9. Maaf

150 63 11
                                    

Jisung mengerutkan keningnya, apa maksud dari ucapan Haechan di sekolah tadi pagi?

"Permisi, anak muda." Sontak Jisung terkejut dan lamunannya buyar.

"Jadi beli bunganya?" Ah, dia lupa jika dirinya berada di toko bunga. Hari ini Jisung memutuskan untuk berziarah ke makam teman-temannya – Renjun, Chenle, dan Jeno.

"Iya, bu. Jadi, berapa ya?"

"Seratus ribu, nak." Jisung pun memberikan selembar kertas merah dan pergi keluar toko.

Sesampainya disana, ia melihat siluet seseorang yang sangat familiar. Saat diperhatikan lamat-lamat oleh Jisung, matanya membulat. Itu adalah Jaemin, tapi kenapa dia ada di makan ini? Untuk mengunjungi temanya?

Dirasa Jaemin mulai meninggalkan makam, Jisung masuk dan menghampiri makam ketiga temannya yang sebelumnya dihampiri oleh Jaemin. Namun kenapa ia tak bersekolah, jika dilihat cara jalannya tadi Jaemin seperti sehat-sehat saja, dan tidak sakit.

Ia pun menghendikkan bahunya tak acuh, saat ini ia ingin bercerita kepada teman sebaya dan seseorang yang sudah ia anggap sebagai kakak.

Jisung menceritakan semuanya di depan ketika makam itu, ia berbicara sendiri, tertawa, bahkan ia sesenggukan sendiri disana.

Jika orang lain melihat tingkah Jisung, mungkin mereka akan menganggap Jisung seperti orang gila. Namun ia tak peduli, dirinya hanya ingin beban pikiran itu menghilang, dengan cara membagi cetita kepada ketiga temannya.






Tak terasa sudah hampir dua jam lamanya Jisung mengunjungi makam, ia mulai berpamitan dan pergi menuju rumahnya.

Di jalan, ia mencoba berusaha menghubungi Jaemin. Meskipun begitu, Jaemin tetaplah temannya, ia tahu bahwa Jaemin terpaksa membunuh Jeno, itu semua karena permainan sialan itu.

🎮

"Aku menemukan buku catatan milik Jeno hyung."

Haechan mengerutkan keningnya. "Dimana kau menemukan itu, Jisung?"

"Di kamarnya, aku membantu para detektif untuk mencari barang-barang Jeno hyung, membuktikan bahwa mendiang Jeno hyung tak bersalah," jelas Jisung sembari melirik kecil Jaemin yang sedari tadi menunduk.

"Coba kita baca, Sung." Haechan merapatkan tubuhnya ke Jisung yang sedang membuka buku diary Jeno di atas meja, sementara Jaemin tetap pada posisinya, menyimak baik-baik.

"Pada hari itu, aku tak masuk sekolah karena aku berdebat dengan Ayah. Beliau menyuruhku untuk menjadi CEO seperti dirinya, tetapi aku menolak dan ingin menjadi arsitek. Aku kabur dari rumah dan tak pulang di rumahku karena aku yakin, suruhan Ayah akan mengejarku disana. Saat aku berjalan lemas, aku melewati salah satu gang kecil, bau anyir darah sangat menyengat."

"Aku berbelok ke gang itu guna mencari darimana asal bau itu. Dan aku terkejut, teman kecil ku, Huang Renjun sudah terkapar tak berdaya disana dengan darah yang terus keluar dari kepalanya. Seluruh tubuhku gemetar melihat jasad Renjun yang penuh darah, dan tanpa sengaja kaki ku menyenggol lengan Renjun dan sepercik darah menempel pada sepatuku, aku pun tak menyadari hal itu. Karena terlalu takut dan tak bisa berpikir jernih, aku kembali berbalik, berlari, meninggalkan jasad temanku. Saat itu aku benar-benar menyesal, kenapa aku malah berlari meninggalkan temanku, sungguh, aku sedang kalut saat itu. Yang ada dipikiranku hanyalah lari, lari, dan lari dari sana."

Jisung membalikkan halaman bukunya, dan terus membaca tulisan Jeno.

"Aku berlari ke arah tepi pantai yang sepi, hanya untuk memenangkan pikiranku. Tanganku masih bergetar, bayangan jasad Renjun yang dipenuhi darah terus berputar dalam otak ku. Suara tawa laki-laki itu terdengar jelas di telinga, aku menutup kedua mata dan telinga ku, berteriak meminta maaf kepada Renjun karena tak menolong dia. Haha, cengeng sekali, aku menangis saat itu, benar-benar sakit."

"Sampai malam tiba, aku terus melamun di tepi pantai, duduk dan menikmati suara ombak yang gemuruh. Sampai pada akhirnya, aku menghidupkan ponselku dan mendapati kabar bahwa Renjun telah dimakamkan, dan Jaemin yang menemukan nya setelah diriku."

Jisung melirik Jaemin yang sedang terkejut dalam diamnya. "Aku mengumpulkan keberanian untuk menghampiri teman-teman ku, berlari sekencang-kencangnya menuju markas seperti biasa. Karena aku tahu, mereka pasti akan berkumpul di jam-jam itu."

"Aku tanpa sengaja membuka pintu markas dengan keras, mengatur napasku. Malam itu saat berkumpul, aku tahu bahwa Jaemin memandang sepatuku dengan tatapan terkejut, entah apa yang dipikirkan oleh laki-laki itu, aku harap dia tak salah paham."

Jisung membuang napas dengan kasar, menahan air matanya yang akan jatuh kapan saja. Ia membuka halaman berikutnya, di tulis di hari yang berbeda.

"Hari ini Jaemin menuduhku, aku sudah menduganya kalau ini akan terjadi. Lidahku kelu hanya sekedar mengatakan 'aku menemukan Renjun terlebih dahulu sebelum kau'."

"Bayangan jasad Renjun tiba-tiba saja terlintas di pikiranku saat ingin mengatakan itu. Jaemin, bukan aku yang membunuh Renjun."

Gagal, usaha Jisung yang menahan air matanya gagal. Ia menutup kasar buku itu dan terisak, Haechan memeluk Jisung dan menenangkannya. Sementara Jaemin, ia sudah menangia dalam diamnya, tak mengeluarkan suara sedikitpun tetapi air mata terus menetes dengan posisi kepalanya yang menunduk dan tangan yang ia remat.

"Maaf Jen, aku sungguh minta maaf. Jeno, jika nanti kita dipertemukan kembali, aku ingin kau menjadi saudara ku. Jeno, maafkanlah aku, aku mohon."

•Blood Gun•

BLOOD GUN | NCT DREAM ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang