11

600 49 4
                                    

Melihat seorang Bos Besar duduk lesehan di koridor apartemen memanglah epik, tapi Jin masih waras. Orang ini adalah bos dia, banyak orang kenal wajahnya pun jabatannya dan mungkin saja tetangganya salah satu dari orang itu. Bisa-bisa reputasi tempatnya kerja jadi terancam. Apalagi ini hanya karena soal masalah percintaan.

"Gue gak nerima orang bego, please," kata Jin, capek. Sedari tadi penolakannya terus tak diindahkan. Dia melipat tangannya di depan dada dan memandang miris.

"Malam ini aja, Bang. Gue gak tau lagi harus kemana," jawab Namjoon sedih.

"Ya, baliklah ke rumah lu. Gak usah lemot, kenapa? Ketemu sama Yoongi, jelasin semuanya."

Akhirnya Jin meledak. Cukup berhasil membuat niatan Namjoon untuk menumpang jadi surut. Malas harus berurusan dengan Jin mode cerewet tak habis. Namjoon sungguh ingin kembali ke rumahnya, tapi tidak sekarang. Dia bingung mau bicara apa pada Yoongi nanti. Kalau mereka diam-diam saja juga rasanya tidak mungkin. Dalam hati Namjoon dia mengandai jika mereka kini sedang butuh waktu untuk sendiri-sendiri. Meski jatuhnya, ia jadi terlihat sebagai pecundang.

"Agaknya, kita masih butuh waktu, Bang."

"Terus? Lu ninggalin dia sendiri dong malam ini?"

Namjoon menghela napas frustrasi. "Bang.."

"Pergi atau gue panggil polisi?" 

Jin memang tega. Biarpun begitu ia tak peduli. Menurutnya Namjoon mesti bisa lebih bijak dalam menghadapi problemanya ketimbang duduk merenung bak gembel.

Tanpa Jin sendiri sadari ia jadi duduk di sebelah Namjoon. "Joon, lo sendiri yang cerita kalau dia gak marah sama lo dan dia gak ngomong apapun ke lo. Itu berarti dia nunggu lo yang bicara duluan sama dia." Jin menarik nafasnya panjang, tak menyangka harus menjelaskan hal remeh pada orang yang ber IQ 148, "Itu berarti dia udah mulai percaya sama lo!"

....

Dengan jantung berdebar kini ia menatap wajah letih wanita di depannya. Panggilan suara dari dia membuat Namjoon menunda perjalanan pulangnya. Sejujurnya dia enggan ingin bertemu siapapun saat ini. Namun dia sampai memohon, jadi Namjoon setuju dengan berat hati.

Dia itu ibu Yoongi.

Dia, wanita yang paling dibenci yoonginya dan Namjoon tahu itu.

"Ibu tidak bisa menghubungi Yoongi," katanya. Sorot matanya tampak khawatir. Rasa rindu, rasa bersalah, rasa ingin diterima, Namjoon bisa melihat itu semua dari kedua netra yang memandangnya. Entah apa yang terjadi pada mereka. Bukannya Namjoon tak mengerti jika Yoongi terus membangun tembok antara dirinya dengan ibu mertuanya ini.

"Apa kalian baik-baik saja?"

Namjoon tak lantas menjawab. Namun ibu malah mengoreksi pertanyaannya sendiri.

"Apa Yoongi baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja. Kami baik-baik saja," Namjoon mengatakan apa yang ia yakini.

Dia mendesah lega. "Syukurlah. Syukurlah."

"Ada apa, Bu?" tanya Namjoon akhirnya. Dia penasaran karena ini kali pertama Ibu ingin bertemu dengannya dan tampak ia bukan ingin minta uang ataupun dibelikan sesuatu.

"Yoongi selalu benci kalau ibu mau bertemu atau berbicara dengan kamu," tuturnya. 

"Maaf jika ibu selalu membuat kamu berantem dengan dia."

"Gak pa-pa, Bu." Namjoon merasa kikuk. Tak enak hati jadinya ia hanya bisa tersenyum tipis.

"Yang dia benci bukan pertemuan kita, apalagi kamu, tapi saya. Dia benci ibu."

"Bukan-"

"Joon, kamu tau kalau Yoongi benci ibu?" Mana mungkin Namjoon katakan jika ia tahu. Lagi-lagi ia hanya tersenyum kikuk. Saling bertukar pandangan dengan wanita itu tanpa arti.

"Dia benci Ibu sejak ibu dan ayahnya bercerai. Dia bilang ibu sudah menghancurkan satu-satunya yang Yoongi punya saat itu, keluarga. Dia selalu merasa sendiri. Kehadiran ibu adalah hal yang percuma buatnya. Hatinya selalu sakit sejak saat itu. Dia selalu sakit sendiri.

"Joon, kamu satu-satunya yang Yoongi punya saat ini. Jika dia tidak bilang dia cinta kamu, jika dia tidak bilang dia butuh kamu, bukan itu yang terjadi. Dia butuh waktu. Dia butuh kamu."

Air mata Ibu turun deras. Bibir tipisnya bergetar. Pelan tangannya yang penuh kerutan itu menghapus jejak air matanya.

"Dengar, ibu katakan ini, bukan karena ibu adalah ibunya, tapi karena ibu adalah orang yang membuatnya hancur. Saya yang menghancurkan dia, menghancurkan hatinya sampai sulit baginya untuk mencintai orang lagi." Bibirnya tertutup lengan tangannya. Dia sesenggukan. Namjoon  dengan hati-hati segera meraih tangan itu dan menggenggamnya. Dia menangis persis seperti Yoongi. Hati Namjoon sakit melihatnya. Dia sungguh merindukan Yoongi saat ini.

"Kalau dia bilang dia ragu padamu. Jika dia bilang dia ragu pada pernikahan kalian. Tidak. Dia hanya butuh waktu. Dia butuh kamu untuk mendukungnya. Tolong beri dia waktu. Jangan tinggalkan dia. Dia butuh kamu agar tak hancur kembali."

Namjoon tak mampu mengantar mertuanya ke rumah dia. Jujur dia katakan ia ingin segera menemui Yoongi jadi ibu mengerti. Tungkainya pun melangkah lebih laju pergi ke area parkir. Masuk ke mobil, Ia membawanya pergi dari sana. Jantungnya tak berhenti bertalu. Takut. 

Namjoon sungguh takut saat ini. Dia ingin menggenggam tangan Yoongi kini, memeluknya, meminta maaf karena tak menjelaskan. 

Meminta maaf karena tak memberi ia waktu untuk berbicara.

Ia ingin meminta maaf karena sudah pergi meninggalkannya sendiri.

"Kamu baru pulang?" sapa Yoongi saat pintu rumah mereka ia buka. Tanpa menjawab, Namjoon masuk dan dengan cepat memeluk tubuh ringkih itu erat.

"Aku minta maaf."

Air mata Namjoon mengalir sebab tahu ia tak ingin kehilangan Yoongi.

l a n d e d // namgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang