Didim yang sedang ngopi di depan kost terperangah saat Anan pulang. Bibirnya terbuka lebar, gelas yang berisi kopi kesukaannya tertumpah sedikit ke lantai, pandangan matanya menjurus pada Anan yang memakai pakaian aneh, ditambah dengan senyuman yang tak pudar sedari tadi. "Kenapa lo?"
Dia tidak ada kelas hari ini. Jadi kegiatannya hanya merebahkan diri di kamar, mengerjakan tugas dan ngopi santai. Jadi, Didim tidak tau kabar terbaru yang ada di kampus. Dia juga tidak memegang ponsel sejak siang tadi, membuat Didim semakin bingung dengan kelakuan satu orang absurd ini.
"Heh, ditanya juga." Didim menyentak. Menunggu Anan melepas helmnya dengan hati-hati, tidak membiarkan tatanan rambut palsunya berantakan. "Ikut ke-cosplay di mana lo?"
Anan turun dari motor, dia menjawab sambil nyengir. "Kampus."
"Ada kontes pepsodent?"
"Hm?"
"Gigi lo keliatan terus dari tadi." Didim menjawab kebingungan Anan. "Menang, nggak?"
"Menang." Anan melepas sepatu dan menaruh sepatunya di rak kayu paling atas. "Dapat peluk lagi."
Kali ini Didim yang bingung. "Apa ini? Gue ketinggalan apa ini? Ada kontes peluk gratis di kampus?"
"Ada yang kayak gitu?"
"Biasanya di drama kebanyakan."
Anan mendengus, tapi senyumnya masih bertahan. "Nggak ada kontes, bang. Iseng aja pengin pakai baju ini."
"Pakai baju kek gini ke kampus?"
Anan bersandar di dinding. Melirik kopi yang Didim pegang sedikit tumpah. "Taruh dulu kopi lo, bang."
Didim menurut. "Yakin lo nggak ada acara dadakan di kampus? Lo nggak dipaksa dandan kayak gini, kan?"
"Ini kemauan gue sendiri, bang. Nggak ada acara dadakan juga di kampus. Terus, gue kan cuman ada kelas pagi. Kelas pagi gue pakai baju biasa, pas sore ke kampus lagi pakai baju ini."
Didim memiringkan kepala. "Buat apa?"
"Buat dapat pelukan plus model khusus dadakan." Anan mengingat saat dia menuruti setiap perintah Friki dalam berpose untuk dipotret. Katanya untuk koleksi. Anan tidak menolak, malah menyambut dengan gembira.
Didim tertawa aneh, dia menggaruk kening. "Gue nggak tau maksud lo. Tapi syukur, deh. Lo bisa sebahagia ini."
Anan ikut tertawa.
Teru, anak kost semester satu yang paling muda di antara mereka yang kost di sana, terpaku saat baru menurunkan standart motornya. Masih dengan helm di kepala, Teru mendekat ke Didim. Jarinya menunjuk Anan yang masih menampilkan senyum.
"Kenapa? Kaget lo lihat Anan habis nge-cosplay?" Tanya Didim melihat tingkah Teru.
Teru menggeleng. "Kalau soal itu, gue nggak kaget. Gue udah lihat tadi aksi dia di taman, bang." Teru meneguk ludah. "Yang gue kageti, bang Anan bisa senyum kayak gini ternyata."
Anan kesal, tapi dia tetap tersenyum. Didim sudah heboh sendiri. "AKSI APAAN INI? NGGAK MASUK KAMPUS SEHARI, KETINGGALAN APAAN GUE?!"
Teru menceritakan kejadian tadi pada Didim. Tidak ingin mendapat teriakan lagi dari Didim, Anan memilih undur diri. Menepuk pundak Teru prihatin dan masuk ke kost. Meninggalkan Teru yang lagi-lagi terpaku mendapat sapaan luar biasa dari Anan.
Teru sok-sok mengusap bawah matanya. "Hampir satu semester gue di sini, baru kali ini gue dapat kontak fisik menyentuh kayak gini dari bang Anan."
"Tiga tahun gue satu kost sama dia, kamar gue juga sebelahan sama dia, nggak pernah gue dapat tepukan pundak kayak gitu dari Anan." Didim ikut menimpali sambil mengusap mata, sok menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Beast (END)
NouvellesFriki, mahasiswi jurusan Arsitek berperut buncit dan berperilaku freak, memiliki selera humor di bawah rata-rata dan selalu nyengir kapanpun dan dimanapun. Dia tidak memperhatikan masalah penampilan, memakai celana pendek selutut dan kaos polos ke k...