1 - Friki si cewek tulen

89 12 0
                                    

Friki keluar dari kelas, menggaruk lengan yang kemejanya dia singsingkan sampai siku, memperlihatkan belang yang terlalu terlihat di kulit coklatnya. Dia meringis, beralih menggaruk rambut kucelnya yang dia ikat asal. Lalu dia menguap lebar, berdiri di tengah pintu kelas sambil merenggangkan kedua tangannya tinggi-tinggi, tidak peduli meski orang yang berjalan dibelakangnya menyenggol pundaknya berkali-kali untuk lewat.

"Frik!" Seseorang memanggil.

Friki menoleh, senyumnya melebar, memperlihatkan gigi kusamnya dengan satu gingsul di bagian kiri. "Eh, nyonya. Udah kangen aja, nih?"

Orang yang tadi memanggil mendengus, dia melambaikan tangan, meminta Frika mendekat. "Cepet sini! Berdiri di depan kelas kayak nggak punya dosa aja lo. Noh! Dibelakang lo banyak orang yang mau lewat."

Friki menoleh, lalu nyengir. "Maafkan hamba paduka pangeran dan putri."

"Cepet sini!"

Friki ngacir. Dengan perut buncitnya yang hampir terlihat karena dia mengangkat tangannya sambil berlari, hendak memeluk teman satu kostnya ini. "AAA... AYANG AKU! FRIKI KANGEN PADAMU!"

Bukannya ikut merentangkan tangan, Inul malah menghindar, memepetkan diri memeluk tiang gedung. "Jangan peluk-peluk, ih! Ini di kampus!"

Lagi-lagi Friki nyengir. Dia berhenti dihadapan Inul. "Ada apa manggil gue, Nul?"

Sebenarnya nama Inul itu bukan Inul, aslinya Indah Nur Laswardi, tapi semua orang mulai memanggilnya Inul saat Friki memanggilnya begitu.

Menarik tangan Inul, Friki menggandengnya, berjalan melewati koridor. Niat Friki ingin menaruh lengannya di leher Inul, tapi apa daya? Tinggi badannya bahkan hanya sebatas telinga Inul aja.

"Lo ada kelas nggak nanti?" Tanya Inul.

"Bentar, gue inget-inget dulu." Bola mata Friki melirik ke atas, seolah berpikir. Lalu dia mencetuk sedetik kemudian dengan enteng. "Gue ada kuis jam sebelas."

Inul melirik jam tangan, lalu berhenti berjalan. Dia melotot sambil memukul perut buncit Friki. "INI UDAH JAM SETENGAH SEBELAS!"

"Nggak usah teriak-teriak, nyonya." Friki menarik lengan Inul lagi, menyeretnya berjalan. "Masih ada waktu buat makan."

"Kelas apa?"

"Mekanika."

"MATI LO!" Inul berteriak lagi, kali ini lebih keras. "MEKANIKA SUSAH!"

"YANG BILANG GAMPANG SIAPA?!" Friki balas berteriak, lalu kembali menarik lengan Inul, berjalan cepat. "Gue juga tau kali kalau mekanika susah. Cuman nyi roro kidul aja yang bilang gampang."

"Tau dari mana kalau nyi roro kidul bilang gampang?"

Friki menepuk dadanya dramatis. "Gue tau dari lubuk hati gue yang paling dalam."

Kali ini Inul memukul lengan bantet Friki. "Nggak lucu."

"Gue ketemu sama nyi roro aja nggak pernah, anjir!" Melepaskan rangkulan lengannya, Friki mengelus lengannya yang nyeri. "Tapi keknya cuman makhluk immortal aja yang mikir kalau mekanika gampang."

"Hn." Inul berdeham menyetujui. "Makhluk biasa kayak kita itu normal kalau dapat nilai jelek di mekanika."

Mereka berbelok, masuk ke lingkup kantin. Bukannya memesan, mereka malah duduk di kursi.

"Mau makan apa lo?" Tanya Friki, dia mengedarkan pandangan, meneliti satu-persatu warung yang buka hari ini.

"Bakso sama es lemon."

Friki diam, menyiapkan diri, dia menarik napas panjang, lalu dihembuskannya perlahan sambil berteriak. "BANG ANDUL BAKSO TIGA YANG DUA KOSONGAN SAMA ES LEMON DUA YA!"

Andul melongok di sela gerobak baksonya, lalu mengacungkan kedua jempol sambil memberi senyuman riang. "Siap, neng!"

Selesai memesan, Friki tersenyum. Menyengir tanpa dosa saat Inul yang duduk di depannya menutup kedua telinganya dengan tangan. "Nggak usah lebay lo. Teriakan gue nggak semembahana itu."

"Teriakan lo selalu membahana." Laki-laki dengan fisik yang tidak jauh dari Friki namun memiliki tubuh yang menjulang duduk di sampingnya. Dia menepuk telinga kiri, menghilangkan rasa berdengung. "Kalau lo lulus nanti, gue yakin ada setengah angkatan kita yang mendadak tuli dengar teriakan lo."

"Berisik."

"Pesenin gue dong, bakso satu sama teh anget."

"Lo bisa pesan sendiri."

Londok nyengir. "Kan lo bisa teriak."

Friki bersiap teriak lagi, namun Inul sudah berdiri. Berjalan dengan penuh napsu menuju gerobak bakso. Menyampaikan pesanan Londok dan kembali dengan nampan berisi tiga bakso dan dua es lemon.

Londok legirangan saat Inul datang. "Bakso gue udah datang aja. Cepet banget."

Londok hendak mengambil satu bakso di nampan, tapi Friki keburu menampik tangannya. "Nggak usah macem-macem lo. Punya gue ini."

"Yakin dua mangkok bisa abis?"

"Bisa." Friki mengambil dua bakso tanpa mie, menjadikannya menjadi satu dan menuangkan sambal. "Perut gue kan gede, jadi butuh asupan."

"Perut gede juga lambung lo sama kayak kita." Inul menanggapi. Dengan anggun dia memasukkan bakso yang sudah dia potong ke dalam mulutnya. Berhati-hati agar kuah bakso tidak melubar sampai ke bibir, bisa heboh dia nanti kalau lipstik yang dia pakai malah pudar.

Londok yang menunggu pesanannya datang, bertompang dagu. Menatap Inul. "Makan lo anggun banget." Lalu pada Friki. "Nggak kayak dia."

Friki menoleh dengan dua bakso yang memenuhi mulut, membuat pipinya semakin tembam, seperti tupai yang menyimpan kacangnya di mulut. Friki membuka mulut, hendak menyahut, tapi untuk menghindari kejadian yang mengenaskan di mana bakso yang Friki kunyah terciprat ke meja dan mengurangi napsu makan Inul, Londok berbaik hati menutup mulut teman gempalnya. "Makan nggak boleh disambil ngomong."

"Ghu-hek hanti hanbdgun-handhkgun klhubh." Friki berbicara tak jelas dibalik tangan Londok.

"Howokhowokhowok owok wok wokk." Londok malah mengejek, mendapat cipratan bakso yang Friki sengaja. Membuat Londok memekik histeris dan menjauhkan tangannya dari mulut Friki, dia mengusap telapak tangannya di kemeja yang Friki pakai. "Jijay lo, anjir! Cewek kok kayak gini, sih?!"

Dibalik Londok yang mencak-mencak, ada Inul yang tersedak karena tertawa terbahak.

Setelah menelan baksonya, Friki nyengir. "Siapa suruh lo bekap mulut gue, udah tau lagi makan juga."

Londok ngedumel. Selesai mengelap tangannya di baju Friki, dia berdiri, hendak cuci tangan dan mengambil pesanannya yang belum juga datang. Saat dia kembali, mangkuk Friki sudah tandas, es lemon pesanannya juga habis. Sang pemilik malah bersandar di tembok dengan gigi mengeletuk es batu.

Londok terperangah. "Yakin lo cewek? Udah cek ke rumah sakit belum? Kok gue sangsi ya kalau lo cewek tulen."

Lagi-lagi, Friki nyengir. Dia menepuk dadanya tanpa malu. "Lo nggak lihat dada semok gue ini?"

"Tangan, heh!" Inul yang melotot ngeri, melirik Londok dan Friki bergantian. Dia mendesis pada Friki. "Ada cowok juga."

"Cowok? Siapa?" Friki sok celingukan. Lalu dia menunjuk Londok. "Dia? Cowok? Yakin?"

Sambil mengunyah baksonya, Londok melotot. "Lo pikir gue cewek?"

Menunjuk Londok dari atas sampai bawah, Friki menggeleng sok prihatin. "Lo nggak terdeteksi."

Inul tertawa. Londok tersedak berdiri dari tempatnya duduk, hendak mencak-mencak pada Friki yang terbahak. Belum juga Londok mendampratnya, Friki sudah kabur duluan. Meninggalkan sosok yang berdiri di belakang Friki dengan nampan berisi bakso dan es teh yang belum tersentuh. Matanya yang hampir tertutupi topi yang dia pakai mengikuti punggung Friki yang menjauh. Dia mendesah pelan. "Baru juga mau gabung."

Beauty and the Beast (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang