Suara klakson mobil berkali-kali bunyi di depan rumah seorang gadis bernama Allena Elvaretha Adythea. Suara yang sudah tidak asing terdengar setiap pagi ketika Allena terlambat bangun tidur. Sebenarnya Allena bukanlah gadis malas yang susah bangun jika sudah menyatu dengan kasur, Allena justru termasuk anak yang pintar di SMA Trimulia. Gadis kelas XII SMA itu sebentar lagi akan melaksanakan ujian, itulah yang membuat jiwa belajarnya membara sehingga Ia rela bergadang semalaman.
"Allena, ayo buruan!" pekik Sabrina dengan toanya yang wajib dibawa untuk membangunkan seorang Allena.
Tetangga-tetangga di sana sudah tidak asing dengan teriakan Sabrina Alexandra si gadis cantik, centil dan manja. Sabrina adalah sahabat Allena sejak Ia duduk di bangku SD. Mereka berdua memang berbeda, Sabrina lahir dari keluarga kaya raya sedangkan Allena lahir dari keluarga sederhana.
Ayah Allena hanyalah seorang karyawan biasa di sebuah kantor, tentu tidak sekaya Sabrina yang Ibunya memiliki perusahaan besar. Walaupun Ia lahir dari keluarga sederhana, namun Ia selalu bersyukur karena hidupnya tidak berkekurangan.
"Astaga, udah jam 06:40? mampus gue!" pekik Allena yang tambah panik mendengar suara klakson mobil Sabrina
Dengan segera Ia lompat dari tempat tidur dan bergegas mandi. Tidak perlu waktu lama, 5 menit sudah cukup untuk Allena mandi jika kondisinya mendesak. Tidak seperti gadis-gadis lain pada umumnya yang kalau berangkat sekolah harus dandan cantik. Sisir rambut dan sedikit lipbalm sudah cukup untuk gadis sederhana itu.
Saat Allena hendak melangkahkan kaki keluar kamar, Ia mendapati salah satu post it yang tertempel di dindingnya terjatuh. Ia bergegas mengambil dan menempelkan kembali post it itu. Post it yang bertuliskan "My first love is Dad" itu adalah tulisan pertama yang Ia tulis di Post it waktu Ia berusia 6 tahun. Tulisan sederhana itu bisa menggambarkan seberapa sayangnya Ia pada Ayahnya, Pramono Adythea.
Setelah Ia menempelkan Post it, dengan segera Ia mengambil tasnya dan keluar dari kamar menuju ruang makan.
"Lo kenapa nggak bangunin gue sih, Kak?" tanya Allena pada Joan Adythe, Kakak laki-lakinya yang memiliki sikap dingin.
"Apaan sih? orang lagi makan juga! Lagian lo udah gede, ngapain mau dibangunin segala?" jawabnya ketus
"Ya udah, nggak usah marah-marah kali Kak"
"Selamat pagi" ucap Ayah Allena seraya duduk di bangku meja makan.
"Oh iya Joan, kamu--" belum selesai Ayahnya berbicara, Joan sudah pamit kepada Ibunya dan pergi meninggalkan meja makan.
Mereka sudah tidak heran dengan sikap Joan. Allena pun mendekati Ayahnya seraya mengelus pundaknya. Allena selalu menjadi penengah antara Ayah dan Kakaknya. Ia yang selalu meyakinkan Ayahnya supaya tidak sedih dengan sikap Joan.
"Ayo sarapan dulu Al, nanti keburu dingin" ucap Ibunya, Lina
"Nggak deh Ma, Sabrina udah nunggu di depan. Aku berangkat dulu ya, i love you Ma, Pa" Allena mengecup pipi kedua orangtuanya
"Yaudah, hati-hati ya"
Allena sebenarnya sedih dengan sikap Kakaknya, tapi Ia tidak pernah mau menunjukan kesedihannya di depan Ayah dan Ibunya. Allena memang anak bungsu, tapi Ia selalu mencoba mandiri dan tangguh. Allena juga dikenal sebagai anak yang jail dan aktif di manapun Ia berada.
"Aduh, sorry Sab, jam berapa sekarang?" tanya Allena panik
"Waktu kita sisa 10 menit, buruan masuk"
Sebenarnya Allena punya motor vespa yang dibelikan Ayahnya, tapi Sabrina selalu memaksa Allena untuk berangkat sekolah bersamanya. Ayahnya Allena juga punya mobil, tapi mobil itu adalah mobil untuk kerja pemberian atasan Ayahnya.
"Pagi Nek Ijah"
"Bang Yono, gimana burung abang? udah sehat belum"
"Kang Ujang! dicariin sama Nek Ijah tuh! Haha"
"Selamat pagi Bi Sul cantik"
Sapa Allena pada semua tetangga-tetangganya. Kejailan yang sering Ia lakukan setiap pagi itupun sudah tidak diherankan lagi oleh semua tetangganya. Bi Sulisna saja dipanggil Bi Sul oleh Allena, begitu juga dengan burungnya Bang Yono, burung Beo peliharaan Bang Yono yang sering Allena beri makan.
****
Mereka pun sampai di sekolah dengan waktu 3 menit sebelum bel masuk akan dibunyikan. Allena melangkahkan kakinya keluar dari mobil, memandangi sekeliling pemandangan SMA Trimulia, Jakarta yang dipenuhi dengan murid yang kaya raya. Walaupun tempat ini sudah tidak asing baginya karena Ia telah bersekolah di sana kurang lebih 3 tahun, tetap saja sering kali Ia merasa insecure. Jika gadis sederhana dipertemukan dengan kaum-kaum elit, pasti akan ciut juga. Meski begitu, Ia bersyukur bisa masuk ke sekolah ini karena kerja keras Ayahnya.
"Eh bentar Sab, hp gue ketinggalan di mobil lo. Lo duluan aja"
"Ya udah gue duluan ya"
Allena berlari ke parkiran mobil dan segera mengambil hpnya. Sesudah Ia mengambil hpnya, Ia bergegas pergi dari parkiran. Langkahnya terhenti di tengah jalan saat ada yang menelfonnya. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari belakang, mobil itu nyaris menabrak Allena, untungnya Ia sempat menghindar.
"Woi orang gila! lo nggak punya mata ya?" pekik Allena
Mobil mewah itu tetap melesat dengan cepat tanpa berhenti. Allena memejamkan matanya dan sesekali menghelahkan nafas.
"Sabar Allena, sabar... jangan marah" kata Allena pada dirinya sendiri sembari mengelus dadanya
Saat Ia membuka matanya, seorang cowok menempelkan uang seribu rupiah di jidat Allena dengan keras. Ia adalah Arkasa Pradiktario, siswa kelas XII IPA 1, murid pindahan dari Bandung yang baru bersekolah di SMA Trimulia selama 1 bulan.
Karena Allena adalah murid jurusan IPS, Ia tidak terlalu mengenal murid-murid jurusan IPA apalagi dengan Arkasa yang baru 1 bulan bersekolah di sini. Yang Ia tau, cowok ini berteman dengan geng cowok di kelasnya. Berbeda dengan siswi-siswi SMA Trimulia yang tergila-gila pada Arkasa, Allena justru tidak pernah peduli siapa dirinya.
"Lain kali jadi tukang parkir yang bener!" Arkasa mendekatkan wajahnya ke wajah Allena lalu pergi begitu saja
Arkasa bukannya tidak tau bahwa Allena adalah murid di sekolah ini, karena terlihat jelas dari seragam yang dikenakan Allena. Ia memang sengaja melakukan hal itu karena baginya apapun yang terjadi, dirinya tidak pernah salah.
"Kurang ajar lo! gue bukan tukang parkir! lo nggak liat gue pakai seragam? Lagian sekarang duit seribu mana cukup buat parkir! goblok!" pekik Allena kesal
"Woi denger nggak lo? selain buta lo tuli juga ya?" tambahnya
Arkasa yang tidak mengenal Allena itu pun terus berjalan tanpa menghiraukannya. Allena memang anak baik-baik yang tidak pernah membuat masalah, tapi Ia tidak terima jika dirinya direndahkan oleh seorang cowok.
Hal itu membuat Allena semakin kesal, Ia melepaskan sepatunya kemudian meleparnya tepat di kepala Arkasa. Lemparan Allena berhasil membuat Arkasa berhenti dan berbalik badan. Arkasa mengepalkan tangannya seraya menatap Allena sinis.
Sejenak Allena tertawa berbahak-bahak karena bangga dengan lemparannya.
"Haha! rasain lo! makanya orang ngomong itu didenger!" pekik Allena
"Oh, mau mulai masalah? oke" batin Arkasa
Ia menatap sepatu itu dan mengambilnya, tanpa basa basi Arkasa melempar sepatu itu ke dalam semak-semak kemudian pergi begitu saja.
Seketika tawa Allena berubah menjadi kepanikan untuknya.
"Sepatu gue?!"
"Setan!"
---
A/N:
Sekian dari part 1, semoga kalian suka dengan part awalnya dan tentu juga part seterusnya. Kalau suka boleh di share di instagram atau media sosial lainnya ya. Jangan lupa di vote juga :)
Jika ada kritik ,saran dan typo tolong sampaikan di komen ya. Sebagai bahan evaluasi di part selanjutnya.
Thankyou and See you next part ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Man After Dad
Teen Fiction[ JANGAN LUPA FOLLOW YA] Kisah ini tentang Allena Elvaretha Adythea, seorang gadis SMA yang memiliki kepribadian sederhana, mandiri dan tangguh bahkan semua citra baik melekat pada dirinya. Seketika hidupnya berubah total ketika dirinya semakin tahu...