Bab 9

815 138 75
                                    

"Wah, aku benar-benar tidak menyangka Kakak bakal menjemputku."

Nada halus suara Hinata memecah keheningan di dalam sedan milik Kabuto. Jalanan malam ini sedikit lengang, apalagi putaran jam nyaris mencapai waktu tengah malam.

"Kau masih marah padaku?" Namun, Hinata enggan menanggapi, selain menoleh ke jendela yang tertutup dan sama sekali tiada menarik dipandang. "Hinata, tolong maafkan aku. Semuanya begitu mendadak, aku hanya tidak tahu kasus yang kutangani itu bisa demikian rumit."

"Tapi, Kakak pergi sangat lama!" Dia menengok demi menghardik pria di sebelahnya.

"Kau sedang marah atau ngambek? Aku tidak bisa membedakannya, dua-duanya tetap menggemaskan di mataku. Bagaimana, ya?!"

"Kak! Jangan menyesal jika kemarahanku sungguhan datang!"

"Hei, mana boleh begitu. Aku sudah seminggu tidak melihatmu, tahu tidak seberapa besar rasa rinduku?"

"Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak semudah itu untuk termakan rayuan Kakak."

"Hinata ..."

"Tidak!"

"Peri manis ..."

"Aku tidak dengar!" Teriaknya sembari menangkup kedua rungu, sedangkan Kabuto terkekeh puas menyaksikan tingkah random Hinata yang jelas-jelas tengah merajuk kepadanya.

"Jadi, peri manisku ini tidak mau mendengarku lagi?" Sejenak sunyi dan Hinata betah pada posenya tanpa sepatah kata selaku jawaban. Berikutnya desah Kabuto mengudara rendah seraya menepikan mobil ke sisi trotoar. Dia hela napasnya dalam-dalam dan bilang, "Hinata, apa yang perlu kulakukan untuk menebus kesalahanku dan kecewamu?"

Suka tak suka, pertahanan Hinata runtuh. Dia paling lemah terhadap suara mendalam pria ini serta intonasi yang sengaja ditekankan. Hinata pun melirik, berpaling badan sepenuhnya ke samping, merespons atensi Kabuto.

Senyumnya begitu hangat, mengingatkan Hinata ke masa-masa ketika mereka masih dapat mencicipi riangnya kehidupan kanak-kanak. "Bukan pekerjaan Kakak yang membuatku marah."

"Lalu?!"

"Setelah berpamitan, Kakak tidak pernah sekali pun meneleponku. Aku selalu mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kakak. Bahkan sampai kepulangan Kakak tadi sore, aku pun tidak diberitahu."

"Kau juga merindukanku, ya?"

"Aku mencemaskanmu, Kak. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk mengisi pikiranku."

Sejujurnya, pernyataan ini menimbulkan efek luar biasa bagi Kabuto. Seolah-olah ada yang meniupkan sensasi sejuk ke sanubarinya, dia lega sebab nyatanya dia dan Hinata saling menggantungkan diri.

"Cuma kau satu-satunya yang ingin kulindungi di dunia ini, Hinata."

"Kakak tidak bisa melindungiku jika menghilang tiba-tiba. Andai saja tahu apa yang terjadi padaku selama Kakak pergi."

"Hinata, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Aku berjanji." Keteguhan kentara nampak di sorot jelaga Kabuto. Usai pernyataan meyakinkan tersebut, napas Hinata terdengar berembus ringan. "Mau cerita padaku?"

"Baiklah, tapi nyalakan mesinnya, Kak. Sekarang sudah lewat pukul dua belas."

"Lanjutkan besok saja ceritanya. Aku tidak mungkin merampas kesempatan istirahatmu untuk sebuah cerita," kata Kabuto selagi tuas perseneling ditarik seirama injakan pada pedal gas. Mobil tersebut melaju tenang menyisakan deram.

-----

"Boleh aku bergabung?"

"Oh, Kabuto ... kupikir kau tidak akan datang. Sini, sini, duduklah di sebelahku."

"Naruto, kau mabuk? Aish! Citramu sebagai Direktur Utama bisa rusak gara-gara sake."

"Dia tidak bisa dicegah. Aku mencobanya berkali-kali dan dia terus mengomel." Shikamaru yang menyahut, lalu meneguk santai botol sake di genggamannya. "Kau terlambat lagi, Kabuto."

Si empu nama kontan mendongak, baru saja dia mengamati kondisi Naruto yang baginya parah. Kepalanya tergeletak di meja, sesekali cegukan dengan kelopak mata terpejam rapat.

"Shika, ceraikan Ino! Kau mau membantuku 'kan? Katakan, katakan kepada si jangkung yang bodoh ini agar mencarikan pengacara hebat untukku. Kau mengerti?! Ini perintah, Shika!" Dua temannya di situ sekadar mendengkus malas, tak pula mengalihkan perhatian terhadap dia yang tengah meracau.

"Ada apa sebenarnya, Shikamaru?"

"Permasalahannya masih sama. Seperti yang kau dengar, Naruto berencana berpisah dari istrinya. Dia juga sempat menunjukmu sebagai pendamping dalam proses hukum."

"Itu sangat berbeda dengan pekerjaanku, keputusan kalian terlalu sembarangan. Sejak kapan pengacara korporasi mengambil kasus perceraian?"

"Itu karena dia terburu-buru, pikirannya kalang kabut. Aku kasihan padanya."

"Daripada kasihan, aku justru kaget bisa menemukan sisi lain dia. Naruto seperti tidak ada cacatnya sama sekali. Siapa yang bakal mengira, dia sehancur ini karena perkara cinta."

"Kau tidak dapat memahami, sebelum merasakannya sendiri."

"Shikamaru, aku bukan tipikal yang suka berbagi mengenai privasi." Shikamaru mengangguk-angguk, berdeham ketika kerongkongannya nyaris tersedak.

"Aku tidak sudi mengantar kalian berdua jika kau nekat mengikuti langkah Naruto. Kau mesti tetap sadar dan membawanya pulang."

"Tenanglah, ini botol terakhir. Aku juga tidak berniat melenyapkan kewarasanku di sini."

"Tentang pengacara yang diminta Naruto, akan kukabari setelah berhasil menemukan orangnya. Ada dua temanku yang cukup hebat di bidang ini. Perlu konfirmasi secara lengkap, semoga di antara mereka ada yang masih menganggur."

"Kabuto, terima kasih. Segera kusampaikan padanya begitu dia sadar, paling cepat besok."

"Kau tidak keberatan kutinggal sendirian?  Bisa kau atasi dia 'kan?"

"Serahkan padaku." Kembali, Shikamaru manggut-manggut. Dia mengibaskan pelan jemarinya, mengizinkan rekannya itu untuk mendahului mereka.

-----

Siang itu Ino memutuskan untuk pergi ke Apotek demi membeli obat anti lengar. Pasalnya, dia mulai mengalami morning sickness sejak tempo hari. Ingin sekali rasanya dia menghilangkan janin ini, andaikan tahu bahwa mengandung bisa memberikan dampak buruk, apalagi terhadap suasana hati.

Rasa mual itu datang mendadak, beruntun mendorong pangkal lidahnya untuk memuntahkan kosong. Kekesalan meningkat kala ibunya tak sedikitpun meletakkan rasa iba, secuil simpati bahkan nihil.

Begitu turun dari taksi, Ino langsung berjalan ke apotek yang dituju. Cuaca cerah agaknya mampu menggeser sebagian kedongkolan. Ino tersenyum sepintas jangka dia berkata, "Permisi, bisa kau berikan obat mual padaku?"

"Tunggu sebentar, Nona," sahut si apoteker. Dia sedang memanjat ke atas kursi guna membersihkan debu-debu di permukaan kaca etalase. "Nah, sudah! Sekarang baru kelihatan mengkilap." Dia berseru puas sembari menyingkirkan kursi ke pojok ruang. "Maaf, tadi kau pesan--Ino?! Kau Ino 'kan?!"

"Sai!! Ini kau?!"

"Iya--ya ampun, kau lupa padaku?" Si apoteker serta merta salah tingkah, sampai-sampai dia cengengesan sambil menggaruk kepala. "Sudah lama ya, Ino?! Omong-omong, kau makin cantik." 

"Dan sikapmu tidak juga berubah, kau masih hobi saja merayuku."

"Hahaha." Si apoteker ini tertawa canggung, namun kecantikan paras Ino telah menyita fokusnya. Untuk sejemang dia terpaku, merelakan akalnya terjebak.

"Sai! Kau kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa. Aku cuma agak kaget karena kita bisa ketemu lagi. Apa tadi pesananmu?"

"Obat mual. Kehamilan ini bikin pagi hariku seperti di Neraka."

"Hamil?! Jadi, kau sudah menikah?!"

-----

Written by: Laceena & Indigoriri

One Heart SinksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang