelontongan itu tak pernah menutup papan dari pagi bertemu pagi lagi.

Rumah mungil beralas tikar hingga bangunan tembok pencakar langit saling bersinar dalam gulita. Menyinari tuan dan nona muda di kedai buah sedang melabuhkan ciuman pada baris pendhem. Di paling sudut hinggap sebuah gubuk, berisikan insan-insan mabuk. Berjalan bak kepiting rebus yang enggan dilahap insan pendekap bandha. Sesekali menawarkan sebotol wine kepada arwah-arwah di sepanjang jalan. Seterusnya dilakukan hingga memijak serambi panti yang hangat disapa famili.

Malam ini tidak sesunyi biasa. Insan-insan hilir mudik di sepanjang lintasan. Menikmati pijar jalanan penyambutan kelahiran Sang Mesias. Bangunan tertua di kota yang beratap runcing ditemani empat jam dinding besar tengah dihinggapi belasan bumiputra memakai jubah. Di tamannya, tumbuh pohon cemara setinggi buta. Lampu-lampu cilik dan wadah-wadah berpita melingkar di sana. Saban tahun hadiah-hadiah di bawah pohon natal ditebar kepada anak tak bermarga atau anak-anak itu mengambil dengan leluasa. Sebuah kristal pun jatuh mengenai hidung Eirene. Insan-insan lain menengadah. Bersorak-sorai. Berjingkrak-jingkrak. Salju turun. Natal yang sesungguhnya telah tiba.

Eirene bergerak maju ke arah halte bus, rayuan anila serta butiran kapas beku tak dapat menggubris netranya yang hampa. Nalar turut serta karut-marut. Kepulangan pada pura telah dihempas. Rumah tak lagi menjadi angannya merebah, seperti di negeri dongeng. Kasak-kusuk mager sari terdengar hingga ujung samudra. Menebar pergunjingan di taman nirwananya. Usik menulusuk lakuna hidupnya yang tak kunjung hura-hura. Sunyi setia menemani sampai-sampai tak ingin pergi, pula tak sudi berganti peran dengan ramai.

Eirene, terusik. Ia merangkap dalam pesakitan tak berkesudahan. Mencari lakuna lain tuk gapai cahaya Tuhan. Candra hanyut semakin jauh. Meninggalkan gugusan planet yang menjadi pegangan dalam astrologi penentu nasib insan-insan di bumi. Eirene tak seperti insan lain, ia tak terbagi dalam lingkaran khayal di langit yang berpusat di ekliptika dan dibagi menjadi dua belas. Tak dapat memberi tangannya tuk diramal.

Sesekali kendaraan bermesin melaju, membuat getaran pada tapak kaki Eirene yang tengah meletakkan tubuh di bangku panjang. Ia menyepi, tetapi ditemani bayangan pincang yang tersorot lampu jalanan. Angin silih berganti. Ada yang hadir menerpa anak rambut, pula yang hadir hingga tubuh terhuyung.

Tak berasa, seorang gadis sebaya terduduk di sampingnya. Keduanya saling berpandangan.

"Garis takdirmu terhalang ocehan orang luar, hingga kau tidak dapat hidup sesuai pintamu. Di malam natal ini, kepal tanganmu dan ujar sebuah permintaan. Tuhan akan mengabulkannya. Jangan hiraukan kicauan lagi. Ini hidupmu, jalan yang seharusnya kau tuju bukan melalui perantara. Niscaya, kau akan tenang. Rumit tak lagi hinggap. Percayalah," tutur gadis---yang tak asing diingatan Eirene---itu sembari tersenyum.

"Kau siapa?"

"Tidak perlu bertanya seperti itu. Tanpa kuungkap, kau akan tahu. Aku pun tahu seluk-beluk dirimu dan hapal persoalan yang meributkan jiwamu. Tak usah risau mengenaiku. Ikuti saja perkataanku. Berusahalah menjangkau cita." Gadis itu tersenyum. Eirene terdiam menatapnya. Namun, fokusnya teralih oleh bisingnya laju kendaraan.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang