••• BAGIAN 6 •••
~○~
Malam ini aku menginap di Rumah Sakit bersama Mas Linggar. Mbak Gita pulang sore tadi, karena rumahnya juga perlu dibereskan.
Aku masih memegang Buku Diary milik Dika. Tanganku gatal sekali ingin membukanya, tapi Mas Linggar selalu melarangku. Mas Linggar bilang aku harus menuruti apa yang Dika inginkan, membuka dan membaca isi Buku Diary itu setelah Dika tidak ada di dunia ini.
"Sebenarnya Dika sakit apa?" Tanyaku mengusap pantulan wajah Dika lewat pintu kaca.
"Katanya Dika udah sembuh, kan? Mas Linggar bilang padaku kalau operasimu berhasil waktu itu? Kenapa malah jadi makin buruk?"
"Reisha."
Aku menoleh, menatap Mas Linggar yang berdiri tepat di belakangku. Mas Linggar baru saja menemui dokter di ruangannya. Matanya merah, air matanya juga sudah menetes di pipinya. Selembar kertas di tangannya mengalihkan perhatianku.
"Bagaimana kalau nyawa Dika tidak bisa di selamatkan?"
"Maksudnya? Mas Linggar jangan ngelantur kalau ngomong! Aku nggak suka. Ucapan itu doa, Mas."
"Mas nanya kemungkinan terburuk aja, Sha."
"Dika kan kuat, pasti selamat. Perjuangannya nggak akan sia-sia, Dika bahkan masih bisa bertahan sampai sekarang."
"Duduk dulu ya, Mas mau ngomong sesuatu."
Aku menurut, mengikuti Mas Linggar duduk di bangku stainless yang sudah di sediakan. Kedua tanganku diraih dan digenggam sangat erat. Aku jadi gugup, takut terjadi sesuatu dengan Dika.
"Dika sakit kanker lambung stadium akhir."
"Hah?" Beoku tak percaya, bagai disambar petir disiang bolong, kenyataan ini sangat menyakitkan. Badanku seketika langsung lemas.
Kurebut paksa selembar kertas dari genggaman Mas Linggar, kubaca dengan teliti kata perkata. Deretan kalimat di kertas itu sangat menamparku. Bulir air mata kembali lolos membasahi pipiku.
Huft! Kenapa kenyataan begitu pahit? Dan yah! Bodoh sekali! Kenapa tidak ada yang tahu? Bahkan orang tuanya sekalipun? Pamannya? Atau kerabatnya? Padahal kan sefatal ini.
"Semenjak Dika dipaksa ngemis sama Mamanya, Mas punya ide buat bantu Dika. Mas bisa ngelukis dan akhirnya Mas buat 25 lukisan. Mas ke kota besar, ikut pameran disana, alhamdulillah 17 lukisan berhasil terjual. Satu lukisan harganya 3 juta, jadi Mas ada uang 51 juta. Mas tahu kalau Dika harus dapat uang 120 juta, jadi sisanya Mas jual ke Seniman terkenal dengan harga 10 juta. Dan Mas bersyukur banget, lukisannya laku. Mas bahagia banget bisa dapat uang lebih dari yang Dika butuhkan."
"Dikaaa."
Dika menoleh, menatap Mas Linggar yang melambaikan tangannya dari balik jendela mobilnya. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Dika berlari menghampiri Mas Linggar.
"Masuk sini, Mas ada sesuatu buat kamu."
"Kamu udah makan?"
Dika mengangguk, padahal nyatanya sesuap nasipun belum pernah masuk ke perutnya, Linggar tahu itu.
"Dika, ngomong dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, My Boy (ON GOING)
Teen Fiction[On Going] °°Aku terlalu bodoh, menunggu seseorang yang tidak pasti kehadirannya, hingga aku mengabaikan seseorang yang sudah hadir dihidupku, mengisi ruang kosong di hatiku, dan menjadi bagian di setiap langkahku.°° ▪︎▪︎Reisha Mauri▪︎▪︎ Yok baca...