déka

9 4 0
                                    

Insan-insan dalam auditorium berhamburan keluar bersama generasi Ananke yang baru memperoleh buku besar. Mereka saling memandang lalu membanggakan keberhasilan budaknya yang sudah berbulan-bulan mengabdi pada Ananke. Insan-insan itu meninggalkan sekolah berdaya saing tinggi bersama melangitnya harsa dan bergantian dengan sanak dari kelas sembilan. Kejadian serupa dengan babak awal terulang. Ruangan pertemuan kembali disesaki manusia-manusia penting, mengincar seliri terdepan, dan berbincang kanan kiri. Pendingin ruang melenyapkan suaranya, diberikannya suhu juga aroma kenyamanan tuk para tamu undangan.

Pewara berbicara lantang dengan alat pengeras suara di genggamannya. Diawali seruan nama-nama penghuni kelas sembilan-satu dan menghadirkan tampilan gambar wajah mereka pada layar tembus pandang. Kegiatan itu bersamaan dengan munculnya siswa-siswa sembilan-satu dari balik panggung. Mereka memposisikan diri, berbentuk horizontal menghadap pemirsa dengan rekahan bulan sabit pada durja.

Penyerahan buku besar mulanya diberikan kepada siswa nomor urut satu dalam daftar hadir sehari-hari. Layar tancap terpampang hasil akhir beserta paras siswa tersebut. Berjabat tangan dengan guru besar. Riuh aplaus pun memenuhi ruang. Menyuarakan kegirangan hasil pengabdian. Begitu seterusnya hingga Eirene terpanggil. Ia tak semringah begitu hasil akhir muncul. Auditorium sunyi. Terlihat belalakan seluruh penonton. Berbanding terbalik dengan pewara, ia berseri-seri dan bertepuk tangan sendiri.

Selang keheningan, aplaus bertebaran. Lebih meriah dari sebelumnya. Orkes pun ikut menyumbangkan girang. Hampir mencapai garis sempurna hasil akhir yang diperoleh Eirene. Ia mendapat angka 4 di semua mata pelajaran, kecuali bidang olahraga yang hanya mendapat 3,7. Kelemahannya itu mampu tertutupi oleh kesempurnaan pengetahuan bidang lain dan seni.

Eirene mematung kikuk, lantunan tangan bertepuk itu terasa hambar di pendengarannya. Namun, di hati kecilnya, ia gembira. Tak sabar menunjukkan buku besar juga selempang penghargaan kepada biyang dan ramanya. Ia membungkukkan tubuh mencapai sudut siku-siku selama lima belas detik. Kemudian memundurkan kaki, menyejajarkan diri dengan siswa lain. Tak satu pun dari mereka melepas pandangan. Mereka menatap Eirene lekat penuh tanya dan sedikit dengki.

Tak lama Skilla terpanggil. Selangkah lebar ke depan dengan senyum merekah. Wajah formal juga angka pada mata pelajaran terpajang di bayangan proyektor. Sama seperti Eirene, hasil akhirnya hampir sempurna. Mendapat angka 4 di semua mata pelajaran, terkecuali seni musik mendapat 3,5. Perihal itu mengubah sekelebat air muka Skilla menjadi datar, walaupun riuh tepuk tangan juga orkes sama meriahnya dengan Eirene. Perubahannya hanya tak ada jeda yang lama. Selepas penyerahan buku besar juga selempang, ia membungkukkan badan dan meninggalkan panggung. Kemudian nama-nama lain terpanggil, termasuk Leto.

Ia melangkah dengan pandangan kosong. Pencapaiannya setara standar Ananke. Aplaus tak seriuh siswa lain, seperti berat tangan untuk menyempurnakan hidup siswa pas-pasan.

Finis untuk sembilan-satu. Potret bersama telah dilakukan. Masing-masing juga memeluk buku besar. Lalu bercerai. Menghampiri sanak yang hadir, merangkulnya, dan dihadiahi belai puncak kepala. Menimbulkan hasrat iri dari lubuk hati Eirene. Tak siapa pun sanak mengunjunginya. Ia hanya celingak-celinguk menyaksikan keberuntungan insan lain.

"Eirene, Mrs. Iris menunggumu di ruangannya," ucap seorang wanita yang biasa berdiam diri sebagai penerima tamu di gedung utama.

"Ada apa?" tanya Eirene sedikit terkejut sebab wanita itu tiba-tiba menepuk pundaknya di saat termangu.

"Aku tidak tahu pasti, tetapi tadi kulihat perwakilan pemerintah baru turun dari keretanya."

"Ah, begitu. Baik, terima kasih, Nyonya," sahut Eirene sembari mengembuskan napas lega. Ia merapikan seragam kebanggaan dan mengekor sang pemberi informasi tuk bergegas ke gedung utama.

IneffableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang