×Eps 2 [ 5 TAHUN YANG LALU ... ]×

23 6 4
                                    

Liburan akhir semester 1, aku dirumah bersama Nindy dan adik bungsu ku, Amelia. Kala itu, orangtuaku sedang keluar rumah untuk bekerja dan pulang saat jam makan siang.

Amelia merengek padaku, agar mengizinkannya bermain keluar. Saat itu, Amelia masih berusia 8 tahun, Masa masa lebih banyak bermain daripada mengurung diri di rumah. Aku menolak permintaan Amelia dengan halus, mengelus elus rambutnya dan menyuruhnya untuk tetap dirumah.

Amelia menghentak hentakkan kakinya, satu satunya ekspresi yang bisa ia tunjukkan sambil memanyunkan mulutnya.

"Amelia, kamu mirip seperti kelinci yang sedang merajuk," kataku sambil cekikikan.

"Amelia, kamu harus menunggu petang jika ingin bermain keluar rumah," kata Nindy.

"Apa kakak tidak bisa membujuk ayah dan ibu agar mengizinkan ku bermain? Hanya 1 hari saja." Mata Amelia berbinar binar berharap.

Nindy tersenyum miris, "1 hari atau selama liburan, hem?"

Amelia mengangguk malu malu, mengakui apa yang sebenarnya dia inginkan.

Lagi lagi, aku tertawa melihat aksi menggemaskannya.

"Haah ..." Nindy menghembuskan nafasnya dalam dalam.

"Baiklah, kakak akan mengajakmu jalan jalan hari ini." Nindy tersenyum kepada Amelia.

"Kemana?" Amelia menatap tak percaya.

"Hm, ke arena permainan dekat rumah kita? Kakak dengar saat liburan harga tiket masuk diskon 50%." Nindy tersenyum tipis.

"Kyaa!" Amelia berseru gembira.

"Kak Nindy memang terbaik."
Kemudian, Amelia beranjak meninggalkan ruang keluarga.

Tetapi,sebelum langkahnya berhasil memasuki kamarnya, Nindy melanjutkan kalimatnya.

"Setelah kau mengerjakan tugas liburanmu." Nindy kembali duduk dan melanjutkan membaca novel.

"Ah kak Nindy, apa tidak bisa besok saja aku mengerjakan tugas itu?" Rasa girangnya hilang berganti dengan berharap.

"Kau mau ikut tidak?" Nindy balik bertanya. Memperlihatkan ekspresi datar kepada Amelia. Amelia mengerutkan dahinya, memperlihatkan ekspresi kesal kepada 2 kakak kembarnya.
Kemudian, berjalan dengan langkah berat dan menghilang di balik pintu kamar.

"Pfft, anak kecil." Nindy tertawa jail.

Pukul 13.00, waktu makan siang. Di saat itu ada hal aneh yang tidak kusadari ...

"Hei Nicky, kau tau dimana Amelia?" Nindy bertanya padaku dengan ekspresi sedikit cemas.

"Memangnya, dikamarnya tidak ada?" Tanyaku balik.

Nindy menggeleng. Tiba tiba perasaanku menjadi tidak enak. Aku menjadi khawatir. Sayangnya,belum selesai ke khawatiranku ...

"AAAAHHH ..." terdengar suara teriakan anak kecil dari luar.

"K-kau dengar itu?" Suara Nindy bergetar.

" I-itu tadi ... suara Amelia kan?" Nindy kembali bertanya padaku. Matanya mulai berkaca - kaca.

Aku berlari keluar rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Berharap perkataan Nindy tidak benar.

Tapi takdir tetaplah takdir. Perkiraan Nindy benar. Amelia pingsan tertabrak mobil. Kepalanya mengeluarkan darah cukup deras, membuatku dan Nindy diam terpaku di teras rumah.

Untungnya saat itu, sang penabrak tidak meninggalkan Amelia begitu saja. Akhirnya dia membantu kami membawa Amelia ke Rumah Sakit.

Amelia masuk IGD karena pendarahan di kepalanya tidak bisa berhenti.

Aku meminta Nindy untuk menghubungi Ayah dan Ibu. Nindy mengangguk menurut dan berkata, "Ayah dan Ibu akan datang sebentar lagi."

15 menit berlalu tanpa kabar dari ruang IGD. Syukur Ayah dan Ibu datang dengan cepat.

"Bagaimana? Apa ada kabar baru mengenai Amelia?" Ayah bertanya dengan nafas terengah - engah. Aku menggeleng lemah.

"Kita tunggu sebentar lagi, kita doakan yang terbaik untuk Amelia," kata Ibu.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kalian tidak mengajak Amelia keluar rumah kan?" Ayah bertanya. Menatap menyelidik.

Aku berniat untuk menggeleng, tapi sayangnya kejujuran hati Nindy tidak bisa dicegah.

"Awalnya. Aku ingin mengajak keluar sebentar. Tapi dengan syarat, dia harus mengerjakan tugas liburannya terlebih dahulu," kata Nindy sambil menundukkan kepala.

"Tapi kau tidak berniat untuk mengajaknya keluar kan?" Ibu bertanya.

"Tidak. Tidak sama sekali. Aku berkata begitu agar dia tidak menunda nunda mengerjakan tugas liburannya."

Ibu tersenyum puas mendengar jawaban dari Nindy.

Tiba tiba, Dokter keluar dari ruang IGD dengan wajah kusut dan tegang.
"K-keluarga Glenn Amelia?" Dokter bertanya.

"Saya Ayahnya." Ayah buru buru menjawab pertanyaan dokter "Jadi bagaimana keadaan anak saya?"

"Saya mohon maaf. Pihak Rumah Sakit sudah berusaha untuk memulihkan keadaan anak Anda. Tapi Tuhan berkehendak lain," kata dokter dengan hati hati.

Ayah jatuh terduduk. Tak menyangka bahwa putri bungsunya pergi di usia muda.

"Jenazah akan diurus dan akan kami bawa ke rumah duka," lanjut kata sang dokter. "Saya permisi."

Hari ketiga liburan semester, dan keluargaku terjatuh dalam duka secara mendadak.

                          ~ℳ~

Plak !!
Ayah menampar Nindy di ambang pintu ruang keluarga. Kemarahan tampak jelas di kedua matanya.

Entah dengan alasan apa, Nindy tidak marah sedikitpun. Dia justru meredupkan sinar di matanya.

"Ayah, ada apa?" Nindy bertanya polos.

"Ada apa?! Kau bilang ada apa?!" Ayah membentak Nindy.

Nindy terdiam. Tak mengerti apa maksudnya.

"Kau ... gara gara kau, Amelia menjadi meninggal" Ayah melanjutkan kalimatnya.

Bak petir di hari hujan, perkataan Ayah membuat kami tersentak. Nindy hanya terdiam. Melawan amarah yang menggebu gebu di hatinya, dan bisa meledak kapan saja.

Ayah menampar Nindy untuk yang kedua kalinya, membuat Ibu semakin geram dengan tingkah Ayah yang tidak masuk akal.

"Jeff !!" Ibu berteriak kepada Ayah.

"Kenapa? Apa kau ingin menolong anak yang tak berguna ini?" Ayah kembali bersikap kasar terhadap Nindy.

"Seandainya kau tidak berkata begitu, Amelia tidak akan keluar rumah dengan diam diam seperti itu."

Dan percaya atau tidak, kegilaan Ayah menular.

Ya, Ibu terjerumus ke lubang kebencian. Kemudian, di detik berikutnya, tangan ibu melayang kemudian menampar Nindy untuk yang ketiga kalinya.

Aku sudah tidak tahan lagi "Ibu, apa yang--" kalimatku terputus.
Nindy memegangi tanganku dari belakang sambil menatap memelas. Seakan dia ingin berkata, "sudah biarkan saja." kemudian dia tersenyum pahit.

Dan dengan bodohnya, aku menuruti permintaan nya.

Jelmaan Bunga DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang