×Eps 13 [ TELEPON DARI RUMAH SAKIT ]×

2 2 0
                                    

Ah, seandainya aku bisa ke Jepang. Aku ingin sekali melihat sakura," gumam Nindy.

Aku menyenggol tangan Nindy. "Kau pikir di Bogor tidak bisa melihat sakura?" tanyaku sewot.

Nindy tersenyum kecut. "Tapi bunga terakhir yang ada di sana sudah gugur pada bulan Januari lalu."

"Benar juga. Kita harus menunggu setidaknya 2 bulan lagi untuk melihat sakura mekar lagi," sahut Zera.

"Ck. Itu terlalu lama," gerutu Nindy.

"Sebelumnya kau sudah berhasil menunggu sakura selama 9 bulan kan? Berarti 2 bulan bukan hal yang sulit," tutur Alvin di bangku seberang.

30 menit sebelum jam pelajaran dimulai, kelas diwarnai dengan suasana ciri khasnya. Ada yang bergosip, bermain game online, ada mengulangi materi yang pernah kami pelajari sebelumnya, bahkan ada yang melamun entah sedang memikirkan apa.

Nindy membuka lembaran buku catatannya, belum ada 2 menit dia sudah membalikkan halaman pertama ke lembaran berikutnya.
Zera yang duduk sebangku dengan Alvin, mengoceh kemudian tertawa terbahak bahak, membuat Alvin menutup telinga dengan jari telunjuknya.

Bersamaan dengan itu, entah karena kesal atau alasan yang lain, Nindy memukul meja dengan keras, disusul dengan berdiri condong ke depan.
Kelas yang awalnya sangat riuh, bungkam seketika mengetahui hal tersebut.

Aku mendapati wajahnya yang penuh dengan emosi berbeda, sehingga aku pun tak tahu dia sedang memikirkan apa.

Setelah melakukan hal itu, Nindy menghembuskan nafas berat. "Zera, antar aku ke kamar mandi," ucapnya sambil keluar kelas.
Zera mengangguk kikuk dan berlari lari kecil, mengekor langkah Nindy.

"Dasar perempuan," celetuk Alvin dari bangku seberang.

"Bro, perempuan juga perlu privasi," sahutku.

~ℳ~

Aneh, mengapa Nindy dan Zera belum kembali juga?
Suara pintu di ketuk, seorang Guru memasuki kelas kami. Pandangannya menyapu seluruh ruangan yang di masukinya, seperti hendak menghitung siswa yang hadir hari ini.

"Arnolda Glennicky, apakah dia hadir hari ini?" tanya sang Guru.
Aku serta merta mengangkat tanganku seraya bilang, "Saya hadir,Bu."

"Adik dipanggil ke ruangan UKS." Begitu kalimatnya selesai, Guru itu langsung pergi.

Aku keluar kelas, turun satu lantai, berjalan di selasar dan melewati lapangan upacara. Kemudian, perhatianku terpusat pada mobil yang memiliki lampu rotator diatas kendaraan berwarna putih itu.

Terlihat, orang orang yang membawa mobil dan guru guru yang bertugas di UKS tergopoh gopoh menggendong seseorang, kemudian salah seorang menyetir mobil itu dengan kecepatan tinggi.

Kendaraan itu sudah berlalu, dan aku melihat Zera berjalan lunglai seperti mayat hidup. Matanya bergetar seperti ketakutan serta dia bergumam tak jelas.

Aku melambaikan tangan, tapi dia tak menyahut.

"Hei Zera." Aku memanggilnya.

"Ah bukan! Bukan aku penyebabnya!" serunya. Dia menatapku ketakutan-aku menatapnya dengan bingung sebagai balasannya.

"Kau kenapa?"

Dia tidak menjawab.

"Ah lupakan. Mengapa kau berjalan sendirian? Dimana Nindy?" tanyaku.

Tatapannya yang semula takut dan gelisah, berubah menjadi menegang setelah aku menanyakan itu.

"D-dia..." dia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Dia?" Aku bertanya.

Zera mengigit bibirnya, mengerutkan dahinya dan matanya bergerak tak beraturan seperti orang yang tersesat.

Ada apa dengannya? Apa dia salah makan?

Aku mengetuk ngetuk lantai menggunakan sepatu. "Aku menunggu."

Dia semakin gelisah dan berkeringat. Sesekali dia menatapku dan segera menundukkan wajahnya.

5 menit berlalu dan dia belum mengatakan apa pun.

"Baiklah jika kau tak mau beritahu. Aku akan mencarinya sendiri." Aku mendengus.

"Kembalilah ke kelas, jangan berdiri disini seperti orang dungu."

Aku pergi menuju perpustakaan sementara Zera berlari kalang kabut menuju kelas.

~ℳ~

15 menit aku berputar putar di perpustakaan, mencari sosok perempuan rambut panjang hitam legam, berwajah sedikit pucat.

Saat hendak berpindah ruangan, ponselku bergetar. Sebaris nomor tak dikenal muncul di layar. Aku menarik tombol hijau dan samar samar terdengar suara perempuan.

"Permisi, selamat pagi," sapanya.

"Selamat Pagi," jawabku.

Apa benar anda adalah salah satu keluarga pasien atas nama Arnelda Glennindy?" tanya perempuan itu.

"Benar. Saya adalah saudara kembarnya. Ada apa ya?"

"Saudara anda baru saja masuk ke ruang IGD." Begitu katanya.

Suasana di sekelilingku dingin, nafasku terhenti di tenggorokan dan mataku terbelalak.

"R-ruang IGD lantai berapa?" Aku bertanya.

"Lantai 3, sebelah kamar nomor 109," jawabnya.

"Baiklah, terima kasih," ucapku.

Aku berlari di tangga menuju parkiran, sehingga membuat suara gaduh menggema.

Bagaimana?
Bagaimana bisa Nindy masuk ke Rumah Sakit?

Jelmaan Bunga DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang