[18] Love

56 8 2
                                    

Seminggu setelah obrolan terkait kehamilan Devina dan lamaran Majendra, keduanya masih melakukan kegiatan seperti biasa. Entah itu sekolah, eskul, dan bahkan main dengan teman-teman. Namun ada satu hal yang berubah, sejak malam itu – ketika Majendra dan Devina tau kebenarannya, mereka tidak saling menghubungi lagi. Mungkin untuk saat ini setidaknya belum. Baik Jendra maupun Devina sama-sama takut untuk sekedar menanyakan kabar.

“Dev, ngelamun mulu lo!” tegur Renan dari kejauhan ketika melihat gadis itu duduk sendirian di bangku taman belakang.

Devina menoleh, melihat ke arah Renan dan Majendra yang ada di sebelah laki-laki itu tanpa minat. Majendra Bagaskara juga melayangkan pandangan yang sama. Kosong tanpa makna – tidak seperti biasanya – seolah tidak ada cinta dalam kedua matanya.

“Udah, nggak usah ganggu.” Majendra menarik lengan Renan cukup kasar. Membuat lelaki itu mau tak mau beranjak pergi, hingga keduanya tak terlihat  lagi oleh Devina.

Gadis dengan rambut hitam kecokelatan itu menunduk, menekan jemarinya dengan kuat. Kemudian meneteskan air mata yang sejak tadi ia tahan. Dapat dibilang bahwa belum ada pembicaraan lebih lanjut antara ia dan Majendra mengenai kebenaran yang terungkap sebelumnya. Devina berasumsi kalau pacarnya sudah tahu yang sebenarnya, begitu pula dengan Majendra.

“Mati aja kali ya?” gumamnya pelan.

Pikiran jahat itu terbesit seketika dalam kepalanya. Namun ia menggeleng cepat, “Nggak, jangan goblok, Dev.”

Gadis itu mengambil ponselnya dari saku seragam putihnya. Mengetikkan sebuah pesan untuk sang pacar untuk segera menyelesaikan permasalahan mereka.

Nanti malam jam 7 kita ketemu ya. Cafe biasanya.

sent

Bersamaan dengan terkirimnya pesan tersebut, bel masuk kelas berbunyi. Tetapi Devina Syailona itu tidak kembali ke kelasnya, melainkan pergi ke ruang guru untuk meminta ijin pulang lebih dulu. Ah, ia sekalian menyerahkan surat-surat permohonan pengunduran dirinya dari sekolah. Devina dan keluarganya sudah setuju untuk sementara keluar dari SMA tersebut hingga waktu yang belum ditentukan. Walaupun di dalam hati, gadis itu dapat berharap kembali ke sekolah sebelum hari kelulusan tiba.

--

Majendra terlihat cukup gusar sore itu. Ia memandang tas ransel milik Devina yang tergeletak di kamarnya. Yah, lelaki itu membawa tas tersebut pulang karena pacarnya tidak kembali ke kelas sejak bel masuk dibunyikan. Pengumuman dari wali kelas mereka yang menyebut bahwa Devina mengundurkan diri juga membuatnya kaget bukan main. Ia merasa bersalah karena tidak tahu menahu rencana yang akan dilakukan gadis itu kedepannya.

Tok tok

Ketukan dari luar membuat Jendra tergerak membuka pintu kamar. Ia mempersilahkan Ayahnya untuk masuk dan duduk di kursi belajarnya.

“Kenapa, Pah?”

“Kamu dan Devina belum ngobrol lagi?” tanya Anthony penasaran. Namun ketika melihat raut wajah anak keduanya yang semakin lesu membuat ia paham dengan situasi yang ada.

“Belum, aku takut. Devina juga kayaknya udah tahu semuanya.” tutur Majendra khawatir.

“Kalau dia milih untuk pergi dari aku, gimana?” tambahnya.

Sang Ayah meraih bahu anaknya yang sedang duduk di pinggir ranjang. Kemudian mengusapnya dengan lembut sambil berkata, “Kamu laki-laki, Majendra. Devina adalah tanggung jawab kamu. Jangan buat Papa malu.”

MBB [2] : I'm Your Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang