Bab 11

807 131 32
                                    

"Hinata?!"

"Kak--"

"Aish, kenapa baru sekarang kau datang? Tidak melihatmu selama dua minggu, aku jadi merindukan ocehanmu." Pernyataan itu memancing rasa geli Kabuto, dia membuang muka cuma untuk menutupi tawanya. Lain hal terhadap Hinata yang kini mencebik cemberut.

"Jangan katakan itu di depan Kabuto, Kak! Dia suka sekali mengejekku." Tapi, mukanya yang merengut itu sungguh manis. Bukannya berhenti, Kabuto kini justru terang-terangan menertawainya.

"Itu karena kau sangat lucu, siapa yang tidak akan senang hanya dengan memandang perubahan ekspresimu? Menggemaskan!" Kabuto pun mengangguk, mustahil menyangkal fakta yang memang menjadi perihal paling disukai olehnya. "Ayo, kalian duduklah dulu. Aku ambilkan minum di belakang," kata Guren sembari menarik pelan pergelangan Hinata, menuntun si gadis manis ke meja tunggu di sudut ruangan.

Usai mengunjungi kedai es krim favorit mereka, Kabuto pun langsung mengantar Hinata ke butik yang menjadi persinggahannya semenjak dua tahun menekuni profesi penyanyi keliling di tempat-tempat hiburan. Guren menyambutnya sangat baik, kendati si gadis manis bukanlah pelanggan elit yang terbiasa hilir mudik ke butiknya.

Wanita berusia sepertiga abad itu menyukai kepribadian Hinata yang ceria dan tidak pura-pura. Kejujuran si gadis manis tak ayal menjadi alasan terbesar dia bersedia merentangkan kedua tangan menawarkan sebentuk rangkul persahabatan. Guren siap membantu di setiap kali kesulitan datang menghampiri rencana Hinata, termasuk dia yang terkadang kepayahan sekadar menyiapkan kostum pantas demi menunjang penampilan di atas panggung.

Butiknya tidak begitu luas, namun berada di gedung yang cukup tinggi bersusun lima lantai. Desain klasik dan kalem menguasai seisi ruangan, dilengkapi perabotan mendukung dengan warna-warna disesuaikan. Krem serta cokelat tampak lebih mendominasi.

"Apa rencanamu setelah kelulusan nanti, Peri kecil?" sembari menunggu, Kabuto menggiring perbincangan ke tengah-tengah mereka.

"Entahlah, Kak. Aku ingin terus bernyanyi. Tapi, ada bagian dari keinginanku untuk bisa bekerja di perusahaan yang lebih baik dan memperoleh jaminan masa depan. Terkadang, aku juga berpikir harus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Lalu, menjadi pengacara hebat sepertimu. Dengan begitu aku mampu mengubah hidupku yang sangat biasa ini." Hinata tersenyum penuh makna, tak ubahnya si lawan bicara berikut seringai tampannya.

"Aku mendukung apapun keputusanmu. Jadi, tolong libatkan aku dalam setiap kendala yang mungkin kau temui nanti."

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" sepasang senyuman tadi mendadak pudar oleh kehadiran Guren.

"Bukan sesuatu yang penting, Kak," sahut Hinata segera selagi Guren meletakkan dua kaleng minuman ringan di permukaan meja sebelum duduk di seberang mereka.

"Jadi, gaun seperti apa yang kau cari?"

"Yang sepadan kemampuanku, Kak. Itu saja standarnya. Tidak perlu terlalu mewah, apalagi dengan banyak batu permata atau bordir emas di sekelilingnya. Cukup yang sederhana dan pas dengan ukuranku."

"Kau tidak ingin mencoba gaun terbaruku? Desain dan potongannya simpel seperti katamu."

"Kak, akan lebih beruntung jika kau menawarkan gaun itu kepada pelanggan VIP-mu. Aku ini cuma penyewa, biarkan mereka yang layak untuk membelinya dengan harga setimpal."

"Jangan berkata begitu, memangnya kenapa dengan menyewa? Aku justru senang sekali kau memilih gaun rancanganku."

"Kak, mungkin suatu hari nanti. Di saat aku sudah memiliki kesanggupan untuk--"

"Berikan saja gaunnya, biar aku yang membayar."

"Kak Kabuto, apa maksudmu?! Aku tidak mau!"

"Sejak kapan kau menolak pemberianku? Kita baru saja membicarakannya, Hinata."

"Tapi, Kak ...."

"Aku akan tenang jika bisa melibatkan diri di dalam permasalahanmu." Diam-diam Guren memperhatikan saksama seraya sesekali senyum simpul terbit di wajah mungilnya.

"Hinata--" Dia menyela guna merenggut afeksi dari sejoli yang sibuk berdebat halus di hadapannya. "Kuberikan potongan harga, ya? Agar kau tidak merasa keberatan menerimanya."

"Tidak, Kak Guren! Kau akan rugi kalau memaksakan diri."

"Kau ingin tahu satu rahasia?!" hela napas Hinata mengudara rendah. Detik sekian dia lamat-lamat menyimak pengakuan Guren, "Saat aku sedang menggambar pola desainnya, yang kupikirkan adalah dirimu. Kau menjadi inspirasiku, Hinata. Aku akan tersanjung andai kau sendiri yang mengenakannya."

"Aku?! Bagaimana bisa, Kak?! Dari sekian banyak model-model cantik di kota ini, Kak Guren menjadikanku inspirasi? Padahal gaya berpakaianku tidak ada bagus-bagusnya." Telak Kabuto menggeleng senyum. Dia bersedekap, tak pernah puas menahan tatap terhadap sosok gadis penambat hatinya itu.

Kepribadian Hinata begitu murni. Tidak ada kondisi yang membuat dia ragu maupun cenderung malu menguraikannya di depan orang lain. Jujur merupakan kiat agar kau tahu seberapa tulus orang-orang memilih berada di sisimu, beginilah prinsip yang diyakini si gadis manis serta tetap diterapkan pada situasi sehari-hari.

"Kau meragukan seleraku?!" berujung Guren sengaja menantang argumennya, "Kau tahu seberapa hebatnya karyaku di mata penikmat fashion 'kan?" Hinata refleks manggut-manggut pelan. Kelopaknya berkedip-kedip, menegaskan sikap lugu alami. "Kalau demikian, berarti kau paham setinggi apa nilaimu di mataku ini." Lucunya lagi, Kabuto tengah menahan gelak yang hampir mengudara. Daripada si gadis manis betul-betul merajuk hingga berakhir mendiamkan dia di sepanjang perjalanan.

"Kakak memaksaku, ya?"

"Aku sedikit kesal sebab kau sering menolak kebaikanku. Padahal aku benar-benar menyukaimu. Aku tidak sembarangan memilih teman. Walau perkenalan kita belum sampai setahun, aku dapat menebak seperti apa kualitas dirimu." Untuk penuturan tersebut, Kabuto merasakan dadanya berdentum cepat. Betapa bangga atas pujian itu.

"Hinata, bila kau menganggap Guren seorang teman. Maka, terimalah penawarannya. Sekali mengiyakan niat tulus orang lain tidak akan menimbulkan beban buatmu 'kan?!" lipatan detik berikutnya, Hinata mendesah pasrah. Lengkung di bibirnya telah menghapus keraguan dan sungkan.

"Baiklah, aku mau."

-----

Malang sekali, malam ini pun Naruto tak akan bisa tidur nyenyak. Pikirannya melayang ke mana-mana menepis rasa kantuk yang hendak muncul. Alhasil, tungkainya berayun ke dapur. Dia berencana menyeduh secangkir kopi hitam nan pekat.

"Kau tidak butuh pesona saat ini. Berusaha terlihat keren untuk dilihat Shikamaru?! Yang benar saja! Bulu-bulu di muka bukanlah penghalang apa-apa untuk pecundang sepertimu." Monolognya membuat dia sendiri mengerang malas. Ketika berjalan melewati cermin tinggi di kamarnya, lalu bentuk tampang yang dipantulkan di sana kontan mendorong dia nyaris mengumpat. "Astaga, aku lupa membeli biskuit. Ini tidak akan seru--ah, pisang?! Apa tidak ada yang lain?"

"Tuan--" Naruto terperanjat, secara spontan membanting pintu lemari pendingin.

"Astaga, Bibi! Apa yang kau cari?! Jangan mengagetkanku seperti itu. Aku bisa pingsan karena jantungan." Sementara, Bibi Ayame justru tertawa gara-gara kepanikannya.

"Saya haus, makanya ke dapur. Apa Tuan lapar?"

"Aku cuma menginginkan kudapan ringan sebagai teman minum kopi. Dan ternyata camilanku habis."

"Ah, tunggu sebentar. Tadi sore Saya sempat singgah ke toko roti di pinggir jalan. Rotinya baru matang dan sangat harum, Saya beli beberapa bungkus untuk sarapan besok," kata Bibi Ayame sembari membuka lemari pantri dan mengeluarkan dua bungkus roti berbeda rasa. "Tuan boleh mengambilnya."

"Benarkah?!"

"Masih ada sisanya untuk dimakan besok. Bawa saja, Tuan."

"Terima kasih, Bi." Akibat segan, Naruto lantas mempercepat langkahnya, meninggalkan Bibi Ayame yang diam mengamati lewat binar tak terbaca.

-----

Written by: Laceena & Indigoriri

One Heart SinksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang