01- Encounter

146 31 30
                                    

Enam tahun yang lalu, 11 Juli 2015

Oshe mengetukkan jari-jarinya tidak sabaran. Ini merupakan kali pertama Oshe menginjakkan kaki ke dalam ruangan yang menurutnya lebih mirip museum dibandingkan perpustakaan. Pusat perhatian lelaki dengan Oakley yang bertengger di tulang hidungnya itu, tertuju pada pintu masuk ruang penuh tatanan buku di sekitarnya. Enam puluh menit yang telah berlalu semakin diperjelas dengan rasa pahit di mulut dan diikuti perasaan rindu mengecap tembakau.

Tepat saat Oshe berpikiran melupakan niatnya, seorang gadis dengan dress merah muda melintas. Rambut hitam kecokelatan gadis itu tersibak oleh angin ketika derik pintu yang dibuka terdengar. Tangannya tampak mendekap dua buku. Sebuah senyum terukir di wajah Oshe. Usaha menahan rasa pahit di mulut ternyata membuahkan hasil.

Tanpa membuang lebih banyak waktu, Oshe melintasi meja-meja kosong untuk mencapai ambang pintu. Gadis itu kini terlihat tengah berdiskusi dengan seseorang di balik kubikel. Buku-buku yang semula berada di dalam dekapan gadis itu kini sudah berjejer rapi di atas kubikel, tepat di hadapan penjaga perpustakaan paruh baya berkacamata bulat.

"Halo," seru Oshe tidak lama setelah mengambil tempat di sisi gadis itu. Ia tampak sedikit terperanjat dengan kehadiran Oshe.

"Masih ingat denganku?" Tanya Oshe menatap penuh harap ke arah gadis itu.

Pengalaman sudah membuktikan bahwa sulit untuk seorang gadis melupakan lelaki dengan dimensi wajah tajam dan bibir ranum itu. Namun dalam situasi ini, Oshe perlu sedikit berakting tidak mengerti mengenai hal itu.

Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangan ke penjaga perpustakaan yang menanyakan kartu perpustakaan miliknya. Ia tampak menyebutkan sederet nomor induk mahasiswa karena sepertinya tak membawa kartu.

"Di sini tercatat sudah pinjam tiga buku," ucap penjaga perpustakaan.

Si penjaga perpustakaan kemudian melirik penuh selidik ke arah gadis yang kini terlihat sedang menggigit bagian bawah bibirnya dengan pandangan cemas. Ia memohon agar diizinkan meminjam buku lagi untuk mengerjakan tugas, namun penjaga perpustakaan bersikeras bahwa mahasiswa maksimal meminjam tiga buku.

Oshe merasa bak sedang menyaksikan pertunjukan singkat di mana ia adalah penonton tak kasatmata. Sebuah ide muncul di kepalanya. Kesempatan datang kepada Oshe tanpa disangka-sangka. Dengan cepat ia mengulurkan kartu berisi foto wajahnya dengan almamater berwarna kuning kepada penjaga perpustakaan.

Si penjaga perpustakaan melirik sejenak ke arah Oshe sebelum akhirnya meraih kartu itu dan mengarahkannya ke alat scan barcode.

Gadis itu tampak terkejut, namun Oshe berlagak acuh tak acuh hingga dua buku yang menjadi perdebatan tadi berhasil berada dalam genggamannya.

Oshe merasa sudah melakukan yang terbaik untuk mendapatkan perhatian gadis itu. Kini Oshe sudah mempersiapkan diri untuk menerima ucapan terima kasih. Saat tatapan mereka bertemu, Oshe tidak percaya apa yang sedang ia saksikan. Ia tidak menyangka gadis itu kini justru berkacak pinggang sambil menatapnya dengan sorotan mata tajam. Oshe berusaha memasang senyuman di bibirnya, namun tak ada yang berubah dari ekspresi gadis di hadapannya itu.

"Kamu kenapa ikut campur urusanku? Aku bahkan tidak mengenalmu," desis gadis itu sambil mengambil dua buku di genggaman Oshe dan melenggang pergi.

Oshe bergegas melangkah berusaha menyusul gadis yang kini telah menghilang di balik pintu perpustakaan. Saat Oshe berhasil keluar dari perpustakaan, gadis dengan sepatu kets putih itu sudah menuruni tangga dengan langkah cepat.

"Hey, tunggu!" seru Oshe namun tak dihiraukan. Mau tak mau, Oshe berlari menuruni tangga hingga berhasil meraih tangan gadis itu dan aksi kejar mengejar akhirnya terhenti.

"Beri tahu namamu atau kembalikan buku itu kepadaku," ucap Oshe.

"Penting bagimu untuk tahu namaku?"

"Tentu,"

"Untuk taruhan dengan teman-teman berandalmu itu?"

Oshe membelalak tak percaya. Ia tak menyangka gadis itu ingat dengannya, bahkan mendengar percakapan Oshe dengan teman-temannya tadi pagi.

"Kaget? Seluruh orang di kampus pasti dengar omongan dari mulut besar kalian!"

Oshe sontak tak kuasa menahan tawa. Reaksi gadis itu sungguh di luar dugaannya.

"Kamu tahu dengan jelas apa mauku kan? Bagaimanapun juga kamu berutang terima kasih atas dua buku itu," ucap Oshe seraya menunjuk dua buku dalam dekapan gadis itu.

Gadis itu tampak menggigit bibir bawahnya lagi. Sudah dua kali Oshe melihatnya melakukan hal tersebut dan itu sangat menggemaskan. "Sea," seru gadis itu memecah keheningan yang menyelimuti mereka beberapa detik lalu.

"Taruhannya kau harus tahu namaku, kan? Setelah ini tolong jangan ganggu aku," lanjut gadis itu diikuti oleh langkah cepat menjauh dari Oshe.

"Namaku Oshe, Oshe Ardelio! Jurusan Ilmu Kelautan!"

Gadis itu menghentikan langkah dan berbalik, matanya menyorotkan tatapan seperti laser kemudian kembali mempercepat langkahnya.

Senyuman mengembang hebat di wajah Oshe. Bukan karena taruhan itu, rasa penasarannya membuncah setelah melihat tingkah gadis yang menurutnya unik itu.

Sea.

Nama itu kini terdengar begitu menarik di telinganya.

🕓🕓🕓

Oktober 3, 2015

Pelataran gedung II kampus siang ini terlihat sepi dari aktivitas mahasiswa. Bukan hal yang mengherankan mengingat bahwa gedung kampus ini jauh dari gedung utama kampus Pelita Bangsa. Kampus ini kebanyakan digunakan oleh jurusan sastra dan kesenian. Mahasiswa Ilmu Kelautan seperti Oshe jarang, bahkan hampir tak pernah menginjakkan kaki di tempat ini.

Kali pertama Oshe dan teman-teman sekelasnya mendatangi gedung ini adalah ketika dosen memutuskan untuk menggunakan laboratorium komputer di tempat ini sebulan yang lalu untuk kegiatan praktikum. Hanya satu kali, namun tak ada yang menyangka kini ia menjadi sering mengunjungi gedung kampus ini. Alasan dari setiap kunjungan Oshe terlihat sedang duduk di bangku taman tanpa atap.

Di tengah terik matahari yang terasa membakar kulit ini, mungkin Sea satu-satunya mahasiswa yang terduduk di sana menggunakan dress dengan sweater tebal. Tatapan Sea sepenuhnya tertuju pada sebuah buku di pangkuannya. Sesekali gadis itu tampak memainkan pensil di tangan kanannya.

Oshe keluar dari mobil hitamnya kemudian segera berlari menuju tempat Sea berada.

"Hey, sedang apa?"

Menyadari kehadiran Oshe, Sea mengangkat wajah sejenak dan tetap berekspresi datar. Awalnya Oshe selalu bertanya-tanya kenapa Oshe tampak tidak pernah suka dengan kehadirannya, namun setelah hampir tiga bulan mengenalnya, kini ia tahu memang seperti ini sifat gadis itu. Ia tak mau repot-repot membuat ekspresi palsu dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Tentu saja belajar. Aku ini tidak berniat menjadi mahasiswa abadi sepertimu,"

Oshe terkekeh mendengar jawaban Sea. Siapa juga yang ingin jadi mahasiswa abadi. Tapi ia hanya perlu meng-iyakan ucapan gadis itu agar tak semakin menampakkan ekspresi masamnya.

Sea merogoh benda berbentuk kotak dari dalam totebagnya dan menyerahkannya kepada Oshe. Oshe mengenali itu adalah kartu perpustakaannya.

"Kenapa dipakaikan sampul plastik?"

"Agar tidak mudah rusak,"

Oshe berniat melepaskan sampul plastik itu, namun buru-buru mengurungkan niatnya. Bisa-bisa gadis bermata bening ini kembali murka kepadanya. Lagi pula ini kemajuan besar setelah selama ini gadis itu selalu acuh tak acuh dengan kehadirannya.

Dua bulan yang lalu, Sea setuju untuk menjadi pacar "pura-puranya" setelah sepakat untuk membagi keuntungan taruhan antara Oshe dan teman-temannya. Makan sepuasnya selama tiga bulan. Tawaran ini begitu menarik bagi Sea mengingat ia terancam tak bisa makan siang selama beberapa hari ke depan karena harus membayar sewa kos. Kini waktu untuk pacaran "pura-pura" mereka tersisa kurang dari sebulan. Oshe semakin bersemangat untuk mendekatinya dan menjadikan gadis itu miliknya sungguhan.

🕓🕓🕓

Turn Back CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang