[6] Kantin

14.4K 2.1K 46
                                        

Langit cerah menjulang megah di atas sana. Meski matahari bersinar terik, remaja-remaja itu tetap ramai memenuhi kantin tanpa rasa takut akan kepanasan.

Saat ini jam istirahat. Suasana kantin SMA Garuda Nusantara dipenuhi obrolan seru, gelak tawa, dan sesekali makian khas anak muda. Penjual makanan berjejer rapi di sana, menyambut pelanggan dengan senyum ramah. Mulai dari siomay, batagor, bakso, hingga hidangan ala Barat seperti pizza dan steak, semuanya ada di sini. Tak heran, kantin sekolah ini bak surga makanan.

SMA Garuda Nusantara memang salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Untuk masuk, dibutuhkan otak yang cerdas atau dompet yang tebal. Maka tak heran, mayoritas muridnya berasal dari keluarga kaya. Namun, di antara mereka, ada juga siswa-siswa seperti Ravin—reminder bahwa kecerdasan murni masih memiliki tempat.

Ravin adalah contoh siswa yang berhasil masuk dengan kerja kerasnya sendiri. Meski tidak selalu menjadi yang teratas, ia konsisten berada di sepuluh besar. Namun, bagi orang-orang, bukan hanya kecerdasannya yang membuat Ravin menarik. Wajahnya yang tampan dan suara emasnya sering menjadi bahan perbincangan. Tapi satu sifatnya yang khas justru menonjol: apatis dan dingin.

Di meja paling pojok, Ravin duduk bersama dua temannya, Vian dan Sela. Meja itu selalu mereka tempati, terlindung dari terik matahari di bawah rindangnya pohon besar. Sela menikmati semangkuk bakso, sementara Vian dengan ceria menyantap batagor. Ravin, di sisi lain, hanya memegang botol minuman corkcicle pemberian Vian. Uangnya pas-pasan, tak cukup untuk membeli makanan di kantin mahal ini. Biasanya, jam istirahatnya dihabiskan dengan tidur di kelas, tapi kali ini Vian memaksanya untuk ikut.

"Lo gak laper? Kalo laper bilang aja, biar gue traktir," kata Sela sambil mengunyah. Rambutnya digerai lurus dengan bando merah muda dengan pita besar yang terpasang di atas kepalanya, menambah kesan feminim di fitur wajahnya yang anggun.

Ravin menggeleng. "Gue masih kenyang."

"Ravin makannya dikit, gak kayak lo yang makannya udah kayak porsi kuli," timpal Vian yang langsung disahuti oleh makian gadis itu.

"Bacot ya Anda!"

"Mulut lo kasar banget, Sel."

"Nama gue Sela ya! Bukan Sel, nanti nama gue dikira sel telur!"

"Lah, bukannya bagus ya?"

"Bagus dari mananya bego?!" teriak Sela geram. Hanya ketika berbicara dengan Vian, Sela merasa urat-urat di wajahnya akan segera putus saking tak bisanya menahan emosi.

Ravin hanya memperhatikan pertengkaran keduanya dengan raut datar . Ia sudah terbiasa dengan keduanya yang akan saling melemparkan makian jika dipertemukan.

"Gue juga gak tau dari mananya. Tapi keliatan cocok aja gitu."

"Yee bego lo!"

"Gapapa bego yang penting ganteng," sahut Vian pede.

"Heh! Selvi, lo tuh gak ada ganteng-gantengnya!" dengus Sela.

"Bisa gak, lo berenti manggil gue Selvi? Gue jadi disangka banci, Sel!"

"Ya makanya lo juga berenti manggil gue Sel!"

"Tapi, gue udah nyaman manggil lo dengan sebutan itu!" seru Vian tak mau kalah.

"Gue juga udah nyaman manggil lo Selvi!"

"Gak bisa gitu dong! Gue cowok, masa dipanggil Selvi!"

"Daripada gue panggil, Vivi? Kayak panggilan dari nyokap lo!"

"Babi, lo!"

"Berisik," ujar Ravin pelan.

"Diem lo!" sahut Sela dan Vian berbarengan.

Ravin memilih diam dan mengabaikannya. Kepalanya terlalu pusing mendengar makian sahabatnya. Remaja itu merebahkan kepalanya menelungkup di atas meja. Ia merasa lelah dengan berbagai kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Terutama tingkah Satya yang ia rasa mencurigakan.

Ketika Ravin merasa kesadarannya kian menipis, tiba-tiba suasana kantin yang ramai berubah menjadi sunyi. Ravin tidak tahu apa penyebabnya. Ia yang sudah merasa nyaman dengan posisinya sekarang mulai terhanyut. Apalagi dengan suasana kantin yang hening dengan semilir angin sejuk yang membelainya lembut. Menenangkan.

Sayangnya ketenangan itu tidak bertahan lama. Sebuah suara yang menggangu Ravin akhir-akhir ini terdengar di telinganya.

"Boleh gabung?"

Ravin mengangkat kepalanya yang sedikit pusing. Dari sudut matanya ia melihat 6 remaja laki-laki dengan perawakan tinggi berdiri di dekat mejanya. Mereka semua terlihat asing di mata Ravin, kecuali Satya.

"Bo-boleh aja kok, Kak," sahut Sela yang langsung bersikap anggun. "Kami juga kebetulan udah selesai."

"Sorry ya, bukan maksud buat ngusir loh." Satya memberikan senyum sungkan yang tentu saja palsu.

"Santai aja Kak, yuk ke kelas."

Tangan Ravin dan Vian ditarik oleh Sela, mengajak keduanya untuk segera pergi dari sana. Sela tidak ingin berurusan dengan 6 orang cowok paling populer di sekolahnya ini, terlebih lagi mereka adalah geng Ethereal. Mereka memang ganteng semua, tapi minus akhlak. Berandalan, suka tawuran dan senang membully. Rumor-rumornya geng mereka bahkan pernah membegal. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan akan dilakukan oleh remaja SMA. Namun, gadis itu yakin bahwa itu bukan sekedar rumor kosong.

"Tunggu!"

Suara Satya menghentikan langkah mereka yang hendak pergi.

"Gue ada urusan sama Ravin."

"Urusan apa ya?" tanya Vian posesif.

"Bukan urusan lo, urusan gue sama Ravin."

"Urusan Ravin, urusan kami juga," sahut Vian sambil mencebikkan bibirnya.

Sela bergidik ngeri. "Ih, itu mah urusan lo aja, ngapa bawa-bawa gue?"

"Lo kok gitu, Sel?" Vian menatap Sela dengan cemberut.

"Tenang, gue gak bakal apa-apain temen lo itu kok. Gue cuma lagi ada urusan aja sama dia," kata Satya meyakinkan. "Iya kan, Ravin?"

Sebagai objek yang dibicarakan, mau tak mau Ravin mengangguk menyetujui ucapan Satya. Ia tidak takut dengan Satya. Hanya saja, foto ciuman itu ada di ponsel cowok bajingan itu. Ia tidak tahu siapa yang mengambil foto mereka, tapi ia yakin salah satu pelakunya ada di antara 5 orang yang ada di samping Satya. Jika saja foto itu tak menampilkan wajahnya, ia akan merasa baik-baik saja. Sayangnya di foto itu justru hanya memperlihatkan wajah Ravin yang seolah-olah berciuman mesra oleh sesama laki-laki.

Sekali lagi, Ravin tidak takut dengan Satya. Ia hanya mengantisipasi kemungkinan terburuk. Bunda dan adiknya masih membutuhkannya. Remaja itu harus lulus SMA. Jika dia dikeluarkan karena kasus tersebut. Otomatis pihak sekolah akan menghubungi bundanya.

Satu hal yang membuat Ravin takut lebih dari dikeluarkan dari sekolah adalah bundanya. Dia tidak berani membayangkan reaksi bundanya ketika mengetahui kasus ini. Bunda pasti kecewa mengetahui anaknya dikeluarkan karena kasus ciuman sesama jenis. Meski disitu dia dicium oleh Satya, tapi Satya menjebaknya. Membuatnya seolah-olah Ravin tengah berciuman mesra dengan laki-laki. Padahal itu adalah Satya yang menciumnya. Meskipun itu hanya fitnah, tapi dengan adanya bukti berupa foto. Apa ia masih punya kesempatan untuk membantah hal itu?

"Kalian duluan aja." Ravin melepaskan tangan Sela. "Gue nanti nyusul."

"Seriusan gak apa-apa ditinggal?" tanya Sela cemas.

"Gak. Lo tenang aja."

"Oke deh, kalo ada apa-apa bilang ke gue ya?" ujar Vian serius. Terpaksa Ravin mengangguk mengiyakan. Dia memang sebal dan bosan melihat Vian yang bego. Tapi bukan berarti dia senang melihat Vian bisa serius. Dia malah agak cringe dan merasa aneh melihat Vian yang berekspresi serius seperti itu.

"Hmm."

[1] Kang Begal (REMAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang