Bab 2

1.2K 172 69
                                    

Nasi telah menjadi bubur. Dosa terlaksana dan kini Ino siap menanggung hukuman. Tidak ada lagi bahasa kelembutan, senyum yang teduh, apalagi perhatian hangat seperti hari-hari di saat dia dan suaminya tengah bersama-sama. Ingin mendapat pembelaan dari siapa? Kenyataan itu datang karena ulahnya sendiri, dia yang tidak berhati-hati. Kendati Kakashi Hatake merupakan keluarga, tapi dia tetaplah seorang pria. Pria kesepian gemar bermain dengan banyak wanita.

Koper yang dipenuhi pakaian-pakaian miliknya dia geret perlahan menuruni anak tangga. Semua pelayan menunggu di bawah dengan ragam tatapan memprihatinkan; ada yang kecewa, ada pula yang terlihat geram. Tentu mereka semua turut merasakan kesedihan serupa atas pengkhianatan paling mengejutkan, bahkan tidak pula pernah diduga-duga. Mereka tahu betul seberapa idealnya Tuan dan Nyonya di rumah itu, indah dan serasi bagaikan siang dan malam.

Matanya menelusuri penjuru ruang, mengulang kenangan di setiap sisi.  Sejenak atensinya terpaut di sofa besar berwarna burgundy di seberang tv layar datar,  merupakan saksi mati seluruh kemesraan mereka. Di ambang pintu utama, Ino mendapati bayangan dirinya tengah dibopong oleh sang suami, lengkap dengan pakaian pengantin.

Selamat datang di rumah kita, Ino. Embusan napasnya berbunyi cukup keras gara-gara penggalan kata tersebut menegur ingatannya. "Aku akan kembali, Naru. Kau sangat mencintaiku, aku tahu itu."

"Bibi, Aku minta maaf atas peristiwa kemarin."  Perlakuan istimewa yang pernah dia dapatkan dari Bibi Ayame, mau tak mau mendorong Ino untuk menaruh rasa hormatnya pada si kepala pelayan itu.

"Saya tidak berhak menerima itu dari Anda. Entah ujian apa yang menimpa Tuan muda, sepantasnya maaf itu Anda tujukan kepadanya, Nyonya." Pandangnya menurun, sengaja mengalihkan perhatian dari raut tak terbaca di hadapannya. "Semoga Anda bisa belajar dari kesalahan ini dan mau memperbaikinya." Bibi Ayame membungkuk sebentar. Tak tahu ekspresi jemu yang sedang dipampangkan Ino, maniknya berotasi seiring dia mengerang keras.

Enggan berlama-lama berdiri di depan para pelayan, dia pun melebarkan langkah meninggalkan keheningan di sana. Tiada kata perpisahan, melainkan semua pasang mata mengamati kepergiannya bersama ragam asumsi.

Tungkainya menapaki halaman dengan tenang, menghampiri taksi yang lebih dahulu menunggunya di muka gerbang. Ino memilih langsung duduk di kursi penumpang, mengenakan kacamata hitamnya sebelum mengawasi gedung yang sejak tiga tahun belakangan dia tempati.

"Kita lihat saja, kau bakal menjemputku pulang. Aku bisa memastikannya!"

-----

"Hei hei hei, hentikan itu! Kau minum anggur di pagi hari?" Dua botol anggur di atas meja kerja, Shikamaru terkejut menemukan minuman beralkohol itu saat dia baru saja masuk ke ruang pimpinan. "Ayo, duduklah! Tenangkan dirimu. Bakal merugikan jika sikapmu seperti ini. Bukan cuma terhadap dirimu, tapi juga perusahaan kita."

"Jadi aku harus apa? Astaga...! Dia yang kupercaya, selalu kurindukan kehadirannya, dia yang tidak pernah hilang dari pikiranku, kau lihat apa yang sudah dia perbuat? Dia tidur dengan pamanku, bajingan tua itu menghancurkan kebahagiaanku." Mudah sekali kepedihan terpancing, akibat tidak tahu cara apa yang ampuh digunakan untuk menghapus jejak perselingkuhan kejam dari dalam benaknya. Tak lelah-lelahnya Naruto meraung, menyesalkan nasib yang mencurangi. Keningnya menempel di permukaan meja, berikut sebelah lengannya sebagai alas dan bisa diamati bagaimana tangisan menyebabkan tubuhnya bergetar.

"Takdir yang menginginkan peristiwa ini. Kau boleh meratapinya, tapi bukan untuk menetapkan dirimu di ruang kekecewaan. Kau harus segera bangkit, masa depanmu tidak habis hanya di sini. Aku percaya, kelak akan ada hari-hari bahagia menyambutmu."

"Aku tidak yakin." Jawaban itu parau, jelas mengiris hati bagi pendengar.

"Kau salah. Aku mengenalmu, lebih dari siapapun. Kau tidak mungkin menghancurkan dirimu, impianmu, kenang-kenangan dari keluargamu, jeri payah ayah dan kakekmu, apa kau siap mengorbankan semuanya?"

"YA! Keburukan apalagi yang datang nantinya. Kau tidak mengerti sakit yang kuterima, bisa membekas dalam waktu lama. Aku merasa kalah dan terhina." Shikamaru menyorot prihatin. Sesaat dia terdiam, mengamati sosok teman karibnya dengan kesenduan serupa.

-----

Bimbang menekan niat Ino untuk masuk ke dalam, menimbang-nimbang alasan logis yang sekira dapat melindungi dia dari rentetan tanya orangtua tunggalnya. Mustahil berkata jujur, mengumumkan kedatangan akibat reaksi keras Naruto terhadap perselingkuhan yang dia perbuat.

Amat memalukan saat ibunya menertawai, bahkan mungkin tak sungkan memaki-maki.

Untuk ke sekian kali dia mendesau kesal, sedikit menyesali ketidakbecusannya dalam mengontrol diri. Naruto sosok yang baik, mendekati sempurna seperti idaman para wanita. Dia tampan, kaya, penuh perhatian dan paling utama adalah pria itu mencintai dirinya. 

Kau yakin suamimu setia? Mengencani beberapa wanita seksi bukanlah masalah bagi pebisnis. Aku ragu dia dapat menahan libidonya selama dua bulan. Pria yang sudah menikah lebih berbahaya daripada bujangan, kau mengerti? Makin sulit menjinakkan gairah.

Kalimat sekian merupakan bujuk rayu nan merasuki Ino. Alkohol pula sedikit berperan melenakan kewarasan. Mudah sekali bagi Kakashi menundukkan istri si keponakan. Hanya butuh sehari dan wanita berparas manis itu bersedia menyerahkan diri sepenuhnya. Bukan satu dua kesempatan, mereka menelan kenikmatan di setiap hasrat yang menggebu seolah nafsu telah mengambil alih kuasa. 

"Apa yang kupikirkan? Aku hanya perlu merebut hatinya lagi. Dia tidak akan segampang itu melupakanku, tapi aku harus bersabar sampai dia memaafkan." Menyemangati diri demi sebentuk pertahanan, dia membangun kekuatan agar siap menghadapi respons yang dapat dicetuskan ibunya. Berujung Ino mengangkat langkah hingga ke pintu, menangkap bunyi bel yang ditekan sebagai pengiring kemunculan ibunya.

"Ino, kau pulang? Di mana suamimu?"  Cecar ibunya usai mendapati  koper besar berdiri tegak di samping putrinya. "Kau sendirian?"

"Iya, Bu."

"Apa yang terjadi? Kenapa kau membawa koper? Dan di mana suamimu? Apa dia tahu kau pergi?" Bertubi-tubi cecaran berlanjut dan Ino urung berterus terang, setidaknya menunggu saat pikiran betul-betul lapang. Dia tidak ingin salah bicara, lantas memperkeruh situasi bahkan mampu mengancam eksistensinya.

Mendadak Ino merasa jantungnya berdetak terlampau kencang. Kata-kata sang ibu menjadikan dirinya gugup setengah mati. "Dia sibuk, Bu." Selintas senyum sumbang terukir di parasnya, "Aku rindu suasana rumah. Ehm--aku boleh menginap 'kan Bu?!"

.....

Written by: Laceena & Indigoriri

One Heart SinksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang