Friki mengangguk, dia berdecak saat tak melihat jajanan yang Anan bawa. "Lama. Ngapain aja lo? Jajan juga enggak. Berak? LAMA BETUL!"
"Tadi bordir topi." Anan nyengir. "Antriannya panjang banget tadi."
"Bordir apa?"
"Bintang." Anan menoleh ke samping –yang kampretnya menghadap Mira-, memperlihatkan satu bintang yang tergambar di topinya. "Cakep, nggak?"
"Cakep." Mira yang menjawab.
Anan meliriknya, lalu menatap gerombolan Friki satu-persatu. Dia menurunkan topi yang dia pakai, hampir menutupi mata. "Gue nggak tau kalau lo di sini buat ketemuan sama teman-teman lo."
"Gue belum bilang, ya?"
Anan menggeleng sebagai jawaban.
Mira berdeham, diam-diam melepaskan rangkulan tangannya pada Waru. Menatap Anan dan memberinya senyuman manis. "Namanya siapa?"
Anan tidak menjawab, melirik saja tidak. Dia hanya berjongkok menghadap Friki, pandangannya turun. Tangannya memainkan kain yang mencuat di ujung celana yang Friki kenakan.
Friki menoel lengan Anan. "Ditanyain, tuh."
"Anan."
"Gue Mira." Mira mengulurkan tangan, tapi Anan abaikan. Dia meringis, menurunkan tangan malu. "Temannya Friki, ya? Gue sama yang lain juga temannya, kok. Kita satu grup anime. Kalau kata orang-orang, sih... temannya teman kita tuh berarti teman kita juga."
Anan tidak menggubris. Friki yang bertindak. "Iya, lah. Teman gue teman kalian juga. Ini orangnya emang agak pemalu. Enggak, ding. Pemalu banget. Gue juga nggak dekat-dekat banget sama dia. Maklum, Anan senior gue."
"Enggak dekat banget, ya?" Anan mendongak, matanya memelas. "Padahal gue udah confess ke lo."
Mira dan Kira terbatuk. Waru, Riki dan Dani melotot.
"Nggak salah ngomong lo?" Waru yang bersuara. "Confess? Ke Friki? Gue nggak salah dengar, kan?"
"Apa yang salah?"
"Ini Friki!" Waru menunjuk Friki lancang. "Cewek dekil buluk yang nggak bisa perawatan diri. Lo yakin suka sama dia? Iya, gue tau. Dia humble. Gue nembak dia dulu juga karena gue pikir dia ramah dan cocok dijadiin pacar. Tapi setelah gue lihat aslinya dia gimana, gue nggak perlu mikir seribu kali buat putusin dia, man!"
"Gue tanya apa yang salah?" Anan mengulang pertanyaannya. Dia menepis jari Waru, menatapnya tidak suka. "Lo nggak perlu ikut campur masalah gue sama Friki."
"Tapi lo bisa dapatin yang lebih baik!"
"Friki yang terbaik buat gue." Anan melirik Mira. "Dia cewek lo, kan? Sadar nggak lo kalau dia terus ngelirik gue waktu gue datang? Tampang doang yang bagus, akhlaknya nggak ada."
"Akhlak masih bisa diubah. Penampilan?"
"Gue nggak peduli sama penampilan. Cewek lo emang cantik, kurus, putih, gampang banget buat dilirik cowok sana sini, buat cewek-cewek yang lihat ngerasa minder karena kurusnya dia, sampai keliatan kayak tulang sama kulitnya doang."
"Mira lebih baik-"
"Friki jelas jauh lebih baik." Anan menyela, meraih jari kelingking Friki dan meremasnya. "Apa yang diharapin sama cewek yang lihat cowok cakep dikit aja langsung oleng? Cowok kayak gue, yang item, dekil, anak teknik, panas-panasan, badan nggak ada keker-kekernya, logat gue aja masih ada medoknya. Cewek lo aja udah oleng. Gimana kalau dia lihat cowok super-super ganteng di luaran sana? Mampus nggak lo?"
"Itu masalah gue."
"Kalau gitu jangan ikut campur masalah gue segala. Pakai ngatain Friki segala. Cowok bukan lo? Potong abis aja itu burung kalau nggak bisa ngehargain orang!" Tidak sadar saja Anan kalau dia juga tadi mengatai Mira perempuan kurus yang suka kepincut laki-laki mana saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Beast (END)
Short StoryFriki, mahasiswi jurusan Arsitek berperut buncit dan berperilaku freak, memiliki selera humor di bawah rata-rata dan selalu nyengir kapanpun dan dimanapun. Dia tidak memperhatikan masalah penampilan, memakai celana pendek selutut dan kaos polos ke k...