kopi dan cerita singkat

694 77 4
                                    

Sore itu, di tengah padatnya ibu kota, empat remaja tengah menikmati waktu mereka dengan segelas kopi sebagai peneman dan suara alunan gitar yang mengalun indah.

Cafe Pemimpi, entah mengapa tempat itu menjadi tempat terfavorit bagi empat remaja itu. Hampir setiap hari sepulang sekolah, mereka akan duduk disana, ditempat yang sama, dengan segelas kopi hangat di hadapan mereka.

Bahkan, pegawai Cafe itu sudah hafal betul, jam berapa remaja-remaja itu akan datang, memesan empat gelas kopi, dan berdiam diri disana sebentar sampai jam menunjukkan pukul lima.

"Gue males pulang, sialan banget tuh guru botak, kenapa MTK gue cuman 98? Gurunya kagak ngasih keringanan sedikitpun anjing, lupa nuker Y jadi X doang, nilai gue dikurangin" Tiga remaja lain terdiam, mendengar keluhan Jerico, mereka tahu, Jerico memang selalu dituntut untuk sempurna karna sang Ayah yang takut jika Jerico akan melenceng seperti kakaknya, tidak mau mengurus perusahaan, dan memilih melarikan diri untuk menjadi seorang musisi.

"Umpetin aja udah, sobek kalau perlu tu kertas" Hanan cengengesan membuat Jerico memutar bola mata malas.

"Mana bisa gitu? Lo kayak gak tau Papa nya Jerico selalu ngehubungin sekolah tiap hari buat nanyain nilai, percuma, Papa Jerico terlalu terobsesi biar nilai anak-anaknya sempurna" Ujar Nando menanggapi saran Hanan, yang sama sekali tak berguna.

"Bener sih, tapi gak papa deh Jer itu nilai udah bagus kok ya gue tau sih, besok pasti muka lu memar-memar, tapi lu harus bangga! soalnya nilai MTK gue cuman 55" Abian menggeplak kepala Hanan, terlanjur gemas dengan Hanan yang tak pernah mau berusaha menaikkan nilainya. Alasannya simpel, katanya

'buat apa? Gak ada yang mau gue banggain, walaupun nilai MTK gue seratus, gak bakal ada yang bilang anak Mama pinter banget mending gue bikin konten a day in my life di akun tiktok gue lumayan fyp dapet duit'

"Jancok, urip koyo asu! gue pengen mati" kali ini, berganti, Nando yang memukul kepala Jerico.

"Jangan mulai ya Jer, kita udah bertahan sejauh ini gak seharusnya lo ngomong gitu" Jerico menghela napas, lalu menelungkupkan kepalanya ke atas meja. Mereka menatap Jerico kasihan, seberat apapun masalah mereka bertiga, setidaknya tak ada yang mendapat luka memar seperti Jerico.

"Udah mau jam lima, pulang" mereka mengangguk, mengambil tas masing-masing dan pulang.

Ya, Cafe Pemimpi itu, menjadi saksi bisu, keluh kesah empat remaja itu setiap harinya.

~*~

Abian pulang, bersama dengan Jerico, kebetulan rumah mereka tak terlalu jauh, hanya berjarak 3 rumah.

"Abi---an pulang" Abian menatap Ayahnya sengit selalu saja begini setiap Ayahnya pulang kerumah.

Mengambil uang Bunda, dan pergi lagi dari rumah, menghabiskan uang ituuntuk perjudian, lalu ketika habis, ia akan kembali datang, mengambil uang yang seharusnya bukan hak nya.

"DENAI NDAK PICAYO KAU DAK BAPITI! PAGELARAN BAJU KAU TU SUKSES, PASTI BANYAK PITI KAU KINI!!" Abian mengepalkan tangannya.

(trans: aku tak percaya kamu gak punya uang, pagelaran baju kamu sukses besar, pasti banyak uangmu!)

"KOK PUN ADO PITI AMBO, NDAK AKAN AMBO AGIAH KA ANG DO!" Abian memperhatikan dari pintu rumah. Terkadang Abian malu dengan para tetangganya yang harus mendengar pertengkaran Ayah dan Bundanya saat Ayahnya pulang kerumah.

(trans: kalau pun aku punya uang, tak akan ku berikan kepadamu)

PLAK

Abian menutup mata saat melihat Ayahnya lagi-lagi menampar Bundanya.

Abian berjalan cepat kearah sang Ayah, lalu balik menampar pria paruh baya itu.

"BUNDA DEN, ANG TAMPA MODE ITU? BENCONG ANG? BAGAK MANAMPA BATINO?" Ayah Abian tersenyum remeh, lalu menatap Abian dari atas sampai bawah.

(trans: bunda ku, kau tampar seperti itu? Kau pecundang? Berani menampar perempuan?)

"CALIAK? CALIAK ANAK KAU TU HA! Denai ko apak waang ma Abian, denai ko masih apak waang, lah hebat bana ang? Sampai bagak lo manampa den?" Abian tertawa mendengar ucapan Ayahnya.

(trans: lihat? Lihat anak mu itu! Aku masih ayah mu Abian, aku masih ayah mu, sudah hebat sekali kamu? Sampai berani menampar saya?)

"Mo'o denai lu, apo kecek waang tadi? Apak denai? Denai ndak ado apak sarupo waang do, dak paralu denai apak sarupo waang do, bunda tu nan mangasuah den jo adiak-adiak, dak pernah waang manolong kami do! Kini, pai waang dari rumah ko! Jan pernah waang tibo karumah ko" Abian menunjuk pintu rumahnya yang benar-benar terbuka lebar. Ayah Abian diam, lalu pergi dari sana.

(trans: maaf, apa kata mu tadi? Ayah ku? Aku tak punya ayah seperti mu, aku tak butuh ayah seperti mu! Bunda yang mengasuh ku dan adik-adik, kamu tidak pernah menolong ku, sekarang pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi)

Abian menatap kepergian Ayahnya, lalu menatap tangannya yang sudah berhasil menampar pipi sang Ayah.

"Tuhan, maafkan Bian"

destroyed [Dream 00L]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang