Bab 7

881 142 80
                                    

Sejak Naruto mengusir Ino dari kediamannya, dia memang sengaja tidak menggunakan kamar mereka untuk tempat beristirahat. Terkadang ruang kerja menjadi tempat cadangan, ketika dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah hingga lupa waktu dan berakhir tertidur di situ. Tentu momen di kamar pribadinya menjadi trauma berkepanjangan. Dia terus dihantui potongan adegan kala sang istri menikmati seks panas bersama pria yang tak lain adalah pamannya.

Tetap saja mengelak tak selalu bisa menyelesaikan masalah dengan rapi tanpa dampak apa-apa. Malah seluruh tali saraf-sarafnya memberontak hendak berhenti dari kecamuk siksa pengkhianatan. Dia merasa kecil, begitu tersudut akibat kecurangan demikian. Apakah dia tak cukup baik selama ini atau mungkin dedikasinya selaku suami belum memenuhi gelar yang pantas?

Kebimbangan masih mengikuti, walau kali ini dia sudah meyakinkan diri bahwa adegan mengerikan itu tidak akan menghantui kewarasan. Naruto mempersiapkan diri untuk kembali menempati biliknya, menjemput kenyamanan yang mula-mula selalu dia dapatkan. Tentu kamar sendiri adalah ruang ternyaman bagi setiap individu, setidaknya dia dapat melenyapkan apa-apa saja yang berhubungan dengan istrinya dahulu serta kenangan di antara mereka. 

Runtut pertimbangan itu menekan kesadaran Naruto ke titik terendah, dia lelah dan mengantuk, kontan pula dengan gampang tertidur. Dalam kondisi duduk, dia benar-benar lelap. Kertas-kertas di sekitarnya tiada berpengaruh, dengkuran keras memperlihatkan seberapa nikmat relaksasi itu. Dia bertahan dalam damai hanya di tiga puluh menit, lalu satu jam ke depan.

Serta-merta pernapasan Naruto berubah kacau, naik secara konstan menyesakkan, seakan tenggorokannya dijepit untuk menghalangi jalan udara. Dahinya berkerut menggambarkan reaksi yang tak suka, berbarengan dua tangannya mengepal kencang.

"INO!" Kontan safir terbelalak, ditemani butiran peluh membasahi kening. Raut suramnya datang, jelas betapa geram terhadap hak asasinya yang direnggut secara tak langsung. Momen tak senonoh tersebut praktis menjadi racun di kepala Naruto Uzumaki.

Jerit ratapan bergema di sunyinya dini hari, Naruto meradang pasrah. Butuh masa juga perencanaan matang jikalau dia hendak menyembuhkan luka akal batin maupun mengaburkan noda di kotak memori. Lantas, dia mendesah berat sebanyak kepuasan hasrat. Gulita cendala, tersentak di waktu yang sangat tidak pas, seharusnya dia mampu menghabiskan tiga lipatan jam lagi guna meluruhkan seluruh penat.

-----

"Pagi ... tidurmu nyenyak?" sapa Sang Sekretaris begitu dia masuk ke ruang pimpinan. Sementara, sang direktur tengah bersandar di kursi dengan mata tertutup.

"Tidak."

"Begadang? Apa kendalanya? Seingatku situasi di perusahaan kita masih aman."

"Aku perlu merenovasi ulang kamarku atau malam-malam yang tenang akan hilang selamanya."

"Ide yang bagus, ganti suasana demi menciptakan kenyamanan baru. Aku sepenuhnya mendukung keputusanmu." Shikamaru Nara melipat lengan-lengannya ke dada, mengawasi sejenak wajah murung pimpinannya. "Naruto, kau tidak pernah bilang punya teman seorang penyanyi. Sejak kapan?"

"Teman--penyanyi?"

"Aku dan Temari bertemu dia di Black Cafe. Penyanyi baru, cantik dan masih muda. Paman Asuma bilang dia temanmu." Daripada menambah kalut suasana hati pria yang juga teman karibnya ini, Sang Sekretaris segera mengalihkan pembicaraan mereka.

"Oh, maksudmu Hinata Hyuuga?" Naruto menegakkan punggungnya, "Kutemukan dia di tengah jalan kemarin. Karena kasihan, aku memberinya tumpangan juga--sedikit bantuan."

"Hanya itu? Di tengah jalan? Perempuan secantik itu kau temukan di tengah ... jalan?"

"Dia memang penyanyi, manggung di kafe-kafe atau tempat hiburan semacam. Gadis yang sedikit aneh, berdiri di jalan sambil berteriak seperti orang kerasukan. Kemudian dia menangis setelah membuang sepatunya. Bukan cuma cengeng, dia juga suka memaki orang."

"Kau bersimpati padanya?"

"Simpati apa? Secuil dari rasa kemanusiaan, apakah salah?"

"Ini tidak kebiasaanmu, Naruto. Kau tidak akan mau repot-repot mengurusi masalah orang lain. Aku ragu saat Paman Asuma menyebut dirimu sebagai pelaku utama, tapi kau sama sekali tidak menyangkalnya."

"Aku malas membahas hal ini, Shika. Kepalaku pusing. Tolong minta kepada mereka agar membuatkan secangkir kopi untukku."  Yang terjadi sesungguhnya, titah itu ialah bentuk pengusiran halus yang bisa diucapkan Naruto.

"Oke, aku tidak akan mengusik hingga suasana hatimu lebih baik."

-----

Ino bergeming di pinggir ranjang, seorang diri di dalam lamunan. Fakta teranyar mengenai kehamilan dia sukses menambah daftar problematika rumit bagi retakan rumah tangga. Keping-keping kesempatan sempat dibangun berdasarkan asa atas tipisnya sisa perasaan yang barangkali belum seutuhnya sirna.

Ino Yamanaka masih menyiapkan mental demi melakonkan perannya sebagai pejuang cinta. Naruto Uzumaki memuja dia setengah mati, awal yang serupa manisnya madu. Mustahil pria itu mencampakkannya segitu ringan, dia hanya butuh dorongan untuk sebuah pengorbanan. Walau tanpa harga diri, niscaya dia siap menyerahkan rasa malu untuk memperoleh posisinya.

"Apa yang bisa kulakukan? Kehadiran bayi ini jelas akan menghalangi jalanku."  Monolognya lirih, tidak pula menangkap atensi ibunya yang kini mengawasi dia.

"Tidak! Gunakanlah dia sebagai alat untuk mempermudah rencanamu."

"Ibu?!" Sepintas hening jangka Ino terjaga, "Apa yang Ibu pikirkan? Terangkan padaku."

"Firasatku jelek akhir-akhir ini. Menantuku itu mungkin sedang menyiapkan langkah besar untuk membalasmu."

"Jika dia menyusun sesuatu, aku pasti sudah mengetahuinya. Dia hanya terpuruk, aku sangat yakin. Ibu lupa sebesar apa cintanya terhadapku."

"Heh!" Keiko menyeringai lancang, kentara merendahkan pemikiran naif putrinya. "Bangunlah dari mimpimu, Ino! Kau diusir hari itu juga olehnya, apa kemarahannya kurang meyakinkan? Coba kutanya, apakah dia menghubungi dirimu?"

"Naruto sakit hati, Ibu. Aku pun bakal melakukan hal serupa bila di posisinya."

"Cinta mampu menyingkirkan kewarasan. Sialnya, cinta itu bukan dirimu lagi. Dia  punya banyak waktu untuk menjemputmu ke sini, katakanlah dia tetap menyimpan perhatian padamu. Nyatanya tidak 'kan?"

Keserakahan melatih Keiko Yamanaka supaya kerap bertindak cermat. Inisiatif membuat dia mampu membaca situasi dengan akurat. Lebih baik menerima probabilitas sembari menata ulang taktik, ketimbang meletakkan nasib di atas asa semu.

"Aku tidak mau percaya. Naruto tidak  begitu, dia pria yang lembut."

"Wajar kalau dia mengajukan perceraian. Saat itu terjadi, kita segera bertindak. Temui dia dan kasih kejutan. Setidaknya bayi itu memberi kelonggaran, pengadilan tidak dapat membuat putusan untuk wanita hamil."

"Ini bukan bayi Naruto Ibu, dia akan menolaknya." Semata-mata praduga masuk akal. Ino menyikapi keadaan dengan akurat, naluri  pun diam-diam menegaskan siapa ayah dari janin tersebut.

"Sekarang, itu tidak jadi penghalang. Siapapun ayahnya, dia sudah menyelamatkanmu dari hidup telantar. Poin utamanya adalah bagaimana siasatmu menarik ulang kepeduliannya. Aku di sini mutlak atas sebuah alasan. Naruto tidak boleh seenteng itu membuang dirimu, tidak setelah semua usaha keras yang mati-matian kuperbuat. Jadi, jangan sampai kau menggagalkan siasat Ibu, Ino! Aku tidak menitipkan tujuanku padamu, cukup ikuti kata-kataku!"

"Tapi, Bu--aku ingin kembali pada Naruto. Aku ingin dia memaafkanku."

"Ya Tuhan, kau dengar si bodoh ini 'kan?! Dia masih mengagungkan cinta." Keiko menyingkir saking jemunya, "Kesenanganmu berkat uang, Ino! Ingat itu!"

-----

Written by: Laceena & Indigoriri

One Heart SinksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang