09 - Dewasa

2 1 0
                                    

Langit kota Jakarta saat itu sudah tampak gelap. Suara gemuruh petir kian detik kian nyaring. Allena kini tengah berada dalam satu ruangan dengan Joan, yaitu ruangan di mana Ibunya dirawat. Keheningan kian merebak diantara mereka berdua. Joan tengah asik menatap layar handphone. Sedangkan Allena hanya duduk termenung di sofa. Pandangan Allena yang awalnya kosong kini terarah ke Joan. Dalam hatinya banyak sekali pertanyaan yang ingin Ia sampaikan kepada sang Kakak, terutama tentang Ayahnya.

Allena memejamkan kedua matanya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Allena membuka kedua kelopak matanya. Kini Ia memberanikan diri, Allena melangkahkan kakinya menghampiri Kakaknya dengan gugup. Takut dirinya tak mau didengarkan oleh Kakaknya. Belum sempat Allena membuka suara menyapa Kakaknya. Seorang dokter yang merawat Ibunya masuk ke dalam ruangan. Lagi-lagi pertanyaan Allena harus tertunda

"Selamat malam, bisa saya bicara dengan kalian?" tanya seorang Dokter

"Iya, kenapa Dok?" balas Joan

"Mengenai kondisi Ibu Linda, saya harap jangan sampai ada hal besar yang membuatnya panik atau terkejut. Karena jika hal itu terjadi, tidak menutup kemungkinan beliau mengalami serangan jantung berat"

"Baik Dok, makasih" jawab Joan

"Saya permisi" dokter meninggalkan ruangan

Mendadak rintik hujan mulai turun di luar sana. Bersamaan juga, air mata Allena mengalir dari matanya. Kini yang Ia inginkan adalah menangis di dalam dekapan seseorang. Berharap Kakak laki-lakinya itu menariknya ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya dan berkata semua akan baik-baik saja.  Namun semua itu hanya mimpi untuk Allena. Jangankan untuk melakukan hal itu, mata Joan bahkan tidak mengarah ke arah Allena.

Dirinya terduduk di sofa, menyeka air matanya. Gadis itu berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Allena kemudian meraih tasnya yang ada di atas meja. Ia mengeluarkan handphone-nya, dan mendapati 20 panggilan tak terjawab dan 10 pesan yang belum dibaca dari Sabrina. Segera Ia menghubungi kembali sahabatnya itu

"Hallo Al, lo dimana? lo nggak kenapa-kenapa kan? lo kok nggak masuk hari ini dan nggak ngabarin gue sih?" tanya Sabrina beruntun ketika mengangkat telpon dari Allena

"Iya-iya, satu-satu Sab nanyanya" balas Allena dengan suara terdengar lelah

"Lo kenapa?"

"Nyokap gue masuk rumah sakit tadi pagi. Gue panik banget jadi gue nggak ada kepikiran buat megang hp sama sekali"

"Hah? sekarang gimana kondisi tante Linda?"

"Nyokap udah membaik kok, besok pagi udah boleh pulang. Bokap sama Kakak gue yang nemenin Nyokap pulang, jadi gue bisa masuk sekolah"

"Bagus deh kalau gitu. Lo yang tenang ya, jangan banyak pikiran"

"Iya, gue baik-baik aja kok. Udah dulu ya" balas Allena

"Oke, Bye. See you"

Terdengar suara decitan pintu yang mengalihkan pandangan Allena dan Joan ke arah pintu. Terlihat Ayahnya memasuki ruangan dengan kantong kresek yang tertenteng di tangannya. Kehadiran Ayahnya tetap tidak mengubah apapun. Suasana ruangan tetap hening. Tak ada satu pun diantara Allena dan Joan yang mengeluarkan sepatah kata pun. Allena mengalihkan pandangan dari Ayahnya, kepalanya tertunduk ke bawah. Begitu juga dengan Joan yang memilih untuk tidur.

"Al, Joan. Papa bawain kalian nasi uduk dan martabak manis nih, dimakan ya. Papa juga beliin mama buah" Ayahnya menaruh semua kantong itu ke atas meja

"Aku nggak lapar" jawab Joan tanpa membuka kedua kelopak matanya

"Aku juga" sahut Allena

"Yasudah, Papa tunggu kalian. Kita makan sama-sama"

Ayahnya kemudian duduk di sisi kanan Allena. Ia memalingkan wajahnya ke arah putrinya yang duduk termenung. Setelah menatap putrinya, Ia melayangkan pandangannya ke arah Joan yang sedang tertidur lelap. Mata seorang Ayah itu kini tampak berkaca-kaca. Di tengah keheningan yang merebak. Terdengar bunyi perut yang keroncongan dari Ayah Allena. Pria itu memegang perutnya menahan lapar. Suara perut kelaparan Ayahnya membuat pandangan Allena teralih ke arah Ayahnya.

A Man After DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang