Bab 10

815 139 101
                                    

Penghujung minggu ini, dilewati Naruto untuk mengawasi pemindahan semua perabotan yang ada di kamarnya. Minggu lalu rencana memang sudah ada, demi melenyapkan saksi mati serta sisa-sisa peristiwa memalukan yang sempat berlangsung. Berat sekali jika harus menerima dampak buruknya secara terus-menerus. Tak jarang dia dihantui mimpi-mimpi serupa, mengusik kenyamanan di waktu tidur. Lalu, ketika kelopak mata terjaga, maka yang dia temui hanya goresan dalam terhadap harga dirinya oleh tajam pengkhianatan. Harga diri, Naruto Uzumaki tidak akan pernah terima kejatuhan terendah demikian.

"Tuan, Barang-barang ini mau ditaruh di mana?"

"Saya serahkan pada, Bibi. Mau dibuang, dibakar atau diberikan ke orang lain Saya tidak keberatan, asalkan disingkirkan dari pandangan Saya. Kita harus mensucikan kamar ini, Bi. Tidak boleh ada keburukan tertinggal, agar cahaya yang menaunginya pun tidak hilang."

"Tuan pasti bisa melaluinya, tetaplah yakin. Orang baik selalu menemukan kebahagiaan di mana pun." Bibir Naruto melengkung sekadarnya, menanggapi dukungan yang kerap dia dapatkan dari orang-orang di sekitar.

"Maaf, Tuan ... foto ini mau dibuang juga? Apa tidak sayang?" tanya salah seorang petugas pembersihan seraya membawa potret pernikahan Naruto dan Ino.

"Buang saja. Aku tidak perlu menyimpan apa-apa yang berhubungan dengan dia. Bibi mengerti 'kan?" Justru Naruto melirik Bibi Ayame semacam bahasa isyarat, ditanggapi anggukan singkat oleh wanita baya itu.

"Kumpulkan jika kalian menemukan barang-barang sejenis. Sisihkan di satu tempat dan biarkan aku yang mengurusnya."

"Baiklah, Nyonya," sahut si petugas jangka kembali masuk ke kamar guna melanjutkan pekerjaannya.

-----

Padahal sudah lewat beberapa hari ketika dia mabuk luar biasa setelah menghabiskan tiga botol sake dalam semalam. Sampai pagi harinya pun, pendar tak jua hilang. Kemudian, pesan dari Shikamaru beruntun datang dini ponsel dia aktifkan. Beruntung pagi itu adalah weekend dan dia tak perlu memaksakan diri untuk tetap pergi ke kantor. Maka, Naruto putuskan segera merealisasikan tindak renovasi ulang di kamar pribadinya.

Meski dia hanya menjadi pengawas untuk petugas yang disewa, tetap jua sisa lengar menurunkan vitalitasnya. Tanpa pertimbangan, Naruto mengunci diri di ruang kerja demi mengambil satu dua jam lagi waktu istirahatnya. Tak lupa pula menitipkan pengarahannya teruntuk para petugas itu kepada Bibi Ayame selaku kepala pelayan.

Naruto menggerutu, ketika di keesokan hari kondisi dia belum jua kembali normal sepenuhnya. Ini sebentuk pencapaian terbaru, mengingat tubuhnya memiliki kontrol cukup baik terhadap efek minuman beralkohol.

"Tumben pagi-pagi kau kemari?"

"Kebetulan aku lewat sini, kupikir tak ada salahnya untuk singgah sebentar."

Naruto berbohong. Rasa pusing di kepala adalah alasan kuat dia memutar roda setirnya ke arah berlawanan. Sedikit orang tahu mengenai permasalahan yang menimpanya, berarti lebih banyak pula sisa harga dirinya dapat terselamatkan.

"Kopi hitam 'kan?"

"Seperti biasa, Paman. Tapi, tambahkan sedikit gula."

"Ada apalagi? Suasana hatimu sedang buruk?"

"Anggap saja begitu."

"Baiklah. Kau sudah sarapan?"

"Belum, berikan juga sandwich jika ada."

Kafe Black Coffee masih sepi pengunjung. Hanya ada tiga empat orang yang datang guna sekadar mengganjal lambung di pagi ini. Teh atau latte dibarengi sebungkus roti mentega maupun roti lapis.

"Biasakan sarapan untuk mempermudah aktivitasmu seharian." Paman Asuma menginterupsi, dia datang seraya membawa baki berisi kopi dan dua bungkus roti.

"Duduklah bersamaku, Paman. Aku tidak mengganggu pekerjaan, Paman 'kan?" Asuma melirik sejenak ke pergelangannya. "Kedai masih sepi, karyawanmu juga baru datang. Aku hanya ingin sedikit mengobrol."

"Sepenting itu sampai kau mau berbelok di persimpangan menuju ke sini? Tidak mungkin cuma kebetulan lewat."

Naruto terkekeh sungkan sebelum menyesap hati-hati kopi yang disuguhkan. "Aku memang sengaja memutar. Daripada kurang fokus menyetir dan mengancam nyawaku sendiri."

"Sepertinya kau tidak mendapatkan istirahat yang baik."

"Aku mengantuk di tengah jalan tadi. Dua minggu ke depan ada peluncuran produk terbaru. Kami semua bekerja keras hingga larut untuk menyambut hari H, termasuk tim pemasaran yang juga sibuk mempersiapkan promosi besar-besaran."

"Wah, aku turut bangga mendengarnya. Kau pengusaha muda yang sangat hebat."

"Posisiku tidak setinggi itu untuk menuai pujian, Paman. Aku hanya penerus di sini."

"Tidak semua anak seberuntung dirimu. Berkat bakat dan kecerdasan yang kau punya, perusahaan keluargamu maju kian pesat."

Bukan sekali dua kali Naruto menampung sanjungan serupa. Jika dahulu dia akan besar kepala, berbanding terbalik dengan masa sekarang, Naruto Uzumaki bosan ketika orang-orang hanya memuji dia berdasarkan kiprahnya di dunia bisnis. Seakan aplaus itu turut mencibir kekalahan dia di bidang lain, terutama mengenai pernikahannya yang gagal.

"Terima kasih, Paman," tanggapnya. Kendati di dalam hati dia tak lagi akan tersanjung oleh pujian sekian. "Paman, aku ingin tahu soal Hinata. Bagaimana dia?"

"Kupikir kau lebih tahu. Bila maksudmu tentang cara dia bernyanyi, aku bisa bilang suaranya benar-benar bagus. Dia mampu menarik perhatian orang-orang dengan warna suaranya yang lembut dan keahliannya dalam mengatur teknik vokal."

"Hari ini dia datang?"

"Tidak. Dalam seminggu dia bernyanyi dua kali di sini. Sebenarnya, aku menawarkan sebuah kesepakatan padanya. Andai dia mau bernyanyi empat hari, aku siap menambah upahnya menjadi dua kali lipat beserta dua puluh lima persen bonus lembur."

"Dia tidak mau?!"

"Dia gadis berprinsip. Katanya tidak ingin mengecewakan orang-orang yang juga sudah menyediakan kesempatan." Naruto manggut-manggut, merespons tiap pernyataan yang membuat dia kagum. "Kedai ini makin ramai semenjak dia mengisi kekosongan pentas. Aku terkejut dengan perubahan yang dia sebabkan, dalam dua kali penampilannya."

"Hari apa dia tampil?"

"Lusa, kau ingin menontonnya?!"

"Boleh juga. Lagi pula aku tertantang untuk membuktikan ucapan Paman. Dia terdengar begitu memesona di cerita, Paman." Seketika Asuma tergelak main-main.

"Kau pun akan segera mengetahuinya."

-----

"Kita ke mana Tuan Putri?"

"Hentikan itu, Kak!"

"Ok, peri kecilku ingin ke mana? Pengawalmu siap mengantar." Kabuto sengaja menggodanya, bahkan benar-benar agak membungkuk seolah menunjukkan rasa hormat. Sementara, Hinata kontan terbahak. Jemari mungilnya ikut memukul pura-pura ke lengan si pengacara tampan.

"Teruslah tertawa."

"Apa?!"

"Aku senang melihatmu bahagia, Hinata. Tersenyum dan tertawa, boleh kau pertahankan untukku?!"

Hinata tergugu, sedang tak siap menangkap kata-kata manis seperti itu.

"Kakak ... aku tidak suka suasana begini. Ini membuatku--"

"Malu?!" Detik ini juga muka Hinata merengut, berganti gelak ledekan oleh Kabuto. "Jadi, apa benar peri kecilku yang manis ini bisa memaki orang?"

"Kau masih mau membahas masalah itu?! Karena sesungguhnya aku tidak!" Kini memasang raut marah, Hinata bersedekap sambil mengalihkan pandangnya ke depan. Dia lupa bahwa setiap perubahan mimiknya tentu menjadi daya tarik istimewa terhadap si pengacara tampan. Malahan Kabuto tiada menyimpan ketidaksukaan apa pun jika terkait dengan Hinata Hyuuga, si peri kecilnya yang manis.

"Tidak. Kayaknya--aku penasaran dengan varian baru yang sedang promo di kedai es krim langganan kita." Bujukan ini berhasil merebut atensi Hinata, dia menengok.

"Ayo ke sana! Tapi, setelah dari sana Kakak harus mengantarku ke butik Kak Guren."

"Siap Tuan Pu--"

"Jalan, Kak! Atau aku mogok bicara denganmu!"

-----

Written by: Laceena & Indigoriri

One Heart SinksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang