Break Up (Joshua)

374 12 10
                                    

Joshua as Joshua •

Zena

Aku memasuki Cafe SVT dengan langkah berat. Sejak tadi dadaku bergemuruh tidak jelas. Air mata menggenang di pelupuk mata, memaksa ingin keluar.

Disinilah aku sekarang, tepat berada di depan Joshua yang sedang mengaduk-aduk minumannya. Kebiasaan.

"Josh, minumannya jangan diaduk-aduk gitu. Nanti airnya pusing" tegurku mencoba mencairkan suasana. Joshua terkekeh kecil, ia mulai memposisikan duduknya agar nyaman.

"Gimana kabar kamu?" tanya Joshua. Aku mengangguk, tetap mempertahankan senyumanku di wajah. Dalam hati merutuki Joshua dengan pertanyaan konyol yang ia lontarkan. Bagaimana aku bisa baik-baik saja?

"Aku... juga baik," balas Joshua ragu-ragu. Kami terdiam, bingung ingin memulai pembicaraan dari mana. "Zena, kamu ngerasa hubungan kita makin renggang ya?" akhirnya Joshua dengan berani memimpin obrolan. Aku mengangguk patah-patah. "Josh, aku rasa... kita memang ga bisa lanjut lagi. Maksud aku bukan berarti kamu buruk. Aku ngerasa ada yang ga beres dengan hubungan kita." jelasku panjang.

Terdengar helaan nafas dari seberang. Aku menatap Joshua, ia menyisir rambutnya ke belakang. Itu adalah kebiasaan Joshua ketika sedang frustasi atau bingung. Aku hafal betul.

Baik dari pihak aku maupun pihak Joshua sama-sama tidak bisa menafsirkan yang terjadi di antara kita. Seperti ada sesuatu yang salah dalam hubungan ini Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan jelas, begitupun Joshua.

Tapi ada satu hal yang bisa aku pastikan, kami sama-sama lelah. Semua janji manis kini mulai terpatahkan satu persatu. Di tahun ke empat, kami mulai saling berkelahi dan berteriak satu sama lain. Walaupun pada akhirnya salah satu dari kami akan mengalah dan meminta maaf, tapi hal tersebut kana terulang lagi pada esok harinya.

"Harus banget ya kita putus? Kita masih bisa backstreet. Kamu mau kita masing-masing introspeksi diri kan? Menjadi lebih baik satu sama lain," Joshua melihatku dengan tatapan memohon. Aku melihat kearah lain, sebisa mungkin menghindari kontak mata dengannya. "Bukan, bukan untuk satu sama lain. Aku mau kita lebih baik untuk diri sendiri. Percuma kalau hubungan kita masih lanjut."

Sejujurnya aku juga tidak yakin dengan keputusan ini. Aku sudah jatuh terlalu dalam padanya. Tapi semakin lama kami sering membohongi diri sendiri. Untuk kebaikan hubungan, untuk membahagiakan satu sama lain. Kami juga menjadi semakin sensitif. Emosi kami tidak terkontrol dengan baik. Berakhir hanya menyakiti satu sama lain.

"Josh kamu sendiri yang dulu bilang sama aku, kalau ngerasa hubungan ini memburuk atau hubungan ini menyakiti aku, kamu mau aku mutusin hubungan ini," kataku mencoba membuat Joshua mengingat. "Masalahnya sekarang bukan cuma aku yang tersakiti, tapi kamu juga," tambahku.

Lagi-lagi, setelah kalimat terakhir yang aku ucapkan kami terdiam. Oh ayolah Joshua, jangan menggoyahkan keputusanku.

Lima belas menit hening, Joshua mengangkat kepalanya. "Oke, kita akhiri semuanya, disini." final Joshua.

Seketika air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya turun. Rasa sesak membuncah dalam dada. Aku menutup mulut dan menunduk, mencoba meredam tangisan. "Zen, jangan nangis dong. Aku merasa jadi orang jahat," Joshua menarik kursinya mendekat ke arah ku. Ia merengkuh tubuhku, memberikan pelukan hangat.

Sepuluh menit lamanya, tangisanku mulai reda. Joshua menangkup wajahku, mengusap air mataku yang jatuh. Lagi-lagi ia tersenyum, membuatku merasa bersalah. Karena sejujurnya aku ragu dengan keputusan yang ku ambil. Tapi ada satu alasan lain- yang mungkin menyakiti hati Joshua -membuatku mantap mengambil keputusan.

"Josh-"
"Orang pasti mengira kita putus secara baik-baik-" putus Joshua. Ia terkekeh kecil sembari mengaduk minumannya lagi.
"Shua-"
"Tapi aku masih ga paham definisi putus baik-baik karena aku merasa ga baik-baik aja," lanjutnya.
"HONG JISOO!" aku berteriak, teriakan yang hanya bisa didengar olehku dan dia.

Keterkejutan tercetak pada wajah Joshua. "Maaf maaf. Aku cuma..." ia menggeram frustasi. "Josh, ada alasan kenapa akhirnya aku memutuskan untuk mengambil keputusan ini. Aku... dijodohin sama ayah. Dengan seorang laki-laki yang tidak aku ketahui namanya, asal usulnya, kepribadiannya. Aku menolak, awalnya. Tapi ayah maksa, dia ngancam. Ini... dua minggu yang lalu" jelasku panjang lebar.

Aku tak berani menatap matanya. Tak banyak berharap dengan reaksi Joshua ketika mendengar penjelasanku. "Oh, kalau gitu selamat." Kalimat tak terduga keluar dari mulutnya. Aku tertegun sejenak, kembali menegakkan kepala. Melihat Joshua tetap tersenyum membuatku semakin merasa bersalah. Tatapannya seolah mengatakan bahwa ada kekecewaan disana.

"Zen, kalau laki-laki itu membuat kamu sakit bilang aku. Nanti aku hajar sampai babak belur," Joshua tertawa kecil. "Kamu udah ngerelain aku?" tatapnya tak percaya aku lemparkan padanya. Joshua mengangguk,"Aku ngerelain kamu, karena kita udah selesai. Tapi ga hatiku, dia tetap untukmu, sampai waktu yang tidak ditentukan."

Setelah kalimat itu, dadaku merasa sakit. Ternyata begini rasanya berpisah dengan orang yang di dayang. Aku tak rela, tapi aku juga tidak mau Joshua dan diriku sendiri semakin sakit. "Shua, aku pulang ya?" pamitku, berusaha sekuat mungkin untuk keluar dari percakapan ini. Joshua segera melepaskan tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku. "Iya, hati-hati." balas Joshua.

Aku segera bangkit, mengambil tas yang kusampirkan di bangku. Saat ingin meninggalkan cafe, Joshua menahanku. Aku berbalik, melihatnya yang sekarang sudah berkaca-kaca. "Zen, janji bahagia terus ya, makan teratur, jangan kecapekan, jangan stress, dan jangan nangis," pesan Joshua, terakhir kalinya. Ia melepaskan tanganku, disaat bersamaan air matanya mulai jatuh.

Aku berputar, menghadap ke depan dan mengangguk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berputar, menghadap ke depan dan mengangguk. Aku tak sanggup lagi menatapnya. Aku tidak mau pertahananku runtuh. Dengan cepat aku meninggalkan cafe. Sampai diluar aku mencari taksi dan menaikinya.

Bapak supir yang melihat mataku sembab bertanya mengapa aku menangis. Tepat setelahnya tangisku kembali pecah. Kenangan-kenangan bersama Joshua berhasil menguasai pikiranku sekarang.

Aku harap keputusan ku ini benar. Aku harap kita sama-sama berubah. Dan aku harap setelah ini kamu tidak menghubungiku lagi Joshua.

•••

Seventeen OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang