20 - De(ep)adtalk

26 6 0
                                    

Inul yang tadi ingin mencari Friki di kelasnya berdiri penasaran saat banyak gerombolan mahasiswa-mahasiswi yang berbisik-bisik sambil mengintip kelas melalui jendela. Padahal pintu terbuka lebar, dan tidak ada yang berani masuk sama sekali.

Samar, Inul mendengar bisikan mereka.

"Mereka ngapain? Abis marahan trus ngajak balikan?"

"Balikan pala lo. Yang gue dengar kak Anan itu selingkuh sama cewek yang lebih baik, makanya Friki marah. Karena ngerasa bersalah, kak Anan cari Friki sampai segininya. Nih Friki kalau masih mau nerima kak Anan lagi, fiks dia cewek gampangan. Dikasih maaf dikit aja udah meleleh."

"Kok yang gue dengar malah mereka belum jadian, ya?" Temannya yang lain ikut berbisik.

"Yakin lo? Sebulan sejak kak Anan confess ke Friki. Kalau mereka masih belum juga jadian, gue jadi sangsi kalau kak Anan datang buat maaf."

"Maksud lo?"

"Apa lo nggak mikir kalau Friki ngehindar karena dia tau kak Anan udah nemuin yang lebih baik dari dia, makanya dia nggak mau dengarin segala penjelasannya kak Anan?"

"Duh... ribet banget, sih?! Friki juga, sih. Pakai acara tarik ulur segala. Giliran kak Anan ngejauh, mampus kan dia."

"Kenapa nggak nyoba buat novel aja lo?" Inul menyentak, keras. Membuat beberapa orang menoleh ke arahnya, termasuk tiga mahasiswi yang tadi bergosip. "Mana Friki?"

"Penasaran juga kan lo?"

"Pala lo! Mana orangnya?!"

Salah satunya menunjuk ke kelas. "Di dalam. Ngobrol berdua sama kak Anan."

Inul maju, mengintip dari pintu. Mereka berbicara seperti biasa, tidak ada teriakan, tapi mata Friki yang sedikit memerah membuat dia geram. Baru saja dia ingin masuk ke dalam dan memberi pelajaran ke Anan, Londok sudah menyeret tangannya mundur.

Menyentak tangan Londok, Inul ngegas. "NGAPAIN LO?! NGGAK LIHAT TEMAN KITA LAGI NGAPAIN?!"

"Gue tau." Londok mencekal kedua bahu Inul. "Biarin mereka bicara sebentar. Kalau kita ikut campur, masalah mereka nggak kelar-kelar nanti."

"TEMEN GUE NANGIS, GOBLOK!"

Inul hendak berbalik, kembali masuk ke kelas. Londok mencegahnya lagi. "Kasih waktu sebentar buat mereka. Ini masalah mereka, biarin mereka nyelesaiin masalah mereka sendiri. Kalau Friki datang ke kita dan minta kita buat bantuin dia, baru kita maju. Oke?"

Inul melirik ke belakang, melihat Friki yang menunduk dengan Anan yang berjongkok di depannya. Menghela napas, Inul mengangguk, menyanggupi. Tau kalau apa yang Londok katakan itu adalah yang terbaik untuk mereka saat ini.

Sedangkan di dalam kelas, Anan tidak melonggarkan cekalan tangan kanannya di pergelangan Friki. Tangan kirinya terulur, mengusap mata Friki. "Gue nggak suka lihat lo kayak gini, gue juga nggak suka kalau lo ngehindarin gue kayak gini. Bisa kita bicarain masalahnya?"

"Enggak ada masalah."

"Kalau nggak ada masalah, lo nggak bakal bilang tentang 'sadar diri' lo tadi." Anan melepaskan tangan Friki, kini meremas jari kelingkingnya. "Gue ada salah?"

"Enggak." Friki menggeleng. "Gue yang salah."

"Friki..."

"Gue salah karena ngira gue bisa sama-sama bareng lo. Gue yang dulu paling sadar diri kalau kita emang nggak cocok, mendadak ngebayangin gimana senengnya gue waktu kita bisa jadian. Tapi kemarin gue baru dihantam kenyataan, kalau gue emang bukan cewek yang pantes buat lo."

"Lo lebih dari pantas! Perlu gue bilangin berapa kali lagi kalau lo punya kelebihan dan hanya gue yang bisa ngelihat kelebihan lo ini? Tentang omongan orang lain? Gue enggak peduli, Frik. Yang gue peduliin cuman lo, bukan mereka."

"Tapi apa yang mereka omongin tentang gue itu bener! Lo lihat gue." Friki menarik napas panjang. "Lihat penampilan gue, terus lihat penampilan lo. Kita beda! Walau gue pakai baju harganya jutaan dan lo cuman pakai baju obral tiga puluh lima, ada perbedaan yang bisa dililhat pakai mata telanjang."

"Gue enggak peduli."

"Tapi gue peduli!" Friki menyentak. "Gue enggak mau sakit lebih dari ini. Cukup sebulan kemarin gue terbang tinggi, sekarang saatnya gue sadar kalau gue emang nggak punya sayap. Lo enggak perlu maksain kalau lo nggak suka sama gue lagi. Ada cewek yang lebih lebih lebih dari gue."

"Gue maunya lo, nggak mau yang lain."

Friki tertawa. Dia mendongak, mengusap matanya lalu kembali menunduk menatap Anan. "Kedekatan lo sama cewek yang gue lihat di kost lo itu udah cukup buat gue sadar kalau kita nggak bisa bareng-bareng."

"Apa sih, Frik? Lo ngomong apa? Cewek apa?"

"Cewek yang lo pegang tangannya waktu gue numpang mandi di kost lo!"

Anan bingung, saat mengingat perempuan mana yang Friki maksud, Anan mengerti. "Itu cuman temen, Friki."

"Temen tapi pegang-pegang tangan?"

"Gue enggak pegang dia."

"Lo pegang jarinya!"

"Tapi enggak seintim gue pegang jari lo kayak gini, kan?" Anan sedikit mengangkat tangannya yang meremas kelingking Friki. "Dia cuman masa lalu, lo masa depan gue."

"Lo tadi bilang dia cuman teman lo, sekarang lo bilang dia masa lalu? Yang mana yang bener? Masa lalu yang bisa jadi masa depan tapi lewat status teman?"

"Enggak gitu." Anan bingung, ingin menyusun kata-kata yang tidak menimbulkan kesalahpahaman lebih lanjut. "Oke. Dia mantan gue-"

"Cantik." Friki menyela.

"Friki." Anan menegur. "Dengerin gue dulu."

Friki mengangguk.

"Dia mantan gue. Dulu, waktu gue masih maba di sini. Dia masa lalu, kita pacaran juga enggak lama. Dia minta buat jadi teman, gue enggak masalah sama itu, gue iyain. Dia datang kemarin ke kost cuman mau tanya tentang tugas lomba dia. Bu Tri pilih dia buat ikut lomba bikin jembatan mini. Gue menang tahun lalu, jadi bu Tri minta dia buat tanya-tanya ke gue. Cuman itu, nggak ada yang lain."

"Namanya siapa?"

"Linda."

"Namanya cewek banget. Enggak kayak gue."

"Ya ampun, Friki." Anan gemas sendiri. "Lo ya lo. Dia ya dia. Lo nggak perlu bandingin diri lo sama dia. Kalian beda-"

"Jelas beda. Gue burik, dia cantik."

"Bisa hilangin insecure lo ini? Gue enggak suka."

"Enggak ada yang minta lo buat suka sama gue."

"Friki." Anan memanggil. "Bisa kita baikan dan mulai nggak bahas dia lagi?"

"Enggak. Dia masa lalu lo."

"Karena dia masa lalu, harusnya kita lupain."

"Dia masa lalu! Bukan masa lalu sembarang orang, tapi masa lalu lo! Cowok yang dia sendiri bilang saking pendiamnya nggak berani buka obrolan bareng teman-teman kelasnya, yang saking pemalunya selalu nunduk dan ngehindari tatapan mata orang dengan pakai topi setiap hari, yang nggak pernah gubris cewek-cewek yang nyapa dia setiap hari. Siapa yang bakal percaya kalau gue bilang cowok ini pernah punya mantan yang cantiknya kebangetan?!"

"Dia masa lalu! Gue kenal dia itu juga karena kebetulan kita di kelas yang sama. Cuman sekali. Setelah semester kelar, gue enggak lagi berhubungan sama dia lagi."

"Enggak berhubungan tapi dia dengan berani nyamperin lo di kost-an lo?"

Anan menunduk, menumpukan dahinya di lutut Friki. "Cukup percaya sama gue. Dia masa lalu. Yang gue suka lo, bukan dia. Bisa kita berhenti bahas ini dan mulai lihat ke depan? Kita bisa realisasiin apa yang lo bayangin tadi?"

"Apa?"

Anan mendongak, tersenyum manis. "Lo yang bayangin kita jadian."

"Berani lo?" Friki berwajah masam. "Setelah kita bahas mantan lo yang cantiknya ngalahin miss koreya, lo berani tanya gitu ke gue?"

Beauty and the Beast (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang